
Fasilitas Bank Syariah Kok Minim?
Oleh: Alvin Prasetyadi, Praktisi Bank Syariah
Pendahuluan
Bank merupakan, salah satu, institusi yang sangat dipagari banyak regulasi. Masih ingat tentunya bagi sebagian besar masyarakat pada tahun 1998 terjadi Rush atau penarikan besar-besaran Dana Pihak Ketiga (DPK): tabungan, giro, dan deposito di Bank dari masyarakat yang menyebabkan kekacauan di negeri kita kala itu. Dari hal tersebut, membuat Bank Indonesia (BI) belajar untuk menghindari risiko ketidakpercayaan masyarakat menempatkan dananya kepada Bank dengan berbagai macam regulasi dan standar-standar pada perbankan.
Salah satu bentuk standar perbankan adalah Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha atau dikenal dengan istilah BUKU. Dari segi modal inti Bank, BUKU dibagi menjadi 4 tingkatan: BUKU I, BUKU II, BUKU III, dan BUKU IV. BUKU I memiliki modal inti dibawah Rp1triliun, BUKU II modal intinya paling sedikit Rp1triliun dan di bawah Rp5triliun, BUKU III modal inti sebesar paling sedikit Rp5triliun dan di bawah Rp30triliun, sedangkan BUKU IV memiliki modal inti di atas Rp30 triliun. Wow! Dan Bank Syariah pun (harus) mengikuti standar tersebut.
Lalu apa fungsi dari BUKU-BUKU tersebut? Tingkatan BUKU akan sangat memengaruhi layanan Bank, mulai dari jumlah Cabang, Cabang Pembantu (Capem), Kantor Kas, ketersebaran ATM, produk-produk yang boleh digunakan masyarakat (seperti e-banking, m-banking, sms banking, penerima dana pemerintah, dll), dan layanan lainnya. Hal tersebut menjadikan BUKU sangat strategis untuk pengembangan sebuah Bank.
Bank Syariah (BS) sendiri baru 1 Bank yang masuk katagori BUKU III, yakni Bank Syariah Mandiri (BSM). Itupun baru per 2016 ini. BS lainnya bagaimana? Tentunya masih dalam katagori BUKU II dan bahkan BUKU I. Untuk BS yang memiliki induk Bank Konven akan sangat bergantung kepada induknya terkait penambahan modal inti. Induk bisa memutuskan akan menambah modal kepada anak perusahaannya atau membolehkan pihak ketiga, baik investor domestik atau investor luar negeri, untuk menambah modal inti. Jika induk belom berkenan untuk menambah modal inti dan keberatan porsi saham mengecil karena investor dari pihak ketiga, BS hanya dapat menerima kondisi tersebut dengan berjuang melawan “raksasa” Bank Konvensional yang sudah jauh lebih lama eksis, lebih kuat, dan sistemnya sudah sejalan dengan regulasi di negeri ini.
Modal dan Senjata Bank
Sebegitu besarkah peran modal bagi performa Bank, khususnya BS? Ya! Semua sangat berkaitan. Saya akan coba jelaskan seberapa modal inti bisa menjadi “senjata” bagi performa bank.
1. Layanan Bank akan sangat dipengaruhi oleh katagori BUKU dari bank tersebut. Jumlah ATM bank BUKU IV yang setiap 1 kilometer, mungkin, akan lebih mudah ditemui daripada ATM bank BUKU I atau II. Jumlah Cabang atau Capem pun dipengerahui oleh katagori BUKU. Menagapa? Karena dianggap modal tersebut sejalan dengan kemampuan mem-back up kebutuhan pengadaan dan maintenance dari layanan tersebut. Jika pengadaan sebuah cabang baru membutuhkan dana sekita Rp3-5miliar, berapa dana yang dibutuhkan untuk mengadakan 100 cabang? Rp300-500miliar! Lalu apakah bank BUKU 1 mampu menyediakannya? Sangat sulit tentunya. Pun kalau bisa, mungkin, operasionalnya tidak berjalan dengan baik karena modalnya terserap hanya untuk pengadaan cabang. Begitu pun untuk pengadaan ATM, Capem, Kantor Kas, m-bangking, dll. Semuanya diukur risikonya dari modal inti yang dipunya.
2. Jumlah maksimal pemeberian kredit (untuk Bank Konven) dan pembiayaan (untuk BS) juga dipengaruhi oleh modal. Jadi Bank BUKU IV dapat meberikan kredit atau pembiayaan jauuuh lebih besar dibandingkan dengan Bank BUKU I atau BUKU II. Bank dikenai peraturan Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK) untuk Bank Konven dan Batas Maksimal Pemberian Pembiayaan (BMPP) untuk BS dalam menjalankan bisnisnya. BPMPK dan BMPP didasari dari jumlah modal yang dimiliki Bank. Misal, pembiayaan untuk proyek pemerintah yang memiliki kebutuhan dana besar dan tingkat risiko kecil, sulit “dinikmati” oleh BS. Wajar jika Bank BUKU IV dan III akan berbdaning lurus modal dengan pertumbuhan asset-nya, “ikan yang didapat sesuai dengan umpannya”. BS sebetulnya bisa saja mengambil proyek-proyek pemerintah yang besar tersebut, tetapi harus sindikasi atau bekerja sama dengan BS lainnya sehingga mencapai nilai kebutuhan mega proyek tersebut tanpa membentur BMPP.
