Ketika masyarakat sibuk dengan tindakan pencegahan terhadap virus corona dan mematuhi prosedur jam malam yang ditetapkan oleh pemerintah, ada sebuah cerita unik yang terjadi di Kuwait. Para suami yang berpoligami sedang dirundung dilema yang hebat mengenai bagaimana membagi waktu dengan istri-istri mereka.
Sejak diberlakukannya jam malam secara penuh, mereka bingung dalam memutuskan dengan istri yang mana mereka akan menghabiskan periode sulit ini. Meskipun bisa dibilang masuk akal bahwa seorang suami dapat memilih untuk hidup dengan istri yang paling dicintai, namun Islam mengharuskan untuk bersikap adil di antara para istrinya.
Lantas, bagaimana fatwa Islam mengenai kehidupan rumah tangga poligami di tengah pemberlakukan jam malam tersebut?
Suka tidak suka, mereka harus berusaha memastikan bahwa waktu mereka terbagi rata untuk menghindari kecemburuan di antara istri-istri mereka sehingga hubungan mereka tetap harmonis di tengah pandemi ini.
Atas dasar tersebut, mantan anggota parlemen Abdul Latif Al Omairi mengajukan permohonan kepada Menteri Dalam Negeri bahwa ada hal lain yang harus diperhitungkan ketika memberlakukan jam malam total, seperti kehidupan rumah tangga seorang suami yang berpoligami dengan masing-masing istri punya rumah sendiri, sehingga perlunya mengeluarkan fatwa terkait hal tersebut.
Dengan diberlakukannya jam malam secara penuh hingga 30 Mei 2020, surat kabar Al Rai mengamati bagaimana rasanya hidup dalam keluarga poligami selama masa-masa sulit ini dan fatwa Islam terkait hal tersebut.
Ahmad Al Hajji Al Kurdi, anggota Dewan Fatwa Kuwait, mengatakan bahwa keadilan dalam pernikahan poligami adalah memberikan nafkah dan perlakuan baik bagi istri-istri mereka. Dia menjelaskan bahwa suami yang berpoligami harus tinggal di salah satu tempat istrinya dan memberikan istri yang lain kebebasan untuk memilih antara menerima atau diceraikan.
Namun, mazhab Hanafi dan Syafi’i mengatakan wajib bagi suami yang berpoligami untuk membagi waktu yang sama dengan masing-masing istrinya. Jika keadaan tersebut tidak memungkinkan bagi seorang suami dengan alasan keamanan dan menghindari penyakit, maka istri kedua, ketiga, atau keempat harus memahami situasi tersebut.
Sementara ulama Saudi, Abdul Mohsen Al Obeikan, mengatakan sang suami tetap tinggal bersama wanita yang tinggal bersamanya ketika jam malam diberlakukan sampai periode jam malam berakhir, dan setelah jam malam berakhir, ia memberi kompensasi kepada yang lain dengan jumlah malam yang hilang.
(17)