
Pemikiran Politik Islam dan Relasi Agama – Negara
Oleh: Muhammad Zulifan
(Peneliti, Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam-UI)
C. Pemikiran Politik Islam Abad Modern
1. Jamaluddin al-Afghani (1838-1897)
Jamaluddin al-Afghani dalam melihat politik menganjurkan pembentukan Jamiah Islamiyah, yakni suatu ikatan politik yang mempersatukan seluruh umat Islam yang disebut sebagi Pan-Islamisme (Pulungan, 1994:281). Asosiasi ini berdasar solidaritas akidah Islam yang bertujuan membina kesetiakawanan dan persatuan umat Islam serta menentang kolonialisme dan dominasi Barat.
Al-Afghani menghendaki bentuk republik bagi negara Islam. Alasannya, dalam sistem Republik terdapat kebebasan berpendapat dan keharusan bagi kepala negara tunduk pada undang-undang. Yang berkuasa di dalam negara adalah konstitusi dan hukum, bukan kepala negara. Kepala negara hanya berkuasa untuk menjalankan undang-undang dan hukum yang dirumuskan lembaga legislatif. Pemikrian al-Afghani ini merupakan sistesis antara pemerintahan Barat dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dengan demikian al-Afghani menghendaki reformasi politik Islam dengan mengganti bentuk khilafah menjadi republik.
2. Pemikiran Politik Islam: Muhammad Abduh (1849-1905)
Berbeda dengan al-Afghani, Muhammad Abduh yang merupakan murid al-Afghani, tidak memperdulikan bentuk negara, karena Islam tidak menetapkan bentuk pemerintahan. Menurut Abduh, jika sistem khilafah masih tetap menjadi pilihan, maka bentuk ini harus bersifat dinamis yakni mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berfikir (Ahmad, 1979: 69). Hal ini untuk mengantisipasi dinamika zaman. Abduh memandang bahwa adanya kejumudan umat Islam disebabkan adanya pemerintahan yang sewenang-wenang dan absolut. Bagi Abduh, syariat Islam mempunyai pengertian sempit dan luas. Islam memiliki unsur dinamis yang dapat disesuaikan dengan dinamika zaman lewat jalan ijtihad.
Baca juga: Teori Konspirasi dan Operasi Intelijen Terhadap Gerakan Islam
3. Pemikiran Politik Islam: Rasyid Ridha (1865-1935)
Rasyid Ridha dalam karyanya al-khilafah au al imamah al-uzhma berpendapat bahwa jabatan khilafah perlu dihidupkan kembali dengan membentuk ahlul halli wal aqdi. Kelompok ini bertugas mendirikan pemerintahan yang mengatur kemaslahatan umat Islam. Ridha menghendaki bahwa khalifah adalah orang yang ahli fikih (faqih) agar mampu mengobati kerusakan masyarakat dalam pemerintahan modern. Baginya, jabatan khalifah adalah kewajiban syara’ yang eksistensinya sangat penting dalam penerapan hukum syariat Islam yang terjamin dan terhindar dari berbagai bahaya, karena bentuk pemerintahan lain tidak mampu menerapkan syariat Islam (Ridha, 1341 H: 73).
Meski demikian, Ridha tetap mempertahankan sistem khilafah, tetapi ia menginginkan adanya perbaikan dalam pemerintahan tersebut berupa pelaksanaan syura dalam pemilihan khalifah yang selama ini berjalan secara turun-temurun serta dalam perumusan peraturan kebijakan politik, perang, pembinaan kesejahteraan umum. Termasuk dalam penetapan peraturan yang bersifat keagamaan yang tidak ada nash hukumnya dalam al-Quran dan Sunnah.
Dalam keanggotaan ahlul halli wal aqdi, Ridha berpandangan lebih maju dari kebanyakan pemikir zaman klasik. Ia berpendapat bahwa keanggotaan lembaga ini tidak hanya dari ulama atau ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid saja, tapi juga dilengkapi oleh mereka para pemuka masyarakat di berbagai bidang; perdagangan, perindustrian, dan sebagainya. Ahlul halli wal Aqdi tidak hanya bertugas mengangkat khalifah saja. Mereka juga bertugas sebagai pengawas atas jalannya pemerintahan khalifah dan mencegah perbuatan penyelewengan meskipun dengan kekerasan. Mereka bisa mengakhiri kekuasaan khalifah jika kepentingan umum terancam.
