Oleh: Muhammad Zulifan*
h
Hukum Poligami – Praktek poligami telah ada sejak zaman dahulu kala. Alkisah, Nabi Daud memiliki 300 orang istri, nabi Sulaiman mempunyai 700 istri, serta Nabi Ibrahim 4 istri. Pada masa Arab jahiliyah, praktek poligami tidak mempunyai batasan. Seorang lelaki dibolehkan memiliki istri hingga ratusan. Hingga Islam datang dengan melakukan perubahan secara total terhadap hukum poligami dan prakteknya agar tidak bertentangan dengan nilai kemanusiaan terhadap wanita.
Dalam Bahasa Arab, poligami dikenal dengan istilah ta’addud az-zaujat. Ta’addud berasal dari akar kata Ta’addada, yang berarti “berbilang” atau “lebih banyak bilangannya” (Lisanul Arab, IX:17). Zawjat berarti istri-istri. Apabila digabungkan “Ta’addud Zawjat” bearti istri yang banyak bilangannya.
Istilah poligami sendiri berasal dari bahasa Yunani; polus (banyak) dan gamos (perkawinan). Secara umum poligami dimaknai sebagai perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang. Istilah poligini dan poliandri digunakan untuk secara spesifik membedakan jenis kelamin pelakunya. Poligini merujuk praktik laki-laki yang beristri lebih dari seorang, sesuai kata asalnya; polus (banyak) dan gune (perempuan). Sedang istilah poliandri merujuk pada perempuan dengan banyak suami sesuai arti kata polus (banyak) dan andros (lak-laki).
Baca juga Heboh Video Curahan Hati Istri Dipoligami, Bagaimana Kita Menyikapi?
Sekilas Pernikahan Nabi Muhammad SAW
Secara ringkas, pernikahan Nabi Muhammad SAW dapat dibagi menjadi tiga fase. Pertama, fase 25 – 50 tahun secara monogami dengan istri Siti Khadijah RA di Mekah. Kedua, fase 50 – 55 tahun dalam bentuk Poligami dengan 2 istri yakni Aisyah RA dan Saudah RA di Madinah. Ketiga, fase 55 – 61 tahun menikah sebanyak 10 kali, sejalan dengan peran beliau sebagai pemimpin umat Islam di Madinah.
Jika diperhatikan, selama 25 tahun Nabi SAW beristrikan hanya seorang (monogami) yakni Siti Khadijah RA semata. Sementara hanya sekitar 8 tahun saja lamanya beliau berpoligami. Tentu jauh lebih singkat daripada hidup bermonogami beliau. Perlu dicatat, hampir semua istri Nabi SAW (kecuali Aisyah RA) berstatus janda di atas 45 tahun yang tidak menarik dan tidak punya harta ketika dinikah. Mereka ditinggal mati suami yang berjihad di medan perang. Dalam hal ini, jelaslah bahwa Nabi SAW tidak mengutamakan hawa nafsu dengan memilih gadis-gadis yang masih perawan dan cantik.
Motivasi pernikahan Nabi SAW adalah menolong. Nabi memberi teladan dengan menikahi para janda tersebut untuk menjamin kehidupan mereka termasuk anak-anak yang masih kecil. Selama 10 tahun periode Madinah, Nabi SAW dan Kaum muslimin melalui 27 peperangan. Artinya, rata-rata dalam setahun ada 3 peperangan. Itu berarti 4 bulan sekali Nabi SAW harus menghadapi peperangan plus persiapannya, disamping tetap melakukan aktivitas dakwah, ekonomi, pendidikan, pertanian dan hal lainnya.
Jangan dibayangkan saat kondisi perang dapat bersenang-senang dengan istri. Beliau lebih banyak mengatur strategi perang dan berjaga-jaga dari serangan musuh. Dalam banyak riwayat, Nabi Muhammad SAW senantiasa menghidupkan malam dengan tahajjud yang panjang, hingga kakinya bengkak-bengkak.
