
Penentuan awal bulan menjadi perhatian bersama umat Islam terutama untuk bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah; bulan Ramadhan, Syawal (Hari Raya Idul Fitri), dan Dzulhijjah (ibadah Haji dan Idul Adha). Sebagian besar ibadah umat Islam berkorelasi dengan waktu; sholat, zakat, puasa, haji, dst. Al-Quran sendiri menjadikan waktu sebagai salah satu nama suratnya; al-Ashr (masa/waktu). Alhasil, para ilmuwan muslim dikenal sebagai pelopor berbagai bidang ilmu pengetahuan yang erat kaitannya dengan penentuan waktu. Sebut saja Al-Khawarizmi (780-850) seorang matematikawan dunia sekaligus pakar astronomi, Al-Battani (858-929) seorang ahli astronomi terkemuka, hingga Al Jazari (1136-1206) sebagai penemu jam.
Dewasa ini, penentuan awal bulan menjadi persoalan tersendiri bagi umat Islam. Sebagai contoh, pada tahun 2011 dalam kalender resmi Indonesia telah tercetak 1 Syawal adalah 30 Agustus 2011. Namun sidang itsbat kementerian Agama memutuskan 1 Syawal jatuh pada 31 Agustus 2011. Saat itu Muhammadiyah tetap pada pendirian semula bahwa awal Syawal jatuh pada 30 Agustus 2011. Sekanjutnya pada tahun 2012 Muhammadiyah jauh hari menentukan 1 Ramadhan tanggal 20 Juli 2012, sedangkan sidang isbat menentukan awal bulan Ramadhan jatuh pada tanggal 21 Juli 2012.
Ada pameo menarik di sebagian masyarakat bahwa umat Islam selalu ribut menentukan hari raya. Padahal, umat agama lain tidak pernah meributkannya bahkan untuk Hari Raya 100 tahun yang akan datang pun sudah dipastikan. Mengapa demikian?
Dua Mainstream Pendapat
Dalam khazanah fikih Islam, setidaknya ada dua pendapat terkait penentuan awal bulan qamariyah (sistem rembulan) yang berpatokan pada munculnya hilal (bulan sabit pertama). Pertama, harus dengan benar-benar melakukan pengamatan (melihat) hilal secara langsung. Kedua, cukup dengan melakukan hisab (perhitungan matematis/astronomis), tanpa harus benar-benar mengamati hilal.
Perbedaan pandangan ini terkait tafsir dari kata “melihat” seperti terkandung dalam hadits berikut:
“Berpuasalah kamu sekalian karena melihat hilal, dan berbukalah kamu sekalian karena melihat hilal”
( H.R. Bukhori)
Frase “melihat” inilah yang menjadi perbedan dua mainstream besar jamaah Islam di Indonesia; NU dan Muhammadiyah. Kalangan NU berpendapat bahwa frase “melihat” yang dimaksud harus secara kasat mata, sedang Muhammadiyah memandang “melihat” itu tidak harus dengan mata langsung, bisa melihat berdasar posisi geometris bulan.
Penanggalan Islam (Hijriyah) mendasarkan perhitungannya pada peredaran bulan yang lazin disebut kalender qamariah. Dalam kalender qomariyah, tanggal 1 ditandai dengan bulan sabit, tanggal 15 bulan purnama dan kembali lagi membentuk sabit di akhir bulan. Kondisi riil bentuk bulan berkorelasi langsung dengan tanggal dan bisa kita saksikan waktu itu juga. Hal ini bertolak belakang dengan kalender syamsiyah, tidak mungkin dibedakan bentuk matahari pada tanggal 1, 2, 15, dan seterusnya
Penggunaan sistem kalender qomariyah membawa konsekuensi untuk memastikan hilal ketika menentukan tanggal 1 Hijriyah. Inilah yang kemudian memunculkan metode rukyat (melihat langsung). Masalah bertambah ketika penentuan tanggal tersebut harus dikonversi ke dalam kalender Nasional yang menganut kalender dengan sistem peredaran matahari (Masehi).
Berikut perbedaan Metode Rukyat dan Hilal;
- Metode Rukyatul Hilal (melihat langsung bulan sabit)
Menurut metode ini, makna kata melihat dalam hadits di atas adalah penglihatan kasat mata, bukan prediksi ilmu hisab. Jika tidak bisa melihat bulan karena terhalang mendung, maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari. Bagi kalangan NU, metode hisab hanya pendukung metode rukyat, yakni untuk menentukan kapan akan dilakukan rukyat.
