
“Saya berbaiat pada amirul mukminin Abu Bakar al-Baghdadi al-Quraisyi untuk mendengar dan taat, pada kondisi susah dan mudah, pada kondisi giat dan malas, walau hak kami ditelantarkan, dan saya tak akan merampas kekuasaan dari pemiliknya kecuali saya melihat kekafiran yang nyata berdasar dalil yang nyata dari Allah SWT”
(Teks Baiat ISIS)
Video berdurasi 6 menit itu tiba-tiba menggemparkan publik Indonesia. Ratusan orang dalam sebuah ruangan tertutup mengucapkan baiat (sumpah setia) di bawah bimbingan satu imam. Bahkan, peristiwa baiat WNI kepada ISIS itu diawali dengan sambutan hangat sang Khalifah; Abu Bakar al-Baghdadi.
Adalah ISIS; Islamic State of Iraq and Syiria (Arab: Daulah Islamiyyah fie Iraq wa Syam [داعش]), sebuah gerakan perlawanan di Iraq dan Suriah yang akhir-akhir ini jamak dibicarakan media atas deklarasi kekhilafahannya. Negara Irak pasca Invasi AS dan Suriah yang dilanda perang saudara Sunni-Syiah menjadi lahan subur pertumbuhan gerakan perlawanan ini. Nama lain yang sering dinisbatkan pada ISIS adalah Islamic State in Iraq and the Levant (ISIL).
Mereka tak segan-segan mengajak kaum muslimin di penjuru dunia untuk berbaiat dan bergabung di bawah panji ISIS. Gayung bersambut, beberapa aktivis gerakan jihad dari berbagai negara merespon ajakan tersebut dengan mengunggah video penerimaan mereka ke laman Youtube hingga dapat diakses oleh semua masyarakat dunia.
ISIS sendiri lahir sebagai akibat invasi AS ke Irak tahun 2003. Waktu itu beberapa kelompok gerilyawan bertahan atas gempuran tentara koalisi internasional pimpinan AS. Inilah bibit ISIS yang kemudian pada tahun 2005 membentuk Majelis Syura Mujahidin yang kemudian mendeklarasikan Negara Islam Irak pada tahun 2006 dengan Abu Umar al-Baghdadi sebagai pemimpinnya. Barulah pada tahun 2010 Abu Bakar al-Baghdadi memimpin gerakan ini mengantikan Abu Umar yang meninggal. Saat itu sedang maraknya moment Musim Semi Arab (Arab Spring) di Mesir, Tunisia, dan Libya.
Di kemudian hari gerakan ini bersinergi dengan kelompok perlawanan rakyat Suriah melawan Rezim Bashar Assad. Selanjutnya lahirlah Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) pada 9 April 2013 dengan pemimpin tetap Abu Bakar al-Baghdadi. Gerakan ini menambah barisan Jihad di wilayah itu setelah sebelumnya telah eksis Jabhat an-Nusrah, Jabhah Islamiyah, Ahrar as-Syam, dan kelompok jihad lainnya. Namun, dari semua kelompok itu, ISIS yang paling fenomenal. Tak perlu waktu lama bagi gerakan ini untuk menguasai wilayah seluas 400.000 km persegi di Irak dan Suriah. Sebuah area yang lebih luas bahkan dari gabungan 5 negara Teluk; Qatar, Emirat Arab, Bahrain, Yaman, dan Lebanon (Wikipedia).
Respon Indonesia
Menyusul deklarasi oleh khalifah ISIS al-Baghdadi, sebagian masyarakat Indonesia meresponnya dengan melakukan baiat, seperti dilakukan ribuan jamaah di Tangerang yang diunggah ke laman Youtube.
Tentu ada hubungan kuat baik dari sisi aktor maupun ideologi yang melatarbelakanginya hingga mereka begitu mudah menerima ISIS dan al-Baghdadi sebagai pemimpin mereka.
