
oleh: Muhammad Zulifan
(Peneliti, Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam-UI)
hgfh
Saat Nabi SAW masih hidup, beliaulah satu-satunya sumber rujukan bagi kaum muslimin. Sepeninggal Nabi dan seiring tersebarnya Islam ke penjuru dunia, muncullah tokoh-tokoh rujukan yang berijtihad sesuai kondisi masyarakat setempat, baik dari kalangan Shahabat hingga generasi penerusnya, hingga para imam madzhab yang empat. Tidak ada lagi sumber rujukan tunggal. Dari sini corak keislaman mulai nampak dimana Islam menyatu dengan budaya masyarakat tanpa meninggalkan prinsip-prinsipnya.
Ribuan tahun berlalu, umat Islam di masing-masing wilayah mempraktikkan ajaran Islam sesuai madzhab yang mereka anut. Memasuki abad modern, muncullah para mujaddid (pembaharu Islam) yang membawa ijtihad gerakan Islam sebagai respon atas keterpurukan umat Islam waktu itu, terutama sebab penjajahan bangsa Barat.
Sederet nama tokoh bermunculan mulai Muhammad ibn Abdul Wahhab (1703-1787 M) dengan gerakan pemurnian aqidahnya di Saudi, Said Muhammad Sanusi dengan Gerakan Sanusiyyah di Afrika Utara, Jamaluddin Al Afghani (1839-1897) dengan pan Islamisme-nya, Muhammad Ali Jinnah (1876-1948) di India, Muhammad Abduh (1849 –1905) dan Rasyid Ridha (1865-1935) di Mesir dengan gerakan pendidikan Islamnya.
Dua tokoh terakhir menginspirasi K.H Ahmad Dahlan melalui majalah al-Manar, hingga sekembalinya dari Mekah, K.H Ahmad Dahlan mendirikan gerakan Muhammadiyah pada tahun 1912. Disusul kemudian K.H. Hasyim Asyari dengan mendirikan Nahdhatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Dua gerakan ini pada akhirnya menjaid tulang punggung Islam di bumi nusantara lewat kegiatan pendidikan dan sosialnya, tak terkecuali peran kadernya dalam mem-back up RI di masa perang kemerdekaan.
Selain nama-nama di atas, muncul juga pembaharu Islam yang memunculkan organisasi gerakan (harokah) hingga tersebar ke manca negara, tak terkecuali Indonesia. Sebut saja nama Hasan Al-Banna yang mendirikan jamah Ikhwanul Muslimin (IM) pada tahun 1928, serta Taqiyyudin An Nabhani dengan gerakan Hizbut Tahrir (HT) pada tahun 1953, disamping gerakan Salafi yang masih malu-malu menyebut diri sebagai organisasi meski mewujud di banyak lembaga dakwah.
Pada tahun 1980-an, mulailah gerakan tersebut intens masuk ke Indonesia. Salah satu factor yang menyebabkan gerakan-grakan itu mudah diterima di kalangan kaum terpelajar perkotaan adalah factor gagasan dunia Islam, serta factor internasionalisme Islam, sesuatu yang tidak dimiliki NU dan Muhammadiyah.
Gerakan dakwah di kampus-kampus di tanah air mulai marak pada tahun 90-an. Muncullah nama Lembaga Dakwah Kampus dan Rohis. Sampai tahun 2000-an, setidaknya ada 3 mainstream gerakan dakwah yang dominan di kampus. Masing-masing gerakan tersebut memunculkan corak keislaman yang unik, dari ciri fisik sampai cara mereka berinteraksi dan memandang orang lain di luar kelompoknya.