Untuk mempersiapkan calon khalifah, perlu didirikan lembaga pendidikan tinggi keagamaan. Lulusan dari perguruan tinggi ini dipilih untuk dicari yang memiliki keunggulan dalam penguasaan ilmu dan ijtihad. Pemilihan ini dilakukan oleh sesama alumnus lembaga dan kemudian dikukuhkan melalui baiat ahlul halli wal aqdi dari seluruh dunia Islam. Adapun khalifah yang telah dibaiat ini wajib ditaati oleh tiap muslim dan dilarang untuk menentangnya.
Baca juga: 10 Ilmuwan Muslim dan Penemuannya untuk Peradaban Manusia
C. Pemikiran Politik Islam Kontemporer
1.Ismail Raji al-Faruqi dan Naquib al-Attas
Kedua tokoh ini memperkenalkan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan. Bagi keduanya, kemunduran umat Islam disebabkan karena kaum Muslimin menerima begitu saja kebudayaan-kebudayaan asing (al-Faruqi, 1984:vii).
Menurut al-Faruqi, umat islam perlu mengintegrasikan aspek kemodernan dan keislaman dengan menguasai semua disiplin modern sebagai prasyarat utama. Setelah itu mereka harus mengintegrasikan seluruh pengetahuan itu ke dalam kebutuhan warisan Islam dengan melakukan eliminasi, perubahan, penafsiran kembali dan akomodasi terhadap berbagai komponennya sebagai word view Islam dan menetapkan nilai-nilainya. Setelah itu disosialisasikan kepada generasi muslim melalui pengajaran serta buku-buktu teks secara Islami. Perlu juga dibangun pusat pemikiran dan universitas Islam untuk mendukung ide Islamisasi Ilmu pengetahuan tersebut.

Sementara Syed Naquib al-Attas, pendiri International Institute of Islamic Thought Civilization (ISTAC) di Malaysia, mengemukakan betapa dunia Islam mengalami kemunduran akibat adanya konfrontasi historis yang dikekalkan oleh kebudayaan dan peradaban Barat terhadap Islam.
Baca Juga: Islamic Golden Age: Al-Khawarizmi, Bapak Algoritma
Bagi al-Attas, dilema yang dihadapi umat Islam saat ini disebabkan oleh; pertama, kebingungan dan kekeliruan dalam pengetahuan; kedua, hilangnya adab dalam umat dimana kedua hal tersebut mengakibatkan munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak cakap untuk memimpin umat yang sah karena tidak memiliki standar moral, intelektual, dan spiritual yang tinggi sebagai acuan kepemimpinan Islam (al-Attas, 1981:135).
2. Fazlur Rahman (1982:173)
Fazlur Rahman mengemukakan bahwa satu-satunya jalan yang mungkin untuk melakukan pembaharuan adalah dengan cara merombak kembali asal-usul dan pengembangan keseluruhan tradisi Islam. Fazlur Rahman dengan neomodernisme-nya mengingatkan umat Islam untuk dapat membedakan secara jeli Islam normatif dan Islam Islam historis.
Pemikiran Politik Islam yang dianut Rahman membenarkan secara konseptual sistem parlemen di Barat, namun secara subtanstif-etik Rahman menilai parlemen tersebut berorientasi pada hal-hal yang material belaka. Umat Islam bisa saja menerima sistem parlemen tersebut sepanjang substansi musyawarah-nya berorientasi pada hal-hal yang spiritualistic.
3. Mohamed Arkoun (1994: 210)
Arkoun, pemikir Islam kontemporer asal Al-Jazair dengan konsep Islamologi terapannya mencoba menampilkan konsep wewenang dan kekuasaan. Bila wewenang bersifat kharismatis teologis sebagai ciri pemikiran makkiyah dan melahirkan kesadaran dan ketundukan secara sukarela, maka konsep kekuasaan lebih bersifat rasionalistik dan sistemik sebagai ciri pemikiran madaniyah dan melahirkan pemaksaan kekuasaan terhadap rakyat.
