
oleh: Muhammad Zulifan
(Peneliti, Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam-UI)
Antara Tsawabit dan Mutaghayyirat
Sebelum kita menilai berbagai gerakan islam yang ada, terlebih dahulu kita tentukan parameter yang benar dalam menilai sebuah jamaah. Dalam Islam dikenal unsur tsawabit (permanen) adalah masalah-masalah ushul (prinsip) di dalam ajaran Islam, biasanya masalah-masalah ijma’ yang telah menjadi konsensus yang disepakati di antara para imam berbagai madzhab Ahlussunnah Waljama’ah. Sedang mutaghayyirat (dinamis) adalah masalah-masalah furu’ (non prinsip) dari ajaran Islam.
Mutaghayyirat juga berarti masalah-masalah ijtihadiyah-khilafiyah yang merupakan wilayah ijtihad para ulama, dan yang telah diperselisihkan atau berpotensi untuk diperselisihkan di antara para imam mujtahidin dari kalangan Ahlussunnah Waljama’ah.
Dua kombinasi unsur ini membawa jaran Islam menjadi fleksibel untuk diterapkan di masyarakat.
Aspek tsawabit dominan pada masalah aqidah, tauhid dan keimanan, sehingga masalah-masalah ini biasa dikenal dengan istilah masalah-masalah ushul. Sedang yang yang lebih dominan aspek mutaghayyirat-nya seperti masalah-masalah mu’amalah dalam berbagai bidang kehidupan, semisal bidang-bidang sosial kemasyarakatan, ekonomi, budaya, pendidikan, politik, dan lain-lain.
Pada praktiknya, sering kita jumpai dua kutub ekstrim. Satu kutub menganggap segala yang telah ada dan dilakukan generasi awal Islam (salaf) adalah sesuatu yang final dan harus diikuti, hingga model pakaian dan perkara dunia lainnya. Sedang satu kutub lagi berpandangan apapun yang ada dalam Islam bisa diubah sesuai dengan perkembangan zaman. Tidak peduli apakah ia masalah muamalah maupun ibadah dan aqidah, semuanya bisa diubah mengikuti “semangat zaman” sebagaimana dilakukan kaum liberal.
Tentu tidak bisa hitam putih ataupun “gebyah uyah” dalam menilai masing masing jamaah. Jamaah yang berbeda hanya dalam hal furu’ atau mutaghyayirat, maka ia masuk dalam kategori perbedaan variatif/spesialisi, misalnya: NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, HTI, Salafy, Tarbiyah, Jamaah Tabligh.
Sedang jamaah yang telah menyalahi perkara ushul / Tsawabit, mereka adalah Ahmadiyah, JIL, NII KW 9, Islam Jamaah/LDII, Islam Ingkar sunnah.
Tidak sembarang orang bisa menfatwa sesat/melenceng sebuah jamaah. Konteks Indonesia, kita mengacu pada fatwa MUI sebagai representasi perwakilan jamaah-jamaah di Indonesia.
Berfikir Komprehensif
Masalah umat begitu kompleksnya, tidak mungkin hanya satu kelompok yang bisa mengatasi semuanya. Paradigma “ one problem one solution by one people” perlu dihindari, seperti mengaggap diri paling hebat dan bisa menyelesaikan semua masalah cukup sendirian.
Fenomena yang terjadi, umat Islam kini lebih menyukai budaya simple dan enggan berfikir lebih rumit, detail dan komprehensif. Padahal simplifikasi masalah bangsa pada satu muara; belum tegakkanya khilafah, menjadikan anggota jamaah tersilap untuk memikirkan hal-hal yang lebih rumit, akibat pola pikir yang terlalu simple tadi. Ide kreatif menjadi beku karena adanya tembok pembatas dalam alur berfikir. Bagaimana berpartisipasi memeperbaiki negara, sistem birokrasi, sistem politik hingga sistem militernya. Semua itu butuh kajian yang tidak simple, bukan sekedar solusi normatif yang amat sangat sulit konteks implementasinya ke dalam Indonesia kini.