Ormas vis a vis Harokah Islam
Tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan ketiga gerakan Islam di atas sedikit banyak mengusik komunitas yang telah lama eksis di Indonesia (ormas). Dalam beberapa kasus muncul gesekan antara ormas dan harokah Islam terkait sebagian kader dan aset ormas yang beralih ke gerakan Islam tersebut. Lebih jauh, baik NU maupun Muhammadiyah sempat mewanti-wanti kadernya agar waspada terhadap ekspansi gerakan Islam tersebut. Muhammadiyah misalnya, pernah mengeluarkan arahan resmi agar mewaspadai apa yang mereka sebut sebagai “virus tarbiyah” melalui surat yang dikeluarkan Pimpinan Pusat.
Sebenarnya, perpindahan kader dari satu organisasi dakwah atau gerakan islam ke lainnya adalah hal alamiah, layaknya seorang pekerja yang berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya. Biasanya, faktor ketidakpuasan di komunitas lama atau pencarian pengalaman baru menjadi penentu utama kepindahan tersebut. Secara alamiah, orang akan mencari apa yang tidak ditemukan pada perusahaan sebelumnya hingga mencapai apa yang menjadi ekspektasinya.
Dalam konteks gerakan islam, sebuah organisasi mudah diinflitrasi sebuah paham dari luar ketika terdapat celah pemikiran yang kosong. Salah satu faktor daya tarik harokah adalah internasionalisme Islam. Dibanding Ormas yang bersifat lokal, harokah Islam dipandang lebih punya cita-cita persatuan internasional yang jelas. Bagi sebagain pemuda muslim, NU dan Muhamadiyah dinilai sudah tidak dapat menjawab tantangan global hingga tak mampu lagi menampung aspirasi mereka.
NU, Muhammadiyah, maupun ormas Islam lainnya adalah produk lokal dan hanya beroperasi secara lokal. Faktor ini yang menjadikan Ormas tersebut dirasa kurang responsif pada penyikapan isu-isu dunia Islam semisal masalah Palestina dan penjajahan dunia Islam.
Bagi mereka yang mendambakan persatuan umat Islam, ide internasionalisme itu sangat seksi. Tentu kita tidak akan bisa menjumpai warga negara asli Arab, Eropa atau Afrika yang berideologi NU atau Muhammadiyah serta terkoneksi dengan kebijakan Pimpinan Pusat di Jakarta. Hal berbeda ketika kader harokah datang ke wilayah tersebut, mereka bisa menjumpai saudara ideologi mereka dengan nama dan visi organisasi yang sama. Hal itu menjadikan mereka mudah melakukan koordinasi antar negara terkait isu-isu global terkini.
Yang jelas, meski NU atau Muhamadiyah sering marah saat kader dan amal usaha mereka “diambil alih” harokah Islam, namun perlu disadari bahwa anak muda itu menerima gerakan lain atas dasar kesadaran penuh dan prinsip kebutuhan yang lebih dinamis.
Habitus Aktivis Dakwah
Seringkali penampilan seorang aktivis sering berbanding lurus dengan gerakan yang ia geluti. Sampai-sampai pilihan panjang celana dan model dan warna baju bisa menggambarkan seluruh kedirian seseorang, mulai dari prinsip-prinsipnya tentang fiqh, paradigma dakwah di masyarakat, pandangannya tentang politik dan negara, hingga gambaran aktivitas sehari-hari.
Di kampus misalnya, untuk mengetahui gerakan dakwah yang dianut seorang mahasiswa, tak usah ditanyakan kamu ikut jamaah apa? Cukup lihat pakaian ataupun panjang celananya.
Ada pula aktivis yang mudah diidentifikasi dengan password tertentu, misal kata khilafah. Apapun kasusnya, ujung-ujungnya adalah Khilafah. Ketika ada kasus kenaikan BBM, komentarnya tegakkan khilafah, ada kasus korupsi, komentarnya tegakkan khilafah. Singkat kata, mau serumit apapun penyakit bangsa, satu obatnya: khilafah!
Sementara aktivis lain mudah diidentifikasi dengan segala kegitannya yang tidak akan jauh dari tema “Palestina dan Israel”. Bagi mereka, masalah palestina adalah masalah utama umat Islam di dunia dimana masalah itu senantiasa tidak selesai karena ketidakpedulian Negara-negara muslim.