Pemikiran politik Islam Arkoun dapat diliaht dari sikapnya tidak setuju masyarakat yang bersifat taqlid terhadap status quo dan harus bersifat oposisi loyal. Arkoun mengkritik penggunaan istilah-istilah politik yang dominatif dan hegemonik seperti terminologi baiat, wakil Allah di dunia (khalifah fil-ard), al-Mu’tasim, al-Mutawakkil, bilah, yang digunakan oleh dinasti-diansti Islam klasik.
Baca juga: Sejarah Arab Saudi, Raja Salman dan Harapan Perubahan
Arkoun menawarkan enam pemikiran Islamologi terapan (empirisme Islam), pertama, perlu meneganl isi obyektif al-Quran serta pemikiran para pendiri tradisi Islam. Kajian tidak boleh netral seperti Islamolog Barat klasik dan tidak bebas nilai. Kedua, meninggalkan episteme abad pertengahan muslim, serta menggunakan episteme modern seperti di Barat dewasa ini ilmu sosial modern teleh menghancurkan saintifik Barat sebelum-nya.
Ketiga, studi fenomena agama tidak dibatasi pada satu agama tertentu belaka seperti yang dikaji di Barat. Keempat, tidak apriori kepada kebudayaan orang lain seperti yang tercermin dalam konflik Arab-Yahudi, atau konflik peradaban ala Huntington. Kelima, Islamologi terapan merupakan suatu paraktik ilmiah pluridisiplinir. Pendekatan penelitian agama tidak bisa dipisahkan dari psikoanalisis, psikologi, sejarah, sosial, budaya dan sebagainya. Islamologi terapan harus terbuka pada kritik karena tidak ada suatu metodologi pun yang bersifat sempurna (Azhar, 1997: 153).
D. Pemikiran Politik Al-Ikhwan al-Muslimun
Menelisik pemikiran politik Islam tidak lengkap tanpa menyertakan Ikhwanul Muslimin, gerakan Islam terbesar yang didirikan Hasan Al-Banna tahun 1928, mempunyai ideologi organisasi yang disebut Amin Rais (1987:189) sebagai the total conception of ideology.Ikhwan memandang Islam sebagai sistem serba inklusif yang mencakup realitas komprehensif; ia adalah rangkaian yang penuh semangat dan tekad mengubah cara hidup yang menyeluruh.
Bagi Ikhwan, Islam sebagai ideologi dipandang meliputi seluruh kegiatan hidup manusia di dunia, sehingga merupakan doktrin, ibadah, tanah air, kewarganegaraan, agama, negara, spriritualitas, aksi, al-Quran dan militer. Semangat ikhwan adalah kembali ke dasar-dasar Islam yang memang menjadi inti dari doktrin kebangkitan Islamnya.
Ikhwan berprinsip bahwa Islam pada dasarnya adalah revolusi, dalam arti, Islam adalah revolusi melawan korupsi pemikiran dan korupsi hukum, revolusi menentang korupsi moral dan korupsi sosial, revolusi terhadap monopoli dan terhadap perampasan kekayaan rakyat secara sewenang-wenang. Pemikiran ini lebih visioner dari tokoh-tokoh pembaharu sebelumnya seperti Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Kebanyakan pimpinan Ikhwan menggambarkan tokoh-tokoh tersebut dengan Afghani sebagai penyeru, Ridha sebagai pencatat dan Al-Banna sebagai pembangun kebangkitan Islam.
