(SERIAL NAPAK TILAS PENAKLUKAN KONSTANTINOPEL OLEH SULTAN MEHMED II FATIH)
oleh: Agung Waspodo
Setelah meninggalkan Kilidülbahir, bis berangsur membawa kami menyusuri Selat Dardanella pada pesisir baratnya. Ada perasaan yg membuncah dalam dada. Saya tahu persis bahwa dibalik perbukitan Semenanjung Gelibolu di sebelah kiri ini terpendam sejarah Turki Utsmani pada episode terakhirnya. Episode yang bertolak belakang dengan era Latuftahanna namun kepahlawanan prajuritnya tak bergeming dalam keteguhan. Peran dan kekuasaan sultan sudah sangat berkurang, namun prajurit tetap setia. Berpuluh situs kepahlawanan hanya berjarak belasan kilometer dibalik bukit-bukit ini.
Namun, napak tilas kali ini fokus pada era awal Turki Utsmani dan semangay Latuftahanna menjadi titik sentralnya. Untuk itu kota Eceabat (Maidos) yang pernah menjadi pusat komando Divisi ke-9 yang mempertahankan Krithia dilewatkan begitu saja. Divisi ini telah mempersembahkan hampir seluruh prajuritnya sebelum mendapat bantuan bertahap dari korps ke-5 dan ke-14. Di pihak lawan, Divisi ke-29 sekutu menjadikannya sektor pendaratan S, V, W, X, dan Y yg relatif berhasil pada 25 April 1915 di Tanjung Helles. Sedih, menangis hati ini. Dengan berat saya hanya melambaikan rindu, tanpa disadari airmata meleleh. Kuusap agar tak ada yang melihatnya. Kota Boghali pun demikian, sepi dan sunyi. Padahal ia adalah rumah bagi Divisi ke-19 yg menguasai daratan tinggi Sari Bair. Mereka ini menghadang badai ANZAC Corps di Z-Beach, Ari Burnu, dan Teluk Suvla. Ada titik-titik berdarah seperti Lone Pine dan Chunuk Bair. Papan marka ke Boghali hanya disapa oleh debu bis kami. Sebagian peserta tertidur, sebagian lagi sepertinya fokus mencatat memoar perjalanan, mereka berhak untuk istirahat setelah hari yang panjang ini. Sedangkan aku, aku tak kuasa menutup mata. Ah sudahlah, tahun depan harus diatur untuk bisa mampir, pikirku.
Setelah lebih dari 60 menit kami sampai di kota Gelibolu, lebih populer di barat sebagai Gallipoli. Kota ini menjadi basis perjuangan Turki Utsmani pada Perang Dunia Pertama. Rumah bagi korps ke-3 dan Army ke-5, palang pintu terakhir sebelum jalan bebas ke ibukota İstanbul. Peserta napak tilas kembali bersemangat turun di Gelibolu, disamping kita akan menemukan benang merah dengan sejarah Nusantara di kita ini, sekarang sudah masuk waktunya makan siang.
Apakah benar ada pertalian antara Andalusia dengan sejarah Nusantara di kota ini? Mari kembali ke kisah Latuftahanna. Gelibolu telah melahirkan seorang Muhiddin Piri, tidak ada yang tahu persis tahunnya antara 1465-70 dalam era Sultan Mehmed II Fatih. Ia lahir dari keluarga pelaut yg handal. Pada tahun 1487, lima tahun sebelum kejatuhan Granada dan berakhirnya epos Andalusia, ia bersama pamannya, Kemal Reis, telah berulang kali mengirimkan persenjataan kepada pejuang Muslim yg masih bertahan dari gempuran raja Ferdinand dan ratu Isabella. Sedih bila mendengar atau membaca sindiran orang-orang kepada Turki Utsmani yang diposisikan seolah tidak peduli dengan derita Andalusia. Pada masa itu, Sultan Bayezid II Veli mengirimkan bantuan perang maupun kapal angkut tak terbilang ke Andalusia. Menjelang dan setelah tahun kepedihan 1492 itu, Muhiddin dan pamannya juga menyerang kepulauan Sisilia, Sardinia, dan Korsika utk menjadikannya tempat aman bagi muhajirin Andalusia. Masih kurang apa? Demikian jiwa pahlawan, lahir dalam keluarga pejuang. Mana bagian Nusantaranya? Sabar, sebentar lagi.
