Umumnya, masyarakat Indonesia sudah mengenal dan tidak asing lagi dengan kata “mudik”, apalagi ketika sudah mendekati datangnya hari raya Idul Fitri seperti saat ini. Yap, mudik sejatinya merupakan budaya bangsa Indonesia. Mudik atau pulang kampung identik dengan tradisi tahunan di mana orang-orang yang bekerja dan mengadu nasib di kota-kota besar di Indonesia pulang ke daerah atau ke kampung halaman mereka masing-masing untuk berkumpul bersama keluarga di momen Idul Fitri.
Namun, tahukah kalian asal usul lahirnya kata “mudik” yang selama ini sering kita pakai dan apa makna sebenarnya?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mudik memiliki dua arti. Pertama, sebagai bentuk kata kerja (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman), contohnya kalimat: “Dari Palembang berlayar ke Sekayu.” Kedua, mudik diartikan sebagai sebuah kata kerja percakapan atau aktivitas untuk pulang ke kampung halaman. Contohnya, “Seminggu menjelang lebaran sudah banyak orang yang pulang kampung.”
Jika ditinjau dari salah satu cabang ilmu linguistik yaitu semantik, kata “mudik” ada hubungannya dengan bahasa Arab. Mengutip teori loan word (serapan kata) dari Ramadan Abd Tawwab dalam At-Tathawwur Al-Lughawi: Mazhaahiruhu wa Ilaluhu wa Qawaaminuhu, mudik berasal dari kata “mudziq” yang artinya orang yang merasakan kenikmatan. Klaim tersebut didasarkan pada unsur fonologis dan semantis. Berdasarkan unsur fonologis, kata “mudik” memiliki kesamaan bunyi dengan kata “mudziq” meskipun ada perbedaan pada huruf tengah dan akhir, kata “mudik” dengan huruf d di tengah dan k di akhir, sedangkan kata “mudziq” huruf tengahnya dz dan akhirnya q.
Sementara secara semantis, kata “mudik” dan “mudziq” memiliki kesamaan makna. Seperti yang telah disinggung di awal, mudik adalah aktivitas pulang ke kampung halaman menjelang hari raya Idul Fitri, sedangkan “mudziq” secara harfiah berasal dari verba (kata kerja) adzaaqa-yadziiqu yang artinya orang yang merasakan kenikmatan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa mudik adalah aktivitas pulang kampung yang menyenangkan karena bisa berkumpul dan berbagi bersama keluarga di momen yang spesial (lebaran).
Sumber:
– Abd Tawwab, Ramadan. 1997. At-Tathawwur Al-Lughawi: Mazhaahiruhu wa Ilaluhu wa Qawaaminuhu. Kairo: Khanji Publisher.
– Muta’ali, Abdul. 2020. Fiqh Covid-19: Fleksibilitas Ibadah dan Sosial Saat Pandemi Corona Berdasarkan Quran Sunnah dan Analisis Semantik Pragmatik. Depok: PT Rajagrafindo Persada
(11)