Untuk menegakkan Al-Islam, tidak harus mendirikan negara Islam, tapi, kuasai hukumnya, undangundangnya, ekonominya, pendidikannya, birokratnya, militernya, pers medianya, maka Islam akan tegak dengan sendirinya.
Selanjutnya, pemikiran mengarahkan segala kerusakan di dunia ini adalah karena rekayasa Yahudi membawa akibat umat tidak dewasa. Aktivis dakwah kurang berfikir dengan kajian yang lebih luas dan komprehensif terhadap suatu masalah secara ilmiah dan faktual.
Pemikiran yang menganggap semua masalah akan selesai dengan kita melaksanakan sunnah dan meninggalkan bidah, hingga acuh tak acuh pada permasalahan umat kontemporer, cukup taat dengan Pemerintah. Mereka telah lupa bahwa mengishlah negara, berpolitik (termasuk berperang dan persiapannya) adalah bagian dari sunnah yang Rasul ajarkan juga.
Bagimana mungkin umat Islam yang mayororitas ini menerima pendapat yang mengharamkan pemilu. Itu, sama saja dengan mengatakan serahkan saja Kepemimpinan negeri ini pada orang-orang fasiq, setelah orang fasiq itu terpiliih, kita disuruh wajib taat dan tidak boleh mengkritiknya. Seolah kita disuruh serahkan leher kita pada musuh di awal tanpa sedikitpun berani bertanding.
Terakhir, pemikiran bahwa Islamisasi ilmu sebagai solusi utama dalam membangkitkan peradaban juga kurang tepat, karena peradaban Islam itu berdiri tidak hanya dengan ilmu, lebih jauh harus dibarengani dengan amal nyata di masyarakat yang berproses hingga tercipta berbagai inovasi dan penemuan-penemuan besar. Lebih dari itu dibutuhkan arah kebijakan nasional yang jelas atas pembangunan masyarakat melalui pendidikan, termasuk membangun sarana prasarana pendidikan. Dan arah kebijakan nasional yang berpihak pada kepentingan umat itu tidak bisa diraih tanpa partisipasi politik.
Pilar-pilar Persatuan
Telah disinggung bahwa semua gerakan dakwah mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Yang membedakan kita adalah ketaqwaan dan akhlak sebagai seorang muslim; Inna akramakum `indallahi atqakum.
Jamaah Salafi mungkin punya kelebihan dalam kekonsistenan mereka mengkaji ilmu hadits, disamping mengurusi masalah akidah, berusaha memurnikan umat ini dari praktik khurafat. Sedang jamaah Tarbiyah punya pengalaman dalam implementasi nilai Politik Islam di Eksekutif dan parlemen menghadapi faham liberal. Mereka menggunakan cara damai yang legal yaitu mengikuti pemilihan umun dan melaksanakan cara-cara demokratis. Sehingga, tidak membiarkan panggung politik hanya dipenuhi oleh orang-orang sekuler.
Adapun HT dengan konsep Khilafahnya punya peran menghadang ideologi sekuler serta memberi alternative lain dari demokrasi agar tidak kebablasan seperti sekarang ini.
Jamaah Tabligh punya kelebihan pada direct selling ke pintu-pintu rumah ummat dan membendung perilaku hedonis masyarakat.
Muhammadiyah punya kelebihan dalam bidang sosial, pendirian sekolah dan institusi pendidikan dan kesehatan. Sementara NU punya kelebihan dakwah kultural, dakwah via pesantren pada masyarakat awam di pedesaan dan wilayah pelosok.
Disamping masih ada aktivis gerakan dakwah yang bekerja dalam bidang ekonomi dan Perbankan Syariah beroperasi berdasarkan hukum syara’ dan kaidah-kaidahnya, di samping menjauhi transaksi yang diharamkan, terutama riba.
Tak terkecuali mereka berjuang dalam bidang Media atau juga berjuang dengan membuat stasiaun radio Islam, mendirikan stasiun televisi untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam dan suara umat.
Jelas sudah, tidak ada satupun harokah islam yang bisa mengcover semua bidang tersebut.
Dalam logika inilah, persatuan umat menjadi keniscayaan.
(874)