
Sejak Zaman Rasulullah dikenal mata uang dinar dan dirham yang nilainya selalu stabil sehingga pergerakan di sektor riil dan moneter juga stabil sehingga tidak terjadi inflasi. Perkembangan selanjutnya muncullah penggunaan uang kertas yang nilainya tidak lagi sama dengan nilai intriksiknya sehingga pada zaman modern sekarang ini kita menggunakan standard dollar, yang sangat lemah dalam menjamin stabilitas antara sektor riil dan moneter. Untuk itu, sekarang umat Islam ingin kembali kepada penggunaan mata uang dinar dan dirham sebagai standar dalam transaksi ekonomi.
Inflasi merupakan keadaan dimana uang tidak dapat digunakan sebagai alat pembayaran yang tidak adil bagi penangguhan pembayaran dan penyimpanan nilai yang tidak dapat dipercaya. Hal ini merusak efisiensi system moneter dan membebani harga kesejahteraan bagi masyarakat. Ini menigkatkan konsumsi, mengurangi tabungan, menghambat pembentukan modal dan menjurus kepada penyalahgunaan sumber daya. Hal ini cenderung mengubah nilai, mendorong spekulasi dengan dalih kegiatan produktif dan menigkatkan kesenjangan pendapatan.[1]
Inflasi merupakan simptom dari ketidakseimbangan. Menerima saja inflasi sama dengan menerima penyakit dan membiarkan hilangnya kemampuan perekonomian untuk tergerak secara reflek. Inflasi juga bertentangan dengan perekonomian bebas riba karena mengikis nilai keadilan social. Meskipun Islam menekankan keadilan pada peminjam tidak berarti Islam setuju dengan perlakuan tidak adil kepada pemberi pinjaman.
Islam menekankan pada penggunaan uang di sector riil untuk kegiatan yang produktif sehingga lebih menggalakkan bisnis dan investasi daripada menabung karena jika uang tersebut dikelola tentunya akan membantu si peminjam modal atau pengelola dan dapat menolong orang-orang miskin melalui saluran distribusi zakat dan infaq. Jika harat dibiarkan saja justru akan mengakibatkan harta semakin berkurang karaena terkena beban zakat.
Adapun orang yang berinvestasi berhak mendapatkan bagi hasil dari pengelola namun jika usaha tersebut mengalami kerugian, maka pemodal juga harus menanggung kerugian.
Islam menganjurkan untuk qardhul hasan, yakni menolong orang yang membutuhkan pinjaman dan melepaskan seseorang dari hutang jika ia tidak sanggup membayarnya. Apabila orang yang ditolong memberikan hadiah (berupa tammbahan dari modal awal) maka sebaiknya kita berhati-hati dengan tambahan tersebut.
Rasulullah bersabda.
عَنْ اَنَسِ عَنِ الَّنبِيّ –صلى الله عليه وسلم– قَالَ: إِذَا اَقْرَضَ فَلاَ يَأْخُذُ هَدِيَّةً
“ Dari Anas bin Malik, Nabi SAW bersabda: “ Jika seseorang membayar pinjaman lebih dari yang dipinjamkan, hendaklah hadiah itu jangan diterima.” (HR Bukhari)
عَنْ اَبِي أُمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ –صلى الله عليه وسلم– قَالَ: مَنْ شَفَعَ لِأَخِيْهِ شَفَاعَةً فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً فَقَبِلَهَا فَقَدْ أَتَى بَابًا عَظِيْمًا مِنْ اَبْوَابٍ الرِّبَي (رواه مسلم)
“Dari Abu Umamah, ra. Ia berkata : “Rasulullah, beliau bersabda: barang siapa yang memberi pertolongan kepada saudaranya suatu pertolongan, lalu saudaranya itu memberikan hadiah kepadanya, maka ia telah sampai kepada sebuah pintu dari pintu-pintu riba.” (HR. Muslim).
Islam menghapuskan bunga agar dalam semua bisnis, kita hanya mengandalkan pada modal sendiri. hal ini karena dengan modal sendiri, masih dapat didukung dengan pinjaman mudharabah berjangka menengah dan panjang sejauh hal itu diperlukan. Dana pinjaman jangka pendek meskipun dalam kerangka bagi hasil dapat dilakukan hanya pinjaman sementara atau likuiditas temporal yang diperoleh pada saat puncak penjualan, ini tidak dikehendaki atau tidak layak untuk menigkatkan modal sendiri untuk jangka panjang.[2]
Kekuasaan Bank
Islam mengajarkan prinsip keadilan dalam semua nilai kehidupan dan mendorong kepada setiap muslim untuk tidak serakah, tamak dan menghalalkan segala cara untuk menumpuk harta apalagi menzalimi orang lain.
Al-Quran menyatakan:
“Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.” (Q.S. Al-Hasyr [59] : 7)
Islam tidak memberikan kekuasaan yang besar kepada bank sehingga model bank seperti yang kita lihat sekarang pada zaman Rasulullah tidak ada, yang ada hanya baitul maal karena fungsi bank dalam Islam adalah untuk kesejahteraan masyarakat bukan untuk kepentigan sekelompok orang atau penguasa.
Hak-hak khusus untuk memobilisasikan sejumah besar dana melalui deposito memberi bank-bank konvensional dan keluarga-keluarga yang menguasainya”akses terhadap modal orang lain” dan karenanya mereka mampu untuk menanamkan pengaruh yang besar atas perekonomian dan politik Negara nenek moyang mereka. Inilah alasan utama mengapa bank cenderung menjadi pusat control di bawah kapitalisme dan mengapa “ golongan orang paling kaya dan kalangan kapitalis paling berkuasa bergerak melalui bank.”[3]
Pasar Modal yang Sehat
Sarana menuju sendiri yang lebih besar dalam perekonomian yang islami menekankan perlunya pengorganisasian pasar modal primer dan skunder yagn lebih efisien agar dengan demkian dapat menigkatkan dana tanpa menimbulkan kesulitan dan menyediakan likuiditas bagi para investor yang tidak dapat , atau tidak mau , memegang uang yang mereka minta. Perkembangan suatu pasar primer akan menjadi sulit jika pasar skunder dikembangkan secara bersama-sama.
Salah satu diantara hal-hal yang paling penting untuk tujuan ini adalah membuat perilaku yang rasional dalam harga saham sesuai dengan harga deviden pada umumnya agar dengan demikian dapat meyakinkan para investor akan saham dan bagi hasil. pasar modal sebagaiamna yang ada di dunia kapitalis, dengangerakan nilai saham yang tidak stabil, deviden yang rendah dan resiko hilangnya modal, tidak menawarkan jalankeluar yang menarik bagi investor. Pasar modal yang cenderung menjanjikan bunga tanpa resiko hilangnya modal (jika sampai jatuh tempo) cenderung semakin menarik.
Ada sejumlah factor yang menyebabkan gerakan yang tidak stabil dan tidak sehat dalam harga saham. Salah satu yang paling penting adalah spekulasi dalam pembayaran uang muka atau obral saham dengan harga marginal yang tidak secara sungguh-sungguh. Para spekulan tersebut mencari keuntungan dari perbedaan harga dalam transaksi jangka pendek. Mereka membeli dan menjual sesuatu yang mereka sendiri tