Nikah Misyar: Nikah Tanpa Nafkah, Bolehkah?
Oleh: Muhammad Zulifan*
h
Latar Masalah Nikah Misyar
Nikah MIsyar bermula dari tingginya biaya pernikahan di negera-negera Teluk menjadikan angka lajang di tengah masyarakat Arab meningkat pesat. Sebagaimana dilansir laman Arabs News (19/1/2015), jumlah perempuan Saudi berusia lebih dari 30 tahun yang belum menikah mencapai angka 33,45 persen dalam 10 tahun terakhir. Angka itu sama dengan 1,52 juta dari total penduduk wanita Saudi yang mencapai 4.570.000. Hal itu salah satunya disebabkan budaya keluarga calon mempelai wanita yang mensyaratkan banyak materi kepada pria calon pelamar.
Jauh sebelumnya, Ahmad Al-Shughairi (2008) dalam liputan investigasinya menemukan fakta bahwa biaya pernikahan di negeri teluk mencapai 138 ribu reyal (sekitar 500 juta rupiah). Sangat timpang jika dilihat dari rata-rata penghasilan yang diperoleh kebanyakan pemuda per bulannya yang berkisar antara 4 Ribu sampai 6 Ribu reyal ketika itu.

Baca juga: Poligami dan Nikah Misyar di Saudi Harus Diatur Ketat
Penyebab mahalnya biaya pernikahan itu disebabkan oleh banyaknya persyaratan-persyaratan dari pihak keluarga wanita yang disebut al-Kalaki’. Belum lagi, orang Arab sangat mempertimbangkan faktor kesukuan dalam menerima lamaran untuk anak gadis mereka. Seseorang pada suku atau kabilah tertentu terkadang tidak mau menikahkan anak gadis dengan lelaki yang bukan dari suku yang sama, atau bisa dengan suku dan kabilah yang berbeda namun tentu dengan berbagai syarat dan ketentuannya.
Dampaknya, banyak pemuda yang akhirnya memilih perempuan pedesaan. Sementara kondisi kaum wanita, seiring usia yang terus bertambah nasibnya tak menentu. Bagaimanapun mereka tidak ingin mati dalam keadaan lajang. Akhirnya mereka membuka pintu selebar-lebarnya untuk siapa saja yang datang dan menikahinya. Salah satu alternatif yang diambil oleh mereka adalah nikah Misyar.
Pengertian Nikah Misyar
Nikah Misyar (زواج المسيار) merupakan pernikahan yang sah secara syariat Islam, memenuhi segala rukun dan syarat nikah, serta dilakukan karena suka sama suka. Dalam nikah Misyar terpenuhi wali, saksi, dan ada maharnya. Hanya saja, sang istri merelakan beberapa haknya untuk tidak dipenuhi oleh suaminya, misal hak nafkah, tempat tinggal, atau hak gilir.
Secara bahasa, Misyar berasal dari kata (سار) yang artinya berjalan. Kata misyar adalah bentuk superlatif (Shighat Al-Mubalaghah) dalam bahasa Arab, sehingga artinya menjadi sering berjalan, banyak berjalan dan sejenisnya. Penyebutan Misyar tersebut disebabkan karena laki-laki dalam pernikahan ini tidak menetap bersama si istri. Tapi justru dia lebih banyak di luar, bahkan hampir tidak pernah bersama istri, selalu saja berpergian.
Baca juga: Wanita Berhak ajukan Syarat Pranikah Agar Suami Izin Jika ingin Poligami
Ada juga yang menyebut jenis pernikahan ini dengan “nikah dengan niat talak” (النكاح بنية الطلاق). Artinya, pernikahan yang waktunya dibatasi namun tidak diucapkan secara verbal dalam akad oleh sang pria. Niat pembatasan masa pernikahannya hanya direncanakan di dalam hati mempelai laki-laki sebelum akad nikah berlangsung.

Dalam nikah Misyar, selepas nikah sang suami, dengan persetujuan sang isteri, tidak menyediakan tempat tinggal untuk isterinya. Begitu pula ia tidak memberikan nafkah lahir pada isterinya. Pihak wanita telah ikhlas hak-haknya sebagai Istri tidak dipenuhi oleh si suami, seperti tempat tinggal, nafkah, dan pembagian hari.
Pada umumnya yang melakukan nikah Misyar adalah laki-laki yang telah berkeluarga dengan perempuan yang tidak menikah. Bisa jadi perempuan itu menjanda, cerai atau telah lewat usia nikah. Keluarga pihak perempuan biasanya mengetahui status pernikahan tersebut karena syarat-syarat nikah misyar tidak jauh berbeda denan nikah resmi di mana ada wali. Sedang keluarga lelaki biasanya tidak mengetahui praktek nikah misyar itu.
Baca juga: Semakin Banyak Warga Saudi yang Nikah Misyar
Ada kalanya bentuk nikah misyar juga berlaku untuk pasangan yang masih belajar. Hal ini berlaku bagi seorang pelajar yang belum mampu untuk memberi nafkah isterinya atau menyediakan tempat tinggal untuknya. Namun mereka tidak mampu mengelak dari godaan berlaku zina di antara mereka. Maka penyelesaiannya ialah nikah Misyar, sampai mereka tamat belajar dan mempunyai pekerjaan.
Faktor lain yang menyebabkan nikah Misyar berkembang ialah keinginan tersalurkannya hasrat biologis, baik bagi laki-laki atau juga wanita. Pertimbangan utama dilakukannya nikah Misyar ini adalah agar hubungan mereka bukanlah hubungan yang haram. Dengan kata lain, nikah jenis ini lebih baik dibanding mereka harus berzina yang sudah pasti haram dan buruk sekali bagi kesehatan.
Ada variasi lain bentuk nikah misyar yakni nikah Nahariyah (نهارية ). Nahar artinya siang hari. Dalam pernikahan poligami, tiap istri tidak mendapatkan jatah gilir yang sama. Ada diantara wanita yang hanya mendapatkan jatah gilir bersama suami di siang hari saja. Disebut nahariyat karena dia hanya didatangi sang suami di siang hari. Sikap istri kedua yang menggugurkan haknya, tidaklah menjadikan pernikahannya menjadi batal atau haram.

