Natal dan Toleransi Islam
oleh: Muhammad Zulifan
(Peneliti, Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam-UI)
h
“Tentara Salib membantai ribuan muslim di balik tembok Jerussalem, ketika mereka merebut kota ini”, Balian mulai pembicaraan.
“Aku bukan orang seperti itu. Aku Sholahuddin..Sholahuddin”
“Pergilah ke negeri-negeri Kristen, bawa pasukan dan rakyatmu yang memang ingin pergi. Tak ada pembunuhan,” kata Saladin.
“Jika begitu, aku serahkan Jerusalem kepada Anda,” balas Balian.
(Kingdom of Heaven)
Sketsa dialog antara Shalahuddin Al-Ayyubi (Saladin) dengan Balian of Ibelin saat perundingan penyerahan kota Jerusalem ini cukup menunjukkan sejarah toleransi yang dipraktekkan umat Islam kepada agama lain. Ini menunjukkan praktek ajaran toleransi oleh umat Islam sudah ada sejak dahulu dan bukan sebuah hal yang ahistoris. Ia muncul dalam tiap lembar sejarah peradaban.
Toleransi Islam dalam Lintasan Sejarah
Dahulu di wilayah Palestina baik umat Islam, Nasrani, dan Yahudi hidup berdampingan secara damai di bawah Pemerintahan Islam. Sejak berhasil menguasai wilayah Palestina pada era Umar bin Khattab, penguasa Islam tidak pernah memaksakan agamanya kepada penduduk setempat. Mereka tetap diperbolehkan menganut keyakinan lama mereka dan diberi kebebasan beribadah. Kondisi berubah saat Inggris menjajah Palestina.
Saat Shalahuddin Al-Ayyubi pada 1187 berhasil menaklukkan Jerussalem, ia tidak membalas dendam dengan membunuhi penduduknya yang mayoritas Kristen. Bahkan setelah ia memerintah, larangan orang Yahudi tinggal di Palestina dihapus. Begitu pula saat Muhammad Al-Fatih yang memimpin penaklukan benteng Konstantinopel tahun 1453. Setelah benteng dapat dikuasai pasukan Islam, Muhammad Al-Fatih mempersilahkan penghuni Konstantinopel yang beragama Kristen untuk bebas hidup dan menjalankan ibadah serta keyakinannya.

Baca juga: Peradaban Islam dan Motivasi Belajar di Kampus Sekuler
Konsep Toleransi Islam
Istilah toleransi berasal dari bahasa Inggris “tolerance” yang berarti “to endure without protest” (menahan perasaan tanpa protes). Islam sendiri mengenal kata tasamuh yang menurut Kamus Al-Muhith berarti “jud wa karam wa tasahul”, sikap pemurah, penderma, dan memudahkan. Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam magnum opus-nya; Fathul Bari, mengartikan kata al-samhah dengan kata al-sahlah (mudah). Kata samahah dalam bahasa Arab berarti mempermudah, memberi kemurahan dan keluasan.
Islam memberikan garis demarkasi yang jelas antara persoalan keyakinan (aqidah) yang ketat dengan persoalan hubungan sesama manusia (muamalah) yang longgar dan dinamis. Dalam Aqidah Islam, adalah mustahil Tuhan mempunyai anak. Surat Al-Ikhlas ayat 3 menegaskan: “lam yalid walam yulad”, yang bermakna bahwa Tuhan tidak punya anak dan tidak pula dilahirkan. Meskipun Islam secara tegas mengkritik konsep ketuhanan agama lain (Kristen), namun Islam menganjurkan pada umatnya untuk tetap menghormati kepercayaan agama selainnya:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”. (QS. Al An’am:108)
Adapun dalam bidang muamalah, Islam menyuruh berbuat baik dalam bermasyarakat, baik itu kepada yang muslim ataupun non-muslim. Termasuk kewajiban menolong tetangga non-muslim yang sedang membutuhkan bantuan, saling memberi hadiah, mengunjunginya saat sakit, dst. Hal itu sesuai perintah agama Islam:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil”. (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Baca juga: 27 Perang di Zaman Nabi Muhammad Saw
Lebih jauh, Nabi Muhammad SAW sendiri mengancam umatnya yang berani menyakiti non muslim akan berhadapan dengan Beliau di hari kiamat:
“Barangsiapa yang menyakiti kafir dhimmi (warga non-Muslim) maka aku adalah lawannya di Hari Kiamat.” (HR. Muslim)
Islam menggariskan bahwa urusan beribadah umat beragama diserahkan kepada pemeluk agama masing-masing. Bagimu agamamu, bagiku agamaku (lakum dienukum waliyadien). Prinsip ini memberikan arahan pada umat Islam agar membiarkan umat agama lain melakukan ritual ibadah mereka dan tidak boleh diganggu. Tidak perlu muslim ikut beribadah di hadapan tuhan mereka dengan cara penyembahannya. Sebab seorang muslim punya aqidah yang lain, dengan cara penyembahan yang berbeda pula. Seorang muslim diharamkan memaksa mereka untuk mengikuti ritual ibadahnya; “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam” (QS. Al-Baqarah: 256).
Perbedaan Pendapat Ucapan Selamat Natal dalam Toleransi Islam
Poin pokok perbedaan keyakinan Islam dan Kristen adalah ketuhanan Isa Almasih (Jesus). Bagi Islam, Isa Almasih adalah seorang Nabi, sebagaimana disebut dalam Surat Maryam ayat 30: “Dia (Isa) berkata, “Sesungguhnya aku hamba Allah, Dia memberiku Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi.”