Sebuah Pintu Darurat
Dalam masyarakat Barat, poligami sama sekali tidak diperbolehkan atas doktrin agama. Namun demikian, perzinaan dan gonta-ganti pasangan menjadi hal yang lazim bagi masyarakatnya. Hal ini tentu menciderai prinsip kesetiaan dan kehormatan seorang wanita karena ia bisa menjadi “milik siapa saja”. Dalam kasus istri yang sakit dan koma berbulan-bulan misalnya, suami tetap dilarang menikah lagi. Sementara kebutuhan biologis sebagai fitrah seorang manusia begitu mendesak. Alhasil, prostitusi menjadi sarana penyaluran.
Islam sebagai agama pertengahan memberikan solusi. Perzinaan dan prostitusi mutlak haram. Namun, ada syariat hukum poligami. Meski, poligami tidak dibuka secara bebas tanpa syarat juga tidak ditutup rapat-rapat. Ibarat pintu darurat, syariat poligami muncul untuk menjadi solusi dari masalah-masalah kedaruratan yang timbul. Poligami dibolehkan dengan syarat dan kondisi yang ketat, hingga tidak sembarang orang boleh melakukannya. Lebih lanjut M. Quraish Shihab mengemukakan:
”Poligami itu bukan anjuran, tetapi salah satu solusi yang diberikan kepada mereka yang sangat membutuhkan dan memenuhi syarat-syaratnya. Poligami mirip dengan pintu darurat dalam pesawat terbang yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu,” (Republika.co.id)
Dalam hal ini, ulama memberikan batasan bagi seorang pria yang akan melakukan Poligami, yakni mampu dan adil. Ia harus mampu untuk memberikan nafkah yang mencukupi baik lahir maupun batin, serta berlaku adil pada istri dalam pembagian waktu dan nafkah. Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara tegas memberikan batasan poligami. Seperti disebut dalam pasal 55:
(2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.
Syarat di atas masih dipertegas dengan kondisi yang harus dipenuhi agar mendapat izin pengadilan, seperti disebut pasal 57:
- isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
- isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
- isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Al-quran secara eksplisit menyatakan anjuran untuk menikah hanya satu saja (monogami). Jika seseorang tidak bisa memenuhi syarat berpoligami dan dikuatirkan tidak bisa berlaku adil, maka sebaiknya menikah hanya dengan satu istri.
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja….”(QS An-Nisa: 3).
Ulama tidak berselisih akan hukum poligami, sebagaimana hal itu secara lugas disebutkan dalam Al-Quran. Namun yang patut menjadi perhatian bersama adalah “how to do” poligami, agar praktiktersebut dapat membawa maslahat bagi semua.
Terlepas dari pro-kontra poligami dalam masyarakat, yang jelas menghukumi poligami tidak bisa berdasar atas temuan satu dua kasus. Banyak orang yang tidak paham tata cara wudhu dan sholat yang benar, tapi dalam masalah poligami, mereka tiba-tiba menjelma bak ulama besar. Kesalahan individu yang menjalankan sebuah syariat tidaklah bisa menjadi alasan untuk menolak syariat tersebut. Sebagaimana syariat jihad yang sering disalah artikan, bukan berarti lantas kita menolak pensyariatannya.
Kontras Budaya Arab-Indonesia
Bagi bangsa Arab, adalah hal biasa ketika seorang lelaki mempunyai puluhan istri. Ketika Islam datang, hal itu dibatasi menjadi hanya empat. Sedang dikonteks budaya masyarakat Indonesia, praktek itu hanya lumrah di kalangan Raja dengan sebutan selir. Di kelas akar rumput, beristri lebih dari satu masih diangap sebagai perbuatan yang janggal. Masyarakat Indonesia pada umumnya masih menjunjung tinggi aspek kesetiaan pada satu pasangan.
Di negara-negara Arab (khususnya Negara Teluk), wanita dilarang bekerja, menyetir mobil dan pergi tanpa mahram atau beraktivitas lain di luar rumah. Ketika seorang pemuda hendak melamar gadis idamannya, sang wali (ayah) akan menuntut agar calon suami bisa menyiapkan rumah, mobil, lengkap dengan supir dan pembantunya. Hal ini wajar karena istri tidak boleh bekerja, alias hanya mengandalkan pemberian dari sang suami.