Tentu nikah Misyar ini tidak ideal, mengingat hal itu terjadi karena kondisi yang serta terbatas. Banyak hal-hal yang kurang positif yang terjadi dalam nikah misyar itu sendiri, salah satunya ialah terabaikannya tujuan pernikahan itu yakni sakinah, mawaddah dan rahmah.
Baca juga: Jomblo Meningkat Pesan, Saudi Tetapkan Batas Mahar Pernikahan
Hukum Nikah Misyar
Para ulama berbeda pendapat terhadap hukum nikah Misyar.
Kalangan yang membolehkan jenis pernikahan ini mengatakan bahwa nikah Misyar sama seperti nikah-nikah yang lain yang sah secara syariat; rukun-rukunnya terpenuhi, syarat-syarat ada dan tidak ada larangan dalam akad yang dilanggar dalam pernikahan ini. Hanya saja istri rela dan ridha bahwa hak-haknya sebagai istri tidak terpenuhi yakni ia tidak tinggal bersama sang suami, ataupun suami tidak menafkahinya secara lahir.
Sedang mereka yang mengharamkan jenis pernikahan ini beralasan bahwa dalam nikah Misyar ini terdapat syarat-syarat yang justru mencederai akad nikah itu sendiri. Pernikahan ini tidak mewujudkan Maqashid syariah dalam pernikahan. Dari mulai meniadakan kewajiban tempat tinggal, nafkah, dan yang lainnya. Dan mungkin tidak juga terwujud dalam pernikahan jenis ini lahirnya anak.

Dengan dibolehkannya nikah seperti ini orang akan dengan seenaknya melakukan akad nikah tanpa peduli akan terwujudnya keharmonisan dalam keluarga.
Pendapat Syaikh Abdul Aziz Bin Baaz
Syaikh Bin Baz berkata bahwa nikah Misyar semacam ini tidaklah masalah asalkan terpenuhi syarat-syarat nikah, yaitu harus adanya wali ketika nikah dan ridha kedua pasangan, serta hadirnya saksi yang adil ketika akad berlangsung. Juga tidak adanya yang cacat yang membuat nikahnya tidak sah. Dalil akan bolehnya bentuk nikah semacam ini adalah keumuman dalil:
أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ
“Syarat yang paling berhak untuk ditunaikan adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para wanita)” (HR. Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418 dalam Fatawa Ulama Al-Baladil-Haram, hal. 450-451).
Pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Menurut Syaikh al-Albani, maksud dari pernikahan adalah tercapainya ketentraman sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala dalam surat Ar-Rum ayat 21:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang”
Sedangkan pernikahan semacam ini tidak mewujudkan demikian. Menurutnya:
أنه قد يقدَّر للزوج أولاد من هذه المرأة ، وبسبب البعد عنها وقلة مجيئه إليها سينعكس ذلك سلباً على أولاده في تربيتهم وخلقهم
“Boleh jadi Allah ta’ala mentaqdirkan si suami mendapatkan anak dari istrinya sebagai hasil dari pernikahan ini, lalu dengan sebab jauh dan jarangnya bertemu, maka akan menyebabkan dampak buruk bagi anak-anaknya di dalam urusan pendidikan dan akhlaq”
Adapun ulama kontemporer seperti Dr. Yusuf Qardhawi dan Dr. Wahbah al-Zuhaili tidak melarang nikah Misyar dan menganggapnya sebagai nikah yang syar’i atau sah, selama ada ijab kabul, wali, dan saksi.
Tidak Dianjurkan Ulama
Sesuai maqashid al-syari’ah, tujuan dari sebuah pernikahan adalah memuliakan perempuan dengan menjaga hak-haknya menurut prinsip sakinah, mawadah dan rahmah. Selain itu terdapat juga prinsip hifdzun nasl (memelihara keturunan) dengan membesarkan dan mendidik anak yang kelak akan meneruskan perjuangan dakwah umat.
Karenanya, anggota Lajnah Daimah Saudi, Syaikh Sholih bin Fauzan tidak merekomendasikan nikah semacam itu karena tidak terpenuhinya maslahat nikah di dalamnya. Menurutnya, nikah semacam ini hanya sekedar pemenuhan syahwat belaka.
————————————————-
*Peneliti, Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam-UI
(2776)
[…] agama pertengahan memberikan solusi. Perzinaan dan prostitusi mutlak haram. Namun, ada syariat hukum poligami. Meski, poligami tidak dibuka secara bebas tanpa syarat juga tidak ditutup rapat-rapat. Ibarat […]