3. Penanganan pembiayaan bermasalah atau kredit macet pun akan sangat berbeda tergantung jumlah modalnya, walau tidak menutup profesionalitas bankir berperan juga dalam penanganan masalah ini. Misal, Bank BUKU IV memiliki total kredit macet Rp 400miliar dengan modal Bank tersebut Rp90.000miliar atau Rp90triliun dapat melakukan mekanisme “write off” atau penghapusan kredit atau pembiayaan bermasalah dari modal. Bisa seluruh kredit macet atau pembiayaan bermasalah atau sebagian yang di “write off”. Hal ini dapat meperbaiki performa Bank dalam laporan triwulanan atau tahunan sehingga rasio Not Performing Loan (NPL) atau Not Performing Financing (NPF) dapat kecil.
Semakin kecil NPL atau NPF, semakin sehat bank tersebut, semakin dipercaya publik, dan semakin besar peluang mendapat memperbesar laba yang bisa meningkatkan layanan Bank. Lalntas jika BANK BUKU I dan BUKU II yang modal tidak besar, tetapi memiliki kredit atau pembiayaan macet yang, misal, sama besarnya Rp400miliar, tentu ini akan memusingkan jajaran manajemen Bank bagaimana mengatasi hal tersebut tanpa menggerus modal dan laba mereka. Jika tidak bisa diatasi NPL dan NPF, Bank akan terkena sanksi: baik stop sementara memberikan pembiayaan atau menggerus modal dan laba yang berakibat ditutupnya layanan perbankan (Cabang atau Capem) atau diturunkannya dari Cabang ke Capem, Capem menjadi Kantor Kas. Hal tersebut diambil untuk mengantisipasi masalah yang lebih besar dan efisiensi karena Bank dianggap belum mampu me-monitoring atau mengontrol risiko yang muncul.
Bayangkan jika BS dengan modal seadanya dalam bisnis perbankan, layanan dibatasi dan terbatas, jumlah maksimal pemberian pembiayaan tidak bisa mengambil “kelas kakap”, dan saat pembiayaan bermasalah tidak dapat ditangani dengan tepat, apa yang terjadi? Ketidakpuasan masyarakat. Alhamdulillah BS masih bisa survive sampai sekarang dan terus berkembang dengan keterbatasan modal. Hal tersebut tentunya menuntut kecerdasan startegi manajemen BS dan kemampuan memadai dari bankir syariah dalam menjalankan bisnis dan prosedur Bank.
Solusi Keterbatasan
Ada bebrapa opini saya dalam menangani keterbatasan yang dibahas di atas:
1. Regulasi dalam pembentukan Bank Umum Syariah (BUS) tidak boleh “main-main”. Jika berekspetasi BS dapat tumbuh dan berkembang, jangan dibekali seadanya. Harus dibuat komitmen bagi Bank Konven yang berkeinginan membentuk entitas anak perusahaan BUS untuk dibatasi minimal setoran modal. Minimal setoran modal ini yang standarnya harus ditingkatkan, misal, minimal Rp 5triliun atau lebih sehingga BS dapat memberikan layanan dan ekspansi yang lebih maksimal sejak awal.
2. Jika Bank Konven, sebagai induk, belum mau dan mampu menambah modal dan mebolehkan investor luar berkontribusi, saran saya tetap saja jadi Unit Usaha Syariah (UUS). Artinya BS tetap menginduk kepada Bank Konven. Hal ini terlihat seperti jalan mundur seperti kebijakan BI untuk mendorong pembentukan BUS. Tetapi, BUS yang dibentuk seadanya hanya akan memberatkan pertumbuhan BS dengan risiko yang sudah di bahas di atas. Dengan berbentuk UUS, BS memiliki maksimal plafond pembiayaan sama dengan induknya.
Jika induknya Rp600miliar, BS pun dapat memberikan pembiayaan sejumlah tersebut dengan produk syariah yang berbeda. Layanan Bank Konven yang sudah besar pun bisa dipakai oleh BS tanpa perlu biaya tambahan. Pertambahan Cabang dan Capem Syariah pun lebih mudah dengan modal yang dimiliki induk. Hanya saja dalam menjalankan hal ini diperlukan sistem yang baik untuk menjalankan dua sistem Konvensional dan Syariah dalam satu Bank. Itu hal teknis, tetapi ekspetasi BS berkembang punya konsekuensi. BUS dengan modal kuat atau UUS dengan sistem yang baik.
Allahu a’lam bishawab…
—————————–
(370)