Bagi bangsa Arab, laki-laki menjamin seluruh kehidupan wanita. Berdasar figh yang dianut, tugas memberi nafkah itu bukan sekedar bahan makanan, tapi makanan jadi. Singkatnya, istri tidak punya kewajiban berbelanja dan memasak. Makanan siap santap adalah tugas suami. Alhasil, TKW senantiasa diminati karena para istri tidak mau masak, cuci piring, cuci baju, siram tanaman, dan seterusnya. Suami wajib menyediakan pembantu.
Kondisi akan berbeda jika melihat konsep relasi suami-istri di Indonesia. Istri bukan sekedar “melayani” suami seperti di Arab, tapi partner di segala bidang. Sudah jamak, para istri di Indonesia berperan dalam upaya mencari nafkah (bekerja), disamping tetap melakukan fungsi ibu rumah tangga; memasak, cuci piring, cuci baju, menyapu, mengepel, merawat anak, dan lain-lain.
Dalam budaya patriarki masyarakat Arab yang mengakar, wanita mudah menerima poligami suaminya. Mereka lebih memikirkan bagaimana kebutuhan dirinya bisa terpenuhi. Berbeda dengan suasana batin istri-istri di Indonesia yang telah banyak berkorban untuk menjaga bahtera rumah tangga di tengah banyaknya badai. Setelah sekian lama merelakan umurnya hidup menderita, berjuang demi suami, hingga suami sukses, namun akhirnya harus merelakan suami dengan wanita lain. Amat manusiawi jika mereka punya rasa kecewa dan berat melepaskan suami untuk poligami.
Dalam masyarakat Arab, adalah hal tabu ketika kita menanyakan hal berikut; Sudahkah anda menikah? Berapa umurmu? Atau siapa istri anda? Sesama dosen yang puluhan tahun mengajar di jurusan yang sama pun tidak pernah tau siapa istri sahabatnya. Bagi mereka, Istri adalah privasi. Dalam kehidupan keseharian, wanita Arab itu bercadar, memakai pakaian serba hitam, keluar-masuk rumah naik mobil. Rumah mereka pun berpagar tinggi. Ini membawa konsekuensi antar tetangga tidak bisa saling mengenal siapa saja wanita di rumah sebelah. Apalagi tidak ada budaya arisan layaknya di Indonesia, menjadikan interaksi antar warga begitu tetutup. Lingkungan seperti ini lebih mendukung praktek poligami. Istri satu tidak tahu siapa dan dimana istri kedua berada.

Dalam struktur masyarakat Indonesia, interaksi laki-laki dan perempan itu cair. Saat pagi istri menyapu di halaman rumah, ia akan bertemu tukang sayur, tukang roti, tukang eskrim, dan tukang lainnya yang tiap hari lewat depan rumah. Begipu pula melihat aktivitas keseharian tetangga. Siapa yang datang, barang apa yang dibeli, termasuk interaksi antar anggota keluarga mudah diketahui langsung. Dalam kondisi sosial seperti ini, potensi kecemburuan lebih besar. Kadang timbul suara miring dari tetangga yang memperkeruh suasana.
Perlu digarisbawahi bahwa penulis dalam hal ini sama sekali tidak bermaksud menyatakan poligami hanya cocok untuk budaya Arab dan tidak cocok untuk masyarakat Indonesia. Bagaimanapun seperti yang telah dibahas di awal tulisan, poligami adalah halal hukumnya. Poin yang ingin penulis sampaikan adalah bahwa perbedaan budaya Arab dengan Indonesia tersebut menghendaki penyikapan dan langkah-langkah yang berbeda pula dalam implementasi jika ingin maslahat tercapai. Dalam kultur masyarakat Indonesia, melakukan praktek poligami tidaklah simple dampaknya seperti di negeri Arab yang mempunyai histori dan kultur yang berbeda. Banyak variable yang harus dipertimbangkan karena variabel itu jika tidak terkelola dengan baik, justru akan membuat mudharat yang lebih besar dari manfaat poligami itu sendiri.