Oleh sebab itu sebagian kalangan umat Islam berpendapat bahwa mengucapkan selamat Natal dianggap mengakui ketuhanan Isa Almasih, dan hal itu masuk pada prinsip aqidah. Termasuk memakai atribut Natal seperti pakaian dan topi Santa sebagai perayaan kelahiran anak Tuhan. Sedang menurut ajaran Islam, Tuhan mustahil dilahirkan.
Baca juga: Hukum Mengucapkan Selamat Natal, Bolehkah?
Pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri saat ini masih mengacu pada fatwa MUI tahun 1981 era Buya Hamka yang tidak memperbolehkan ucapan Selamat Natal sebagaimana dikemukakan Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri MUI, Muhyiddin Junaidi. Namun menurutnya, pengucapan itu masih dibolehkan untuk para petinggi, presiden, dan mereka yang memiliki jabatan publik dimana ucapan itu hanya sekedar penghormatan semata dan tidak ada niat pengakuan pada susbtansi ucapan, tidak lebih untuk menjaga hubungan antar manusia dan tidak meyakini Natal itu terjadi pada tanggal 25 Desember. Kelahiran Nabi Isa menurut Al-quran bukan pada musim dingin tapi pada musim panas (Republika.co.id.).

Salah satu ulama yang mengharamkan ucapan Selamat Natal adalah Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin dari Kerajaan Saudi Arabia. Ia secara tegas mengharamkan ucapan Selamat Natal tanpa perkecualian. Di Indonesia, pendapat ini secara umum diikuti oleh jamaah Salafi dan sejenisnya yang menjadikan ulama Haramain sebagai rujukan utama.
Sementara Dr. Yusuf Qardhawi selaku Ketua Persatuan Ulama Eropa membolehkan ucapan Natal dengan batasan ucapan itu untuk umat Islam yang memiliki hubungan khusus dengan kalangan non muslim seperti tetangga, teman kerja, teman sekolah, rekan bisnis, dan lain-lain. Fatwa ini muncul atas kondisi muslim di Eropa sebagai kaum minirotas dan kehidupan sehari-hari yang lekat dengan saudara penganut agama lain. Qardhawi menilai ucapan selamat Natal bukanlah sebagai ungkapan persetujuan dan pembenaran atas akidah mereka. Menurutnya, ada perbedaan yang jelas antara ucapan selamat dengan pembenaran akidah.
Dari dua pendapat di atas kita bisa runut background sosial ulama tersebut. Pada umumnya, mainstream ulama yang mengharamkan ucapan Selamat Natal secara mutlak adalah mereka yang secara sosial tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat non muslim atau tidak mendapati kasus-kasus kedaruratan seputar hubungan muslim dan non-muslim di sebuah komunitas sosial.
Pendapat lain yang membolehkan datang dari kalangan NU. Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) Marsudi Syuhud mengatakan tidak masalah memberi ucapan selamat Natal sepanjang umat Islam meyakini Nabi Isa sebagai Nabi Allah. Dalam konteks muamalah, mengucapkan selamat Natal itu tidak mengapa (Republika.co.id ).
Baca juga: Nikah Beda Agama, Bagaimana Hukumnya?
Meski terdapat perbedaan pendapat seputar ucapan selamat natal di kalangan ulama, perlu dicatat bahwa semua ulama sepakat akan kewajiban berlaku santun pada pemeluk agama lain, berbuat baik dalam kehidupan sosial, serta tidak memaksakan agama pada mereka. Dan inilah ajaran Islam turun-temurun yang diyakini dan dipraktekkan selama 1400 tahun oleh pemeluknya.
Keseimbangan Toleransi Islam dan Barat
Selama ini, Islam oleh Barat dijadikan objek penderita atas tema toleransi yang mereka gulirkan. Namun saat ini nampaknya Barat sebagai penggagas tema toleransi harus mulai mengubah arah telunjuk mereka. Nyatanya tatanan masyarakat Barat sendiri belum dapat bersikap toleran pada agama lain (Islam). Sebagian besar masyarakatnya masih memandang warga muslim bukan bagian dari masyarakat mereka. Saat ini terjadi Pelarangan jilbab di Prancis yang berdampak pada semangat Islamophobia di negara-negara Barat. Kondisi ini belum termasuk fakta keberadaan tentara beserta pesawat tempur mereka yang masih menginjakkan kaki-kaki penjajahan di sejumlah Negara muslim hingga kini. Tiap hari, bom-bom mereka jatuhkan dan menewaskan banyak umat Islam tak berdosa.
Jika ingin tatanan dunia yang damai dan harmonis terwujud, Barat mulai saat ini perlu meredefinisi kata toleransi. Bagaimanapun, munculnya ekstremisme dan terrorisme tak bisa dilepaskan dari faktor Barat yang tidak konsisten mendefinisikan kata toleransi dalam tindakan nyata, utamanya bagi masyarakat Islam.
Baru-baru ini para siswi di Sekolah Menengah Vernon Hills Chicago-AS yang tidak setuju dengan Islamofobia dan rasisme membuat inisiatif yang disebut “Walk a Mile in Her Hijab.” Belasan perempuan non-Muslim sepakat untuk mengenakan jilbab Islam tradisional untuk lebih memahami agama Islam dan hidup sebagai seorang wanita Muslim, simak: Lawan Islamofobia, Para Siswi Non Muslim di Chicago Kenakan Hijab!
Ini adalah teladan sekaligus awal yang baik jika Barat ingin konsisten mewacakan toleransi kepada umat manusia demi tercipta tatanan dunia yang harmonis. Bagaimanapun, toleransi adalah dua sayap Dari sini dialog peradaban.
(580)