Baca juga: Menakar Kewahabian PKS
Pemikiran politik Ikhwan banyak diwarnai oleh pemikiran kedua tokoh sentralnya; Hasan Al-Banna dan Sayyid Qutb. Munawir Syadzali (1993) menyatakan dasar pemikiran Ikhwan sebagai berikut;
Islam adalah suatu agama yang sempurna dan amat lengkap, yang meliputi tidak saja tuntutan moral dan peribadatan, tetapi juga petunjuk mengenai carta mengatur segala aspek kehidupan termasuk kehidupan politik, ekonomi dan sosial. Oleh karenanya untuk pemulihan kejayaan dan kemakmuran, umat Islam harus kembali kepada agamanya yang sempurna dan lengkap itu, kembali pada kitab sucinya, al-Quran dan sunnah Nabi, mencontoh pola hidup Rasul dan umat Islam generasi pertama, tidak perlu atau bahkan jangan meniru pola atau sistem politik, ekonomi dan sosial Barat.
Pemikiran politik Islam kalangan Ikhwan secara detil bisa dilihat dalam tiga pokok pikiran Sayyid Qutb dalam buku al-adalah al-Ijtimaiyyah fi al-Islam. Pertama, pemerintah supra nasional; kedua, persamaan hak antara para pemeluk agama, dan ketiga, tiga asal politik pemerintahan Islam.

Mengenai pemerintahan supra natural, Qutb berpendapat bahwa corak pemerintahan Islam adalah manusiawi. Hal ini tercermin pada konsepsinya tentang manusia dan tujuan menghimpun seluruh umat manusia berdasarkan persaudaraan dan persamaan. Prinsip persamaan ini tidak mengenal fanatisme ras, kedaerahan dan bahkan keagamaan.
Kekuasaan negara mencakup seluruh dunia Islam dengan pusat sebagai sentral kekuasaan tanpa menganggap wilayah-wilayah di luar pusat sebagai jajahan yang dieksploitasi untuk kepentingan pusat. Posisi gubernur atau wali didasarkan pada kemuslimannya, bukan karena putra daerah. Pendapatan daerah untuk kepentingan daerah sendiri dan jika terdapat kelebihan maka dipergunakan untuk kepentingan seluruh umat Islam lewat baitul mal atau perbendaharaan pemerintah pusat.
Kedua, persamaan hak antara para pemeluk berbagai agama. Hal ini berdasar atas asas kemanusiaan. Tidak ada perbedaan antara pemeluk agama yang satu dengan lainnya dalam hal kebutuhan umat manusia pada umumnya, sehingga hak-hak bagi orang dzimmi yang terikat perjanjian damai dengan umat Islam dijamin oleh negara Islam. Ada jaminan kebebasan beragama.
Pokok pikiran ketiga adalah tiga asas politik pemerintahan Islam. Pertama, keadilan penguasa. Kebijakan penguasa harus terlepas dari pengaruh internal dan eksternal. Setiap individu diperlakukan secara adil tanpa dibedakan dari yang lain karena keturunan atau kekayaan. Kedua, ketaatan rakyat. Kewajiban kepada penguasa dilakukan sepanjang penguasa tidak menyimpang dari syariat. Ketiga, musyawarah antara penguasa dan rakyat.
Secara ringkas konsepsi politik Ikhwanul Muslimin dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Dunia Islam merupakan suatu kesatuan politik yang berada di bwah satu pemerintahan tanpa mengenal batas-batas kebangsaan
2. Kepala negara berfungsi sebagai pengganti Nabi yang dipilih oleh kaum Muslimin, karena itu kepala negara bertanggungjawab pada mereka dan tidak memiliki otoritas keagamaan dari Allah.
3. Golongan non-Islam memiliki kebebasan dan persamaan tanpa mempunyai hak pilih menjadi kepala negara.
4. Agama pemerintahan Islam dalam Islam dengan melaksanakan syariat Islam. Adapun bentuk pemerintahan Islam tidak ditentukan asalkan berasaskan keadilan, persamaan, ketaatan dan permusyawaratan antara penguasa dan rakyat dalam masalah yang tidak ditentukan dalam Al-Quran dan Hadits.