Setelah makan siang dan sholat Dzuhur kami menuju musium Piri. Kisah saya lanjutkan, bahwa setelah pamannya wafat pada tahun 1511, Muhiddin kembali ke Gelibolu untuk menekuni ilmu pemetaan, atau kartografi, dan navigasi laut. Ia menyadari bahwa Portugis, Spanyol, dan Inggris memiliki keunggulan dalam kebaharian. Nyata bahwa belajar adalah teman sejati para pejuang. Buku magnum opus-nya berjudul Kitab-i Bahriye dipersembahkan kepada Yavuz Sultan Selim I, cucunya Fatih, pada tahun 1517. Tahun yang menandai berakhirnya kekuasaan Mamluk di Mesir serta resminya Turki Utsmani menjadi Khadimul Haramain, pelayan tamu Allah untuk kedua kota suci Makkah dan Madinah. Posisi yang terhormat tapi sarat dengan amanah. Wawasan Turki Utsmani kini merambah ke bagian timur dari dunia Islam. Saya berbahagia, makan siang tadi cukup mengembalikan daya konsentrasi kami untuk menjalani narasi napak tilas yang cukup berat hari ini.
Beruntung jalan menuju musium cukup terik sehingga efek kantuk dari makan siang terkalahkan dengan sendirinya. Lanjut, keluhan dan permasalahan dari muslimin Mombasa di Afrika Timur, Diu di anak benua India, hingga Aceh dan Malaka di Nusantara, sampai juga ke telinga sultan di İstanbul. Kitab-i Bahriye menjadi sebuah landasan dan pedoman yang meyakinkan İstanbul bahwa ancaman Carriera da India-nya Portugis dapat diatasi. Ancaman armada Portugis yang selama itu bukan tandingan bagi Mamluk, bakal menjumpai lawan yang sepadan. Bukan sebuah kebetulan bahwa pertemuan antara Muhiddin Piri dan menteri utama (grand vizier) İbrahim Pargalı Paşa membuka jalan baginya untuk memperbaiki Kitab-i Bahriye semasa 1524-25. Setelah disempurnakan lalu kitab ini dipersembahkan kepada Sultan Suleiman I Kanuni dalam 434 halaman lengkap dengan 290 peta dari berbagai belahan dunia, bahkan bagian yang belum pernah dilayari pelaut Turki Utsmani. Mencengangkan sekali!
Jelas ada cerita dibelakang cerita ini. Tentu saja, İbrahim Paşa juga tercatat aktif melakukan kegiatan spionase untuk menyediakan informasi sensitif lagi rahasia bagi Muhiddin Piri. Muhiddin Piri yang kini mendapatkan pangkat Reis atas jasanya. Jangan ditanya metode apa yang digunakannya untuk mendapatkan data pelayaran Portugis yang tersimpan rapat dan ketat di Casa da İndia. Cukup menjadi saksi bahwa peta buatan Pedro Reinel yang menggunakan metode tercanggih saat itu, Equidistant Polar Projection, kini tersimpan rapi bukan di Lisabon, tetapi di Musium Topkapı İstanbul. Jelas ini kisah “Cloak and Dagger” kelas internasional. Gabrieli mencatat bahwa İbrahim Pargalı Paşa memanfaatkan jaringan rahasia pelaut Venisia, melalui Antonio Pigafetta, untuk “menyadap” langsung dari pusat arsip kelautan Kerajaan Portugal di Lisabon. Tak sadar kini kami menapaki tangga musium Piri Reis menuju lantai atas dimana tersimpan banyak memorabilianya.
Lantai dua musium lebih terang dan angin berhembus sepoi-sepoi. Kembali ke narasi Piri Reis; pada usianya yg sdh melewati 90 tahun dan bermukim di Kairo, Mesir, ia mengalami fitnah serta tuduhan yg keji sehingga wafat di tiang gantungan atas aduan gubernur Turki Utsmani yg berkedudukan di Basrah, Irak. Semoga Allah Ta’ala mengampuni kekhilafannya serta menerima prestasi, jasa, serta ‘amal ‘ibadah pejuang maritim yg belum mendapatkan perhatian ummat Islam selayaknya. Ada nuansa sendu pada peserta Napak Tilas kali ini. Kami menuruni tangga lebih diam dari biasanya.
Sebelum bis membawa kami ke destinasi berikutnya, saya ambil mic yang tersedia dalam bis. Saya jelaskan bahwa diantara jasa Piri Reis, melalui pengaruh kuat İbrahim Pargalı Paşa, adalah mendukung kebijakan Turki Utsmani utk membendung ekspansi Portugal atas negeri muslimin di wilayah Asia selatan hingga ke Nusantara. Kebijakan ini pada akirnya membantu perlawanan Kesultanan Aceh melawan Portugis di pada era Sultan Salim II Sarı, anak Sultan Süleiman I Kanuni. Untuk penggalan kisah ini ada baiknya kita simak pada catatan berikutnya. Bis meninggalkan kota Gelibolu, saya duduk terenyuh dan akhirnya berhasil memejamkan mata.
————————————-
Agung Waspodo,
Menara Pelabuhan Gelibolu – Lantai 2,
Museum Piri Reis
26 Mei 2015
(422)