Seringnya sebagian masyarakat kita merujuk pada fatwa ulama Saudi atas hukum poligami yang tidak mempertimbangkan unsur budaya Indonesia dimana suami bebas menikah lagi tanpa mengkomunikasikannya terlebih dahulu kepada istri dan keluarga. Dalam masyarakat Arab hal itu sah-sah saja karena diterima secara sosial, namun dalam struktur masyarakat Indonesia yang punya value dan ethic yang berbeda dari bangsa Arab, perlu dipertimbangkan langkah antisipasi untuk mengcover dampak social dan psikis wanita. (lebih lanjut dampak psikis wanita yang dipoligami, lihat artikel berikut).
Antara Berkah dan Musibah
Pada umumnya, seorang wanita cenderung tidak mau dimadu, tapi cenderung mau menjadi madu. Bagi istri pertama, kebanyakan praktik poligami adalah musibah. Sebaliknya bagi istri kedua yang membutuhkan, poligami adalah berkah. Oleh karenanya, seorang suami sebelum melakukan poligami hendaknya dapat memastikan bahwa praktik poligami yang akan ia lakukan membawa berkah di kemudian hari bagi kedua pihak, bukan hanya salah satunya saja. Karenanya dibutuhkan sebuah proses Ishlah keluarga.
Seorang lajang yang menikah tidak sama kedudukannya dengan seorang suami yang ingin menikah lagi. Al-quran sendiri memberikan motivasi kepada masyarakat membantu lajang yang akan menikah.
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. An-Nur:32).
Motivasi untuk membantu “orang-orang yang sendirian” tersebut tidak ditemukan untuk suami dari sebuah keluarga yang akan melakukan pernikahan kedua. Justru yang ada adalah peringatan akan fungsi keadilan seperti disinggung dalam surat An-Nisa ayat 3. Jika tidak mampu adil, maka di ingatkan untuk hanya satu saja.
Dalam kasus seorang pemuda yang belum bekerja lalu nekat menikah misalnya, maka yang mananggung resiko hanya dua orang dewasa. Namun ketika seorang suami nekat menikah lagi, ia mempertaruhkan jiwa dan psikologis sekian banyak anak yang masih mencari jati diri dan butuh sosok utuh seorang ayah dalam proses tumbuh kembangnya.
Alasan halalnya hukum poligami tidak bisa dijadikan alat justifikasi atas praktik yang kurang memperhatikan unsur maslahat. Bagaimanapun tidak semua yang halal itu membawa maslahat. Jika implementasinya kurang bijak, bisa jadi justru mudharat yang didapat. Islam adalah agama yang Syamil (menyeluruh). Seyogyanya lah semua variabel dipertimbangkan terlebih dahulu. Kecenderungan di satu sisi dengan melupakan sisi yang lain, akan membawa kesenjangan.
Sebelum mengambil keputusan besar itu, pastikan suami telah melakukan langkah-langkah ishlah. Pertama, memastikan bahwa ia adalah suami yang ideal dan sukses memimpin keluarga. Kedua, punya kekuatan fisik dan harta berlimpah hingga tidak menganggu harta istri pertama. Ketiga, bukan nikah sirri dengan mendaftarkannya ke Pengadilan Agama. Tidak adil namanya jika istri pertama punya surat nikah sedang istri kedua berstatus nikah sirri. Ke-empat, (ini yang paling berat) yakni komunikasi ke keluarga besar. Diawali dengan minta nasehat orangtua dan mertua, Izin istri dan anak-anak, serta mempersaudarakan antar istri.
Terasa berat? Tentu saja. Karenanya tidak mudah menemukan model poligami yang ideal di masyarakat meski ada beberapa. Jika tidak dapat melakukan hal-hal di atas, saatnya untuk mempertimbangkan kembali keputusan besar itu. Sudah mampukah?
“Apabila seorang laki-laki memiliki dua istri namun tidak berlaku adil di antara keduanya, pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.” (H.R. At-Tirmidzi).
————————–
*Peneliti, Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam-Universitas Indonesia
(4635)
[…] pembahasan lebih lengkapnya di Sini […]