Sebagaimana yang diungkap oleh Azumardi Azra, Guru Besar UIN Jakarta, terdapat sekitar 30 sampai 50-an WNI yang bergabung dalam gerakan ISIS. Jejak keterlibatan WNI di konflik Timur Tengah bukanlah hal yang baru sebab sejak tahun1980-an tercatat beberapa WNI yang terlibat dalam perang di wilayah pegunungan Afganistan dan Pakistan.
Proses baiat dalam ajaran syariat sendiri sebenarnya amat sakral dan membawa konsekuensi yang serius bagi pengucapnya. Karena sebenarnya, lafal baiat itu membuat pengakuan seorang khalifah sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin politik mereka. Konsekuensinya, segala perintah khalifah bersifat wajib dan haram hukumnya untuk tidak dilaksanakan sebagaimana lafal baiat yang diucapkan. Termasuk perintah jihad qital (perang) dan kegiatan serupa.
Sehingga dapat dibayangkan, betapa bahanyanya jika perekrutaan ISIS di Indonesia menjadi masif. Boleh jadi pada suatu saat al-Baghdadi memerintahkan mereka yang berbaiat untuk memerangi Pemerintah RI dengan tujuan mendirikan negara Khilafah di Indonesia. Tentu ini acaman yang amat serius bagi keutuhan NKRI.
Sontak saja aksi ini mendapat perhatian lebih dari pemerintah RI, terutama pihak Kepolisian dan BNPT. Bahkan, secara tegas Kepala BNPT, Ansyaad Mbai, mengancam WNI yang bergabung ke ISIS akan dicabut status kewarganegaraanya. Dua ormas besar Indonesia; NU dan Muhammadiyah sendiri telah resmi menyatakan penolakan mereka terhadap ISIS. Keduanya memperingatkan bahwa ISIS adalah kelompok sektarian radikal yang menempuh cara kekerasan dan sangat bertentangan dengan prinsip Islam yang rahmatan lil alamien. Yang menarik, organisasi yang dikenal berhaluan garis keras model FPI pun menolak ISIS.
Sebenarnya, NKRI dan Pancasila sudah cukup untuk mewadahi kepentingan umat Islam dalam melaksanakan ajaran agama. Sebagaimana ormas-ormas Islam di Indonesia berpandangan bahwa penegakan hukum syariah dalam konteks sosial maupun hukum formal tidak bisa diletakkan di luar NKRI. Sebagai misal adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang kini telah menjadi hukum resmi di Indonesia. Perlu diingat juga bahwa keberadaan NKRI itu berdiri atas perjuangan dan darah para syuhada pejuang muslim Indonesia yang gugur membela sang Merah-Putih.
PBB, Israel, dan Demokrasi Kita
Di tengah maraknya kampanye untuk mewaspadai bahaya ISIS oleh pemerintah maupun media mainstream di negeri ini, ada beberapa hal yang luput dari perhatian.
Pertama, terkait aspek politik global dimana sebagian masyarakat memandang PBB tidak mampu memainkan peran vitalnya sebagai Lembaga Perdamaian Dunia. Peristiwa genoida di Gaza-Palestina baru-baru ini (dan masih berlangsung) setidaknya menjadi bukti nyata akan ketidakberdayaan PBB atas keangkuhan satu negara; Israel yang senantiasa mendapat back up amunisi dan Veto dari AS. Kondisi dimana satu pihak diperlakukan tidak adil akan menjadi lahan subur tumbuhnya radikalisme.
Kedua, tatanan demokrasi kita yang tidak kunjung membaik serta tidak membawa perubahan yang signifikan. Sebagian masyarakat kecewa dengan tatanan politik negeri ini yang semakin rusuh dan makin tak beretika baik di dunia nyata maupun dunia maya. Media dan netizen yang tidak sehat ikut andil dalam hal ini. Pendek kata, tatanan demokrasi Indonesia saat ini bukanlah sebuah harapan bagi mereka.
Hal tersebut setidaknya memberi andil cukup signifikan pada sikap hopeless sebagian masyarakat di negeri ini; tatanan dunia yang tidak adil dan tatanan demokrasi Indonesia yang tak menjanjikan. Sehingga wajar mereka mencari solusi lain. Dan sayangnya pilihan itu jatuh ke ISIS.
(281)