Adapula yang menganggap apapun permasalah bangsa ini yang rumit, apakah itu korupsi, kemiskinan, kejahatan, solusinya adalah tegakkan aqidah, maka Islam akan tegak dengan sendirinya. Tidak perlu yang namaya organisasi dakwah, apalagi sampai ikut berpolitik. Karena dari dulu politik ya begini-begini saja.
Ada pula yang meyakini islamisasi Ilmu di lembaga pendidikan sebagai satu-satunya solusi kebangkitan peradaban. Karenanya mereka banyak mengadakan kajian pemikiran mengkritisi liberalisasi Ilmu dan agama.
Dalam berbagai kesempatan, penulis mengikuti diskusi tentang tema apapun terkait isu keislaman. Biasanya diskusi berjalan sengit sekaligus tiada ending-nya. Masing-masing punya pijakan yang dirasa paling benar hingga tidak pernah bisa dikompromikan. Sampai-sampai satu pihak mudah menuduh pihak lain yang tidak sependapat dengannya.
Kalau sudah begini, maka potensi saling mengkalim kebenaran dan menyalahkan orang lain muncul. Tentu kita pernah berinteraksi dengan teman yang menganggap keislaman kita belum “komplit” karena celana kita tidak ngatung atau tidak berjenggot. Atau mencap Pemahaman Islam kita melenceng karena suka mendemo atau mengkritik pemerintah. Ada pula kawan yang bilang kita sekuler karena menerima pancasila dan NKRI. Atau mengkritik kita yang menggunakan istilah Barat dalam berwacana. Lantas bagaimana? Mana gerakan yang benar?
Perbedaan Variatif Vs Kontradiktif
Sejatinya, pendapat dalam masalah ijtihadiyah itu tidak ada yang 100 persen benar atau 100 persen salah. Masing-masing pendapat punya unsur kelebihan dan kekurangan terkait kontes zaman dan kondisi lapangan.
Adanya variasi gerakan dalam dakwah adalah perkara ijtihadiyah, bukan kebenaran mutlak karena Nabi tidak memberikan tongkat estafet ke salah satu tokoh gerakan yang kesemuanya lahir ribuan tahun setelah beliau wafat. Islam diwariskan kepada para ulama turun menurun yang tersebar di penjuru dunia. Mereka berijtihad mempertimbangkan factor-faktor masyarakat lokal hingga terbentuk berbagai madzhab. Maka tidak boleh ada satu pihak yang mengklaim hanya jamaahnya yang paling benar hingga menafikan jamaah lain.
Bak cendawan yang tumbuh sporadic di musim hujan, begitulah tumbuhnya berbagai macam gerakan Islam atas ketiadaan kepemimpinan Islam yang satu (amirul mukminin) ditambah kolonialisme yang melanda negara-negara Islam waktu itu. Wajar jika kini kita dapati berbagai ragam gerakan Islam (jamah).
Namun perlu disadari bahwa keragaman gerakan Islam (baca: jamaatu minal muslimin) adalah keragaman dalam variasi dan spesialisasi, bukan keragaman yang bersifat kontradiktif. Tidaklah ada kelebihan satu gerakan dengan gerakan lainnya, kecuali kesemuanya saling melengkapi. Ini perlu disadari karena kesatuan tunggal jamaah islam (jamaatu al Islam) belum terbentuk.
Dalam hal sebuah jamaah/gerakan Islam dinilai melenceng ataupun keluar dari prinsip islam, maka harus diputsukan oleh pengadilan. Konteks Indonesia hal itu sudah dilakukan oleh MUI. Jika salah satu jamaah melabel jamaah selainnya, maka tindakan itu akan dibalas dengan tindakan serupa, dan hal ini yang banyak terjadi sekarang.
—bersambung ke Bagian 2
(2818)