5. Cara pemilihan kepala negara oleh rakyat dan lama masa jabatan tidak ada ketentuan yang jelas
E. Perbedaan Pemikiran Politik Islam Sunni dan Syiah

Para pemikir politik Islam Sunni berpadangan bahwa masalah kepemimpinan merupakan masalah keduniawian. Oleh karena itu, kewajiban mengangkat pemimpin politik ditentukan oleh kesepakatan kaum Muslimin (ijma’), berdasarkan pertimbangan wahyu (agama). Penentuan pengganti Nabi diserahkan kepada kaum Muslimin, bukan ditentukan oleh wahyu. Sedangkan Syiah berpendapat bahwa penentuan kepemimpinan setelah wafatnya Nabi adalah ditentukan oleh wahyu yakni hadits Ghadir Khum yang mereka pahami bahwa Nabi telah menunjuk Ali, menantu dan keponakannya sebagai pengganti Nabi (Kamil, 2013: 9).
Baca juga: Membaca Akar Konflik Syiah dan Sunni
Lebih lanjut Syiah berkeyakinan bahwa mempercayai imam yang dianggap ma’shum (terhindar dari dosa) merupakan salah satu rukun iman atas agama, selain keimanan pada keesaan Allah, kenabian, hari akhir, dan keadilan. Syiah Imamiyah (itsna asyariyah) percaya kepada 12 imam, Syiah Ismailiyah (sab’ah) percaya pada tujuh imam, serta Syiah Zaidiyah percaya pada lima imam saja. Pemahaman in kemudian dikembangkan oleh Khomeini dengan konsep wilayah faqih (kekuasaan tertinggi di tangan seorang faqih (ulama) yang paling otoritatif yang kekuasaannya di atas Majelis Permusyawaratan Rakyat seperti yang berlaku pada negara Iran modern sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
- Ahmad, Abd al-Athi Muhammad. al-Fikr al-Siyasi Li al-imam Muhamamd Abduh. Mesir: al-Maiat al Misriyyat al –Ammat li al-Kitab, 1978.
- al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dan Sekulerisme. Bandung: Pustaka, 1981.
- al-Faruqi, Ismail Raji. Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Pustaka, 1984.
- Al-Ghazali. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Kairo: t.p. 1320 H.
- Al-Maududi, Abul ‘ala. Hukum dan Konstitusi Sistem Poltik Islam, Terjemahan The Islamic Law and Constitution. Bandung: Mizan, 1990.
- al-Maududi, Abul ‘Ala. Khilafah dan Kerajaan, terjemah oleh Muhammad al-Baqir dari al-Khilafah wa al-Mulk. Bandung: Mizan, 1996.
- Al-Mawardi. al-Ahkam al-Sulthaniyah. Beirut: Dar al-Fikr, Tth.
- Ash-Shiddieqy, Hasbi. Asas-asas Hukum Tata Negara Menurut Syariat Islam. Yogyakarta: Matahari Masa, 1969.
- Arkoun, Mohamed. Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru. Jakarta: INIS, 1994.
- Azhar, Muhammad. Filsafat Politik, Perbandiangan Islam dan Barat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
- Effendi, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.
- Haikal, Muhammad Hussein. Pemerintahan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
- Huwaidi, Fahmi. Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat, terjemahan dari al-Islam wa al-Dimuqratiyah. Bandung: Mizan, 1996.
- Kamali, Muhammad Hasyim. Kebebasan Berpendapat dalam Islam. Bandung: Mizan, 1996.
- Kamil, Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik, Agama dan Negara. Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2013.
- Khan, Qamarudin. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah. Bandung: Pustaka, 1983.
- Nasution, Harun, dkk. Eksiklopedi Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Houve, 2003.
- Qaradhawi, Yusuf. Fiqh Daulah dalam Perspektif Al-Quran dan Sunnah. Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1997.
- Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
- Ridha, Rasyid. al-Khilafah au al-Imamah al-udzma. Kairo: al-Manar, 1341 H.
- Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas, tentang Transformasi Intelektual (terj.). Bandung: Pustaka, 1982.
- Rais, Amien. Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan, 1987.
- Syadzali, Munawir. Islam dan Tatanegara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI-Press, 1993.
- Taimiyah, Ibnu. Al-Siyasah al-Syariah. Kairo: Dar al-Kutub al-Arabi, tt.
- Zainuddin, A. Rahman. Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Ibnu Khaldun. Jakarta: Gramedia, 1992.
(578)