Penggunaan metode ini didasari oleh fakta bahwa Nabi Muhammad SAW dan para Shahabat dalam prakteknya secara langsung merukyat hilal sebagai patokan penentuan Awal Bulan sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits Shahih. Tradisi ini yang harus dilestarikan.
Namun, oleh pengkritiknya metode ini dianggap punya kelemahan. Pertama, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Dengan kata lain, metode rukyat tidak mendorong kemajuan science karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Artinya, metode ini mengharuskan umat Islam tiap tahun harus melihat bulan langsung untuk menentukan waktu-waktu pentingnya. Umat Islam takkan mempunyai satu kalender yang pasti. Dan ini tentu menyulitkan banyak pihak terkait unsur kepastian yang dipakai dalam bidang perdagangan, perkantoran, birokrasi, termasuk pemerintahan.Kedua, metode ini tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global, mengingat jangkauannya yang terbatas hanya dalam satu wilyah tertentu. Sedangkan bumi ini amatlah luas dengan perbedaan garis bujur dan lintangnya. Pada daerah antartika yang siang pada musim panas melebihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam, rukyat menjadi hal yang teramat sulit diaplikasikan.2. Metode Hisab Wujudul Hilal (Perhitungan munculnya Bulan Sabit)
Hisab artinya perhitungan. Metode ini berarti penentuan awal bulan dengan kriteria geometris benda langit tertentu (bumi, bulan dan Matahari). Metode ini bertolak pada kemajuan teknologi. Sejak masa K.H. Ahmad Dahlan, metode ini sudah digunakan dengan sebutan Hisab Wujudul hilal. Prinsip metode ini adalah penetuan awal bulan tidak dikaitkan dengan penampakan tetapi murni suatu kriteria geometris.
Metode ini menyaratkan tiga poin untuk bulan baru:
1. Telah terjadi ijtimak (konjungsi), di mana posisi bumi, bulan dan matahari sejajar.
2. Ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam (maghrib).
3. Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset; dengan kata lain, saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk.
Sebagai sebuah metode, Hisab tidak terlepas dari kritikan, terutama dari kalangan yang ingin menjaga tradisi Nabi dan generasi awal Islam (salafusshaleh). Metode ini dianggap kurang responsive terhadap dalil agama dan kesepaktan (ijma) ulama terdahulu (salaf) yang jelas-jelas memerintahkan rukyat untuk penentuan Awal bulan ibadah.
Persatuan Umat, Mungkinkah?
Meskipun idealnya seluruh elemen masyarakat masyarakat mengikuti ketetapan pemerintah (ulil amri), nampaknya hal itu akan sulit terjadi melihat beberapa faktor berikut;
Pertama, sebagai sebuah sistem organisasi, baik NU maupun Muhammadiyah –dengan segala perangkat rukyat dan hisabya– lebih dahulu ada dibanding pemerintah RI. Muhammadiyah berdiri tahun 1912 dan NU tahun 1926. Di kemudian hari pasca Kemerdekaan RI tahun 1945, metode penetapan hilal itupun masih dijalankan. Sebagai sebuah tradisi keilmuan puluhan tahun, semangat ego jamaah pun kemudian muncul.
Kedua, tradisi kebijakan politik presiden RI bahwa Menteri Pendidikan adalah jatahnya Muhammadiyah, sedang Menteri Agama adalah Jatah NU sangat mempengaruhi komposisi stakeholder di Depag. Hal ini menyebabkan Dien Syamsuddin selaku ketua PP Muhammadiyah beberapa waktu yang lalu mendeklarasikan untuk tidak mau ikut sidang itsbat lagi. Ini terkait aspirasi Muhammadiyah yang berkali-kali tidak di dengar oleh menteri agama yang notabene seorang penganut NU dengan metode rukyat-nya.
Meskipun terkesan mustahil, kita berharap ada upaya masing-masing ormas dan juga pemerintah untuk duduk bersama dan menyatukan sikap terkait perbedaan itu. Hal itu diharapkan dapat mereduksi potensi kericuhan di kalangan masyarakat awam. Kita berharap masyarakat bisa mengawali Ramadhan dengan hati yang tenang, tidak bingung oleh berbagai info yang justru menjadikan perselisihan masyarakat awan. Semoga!
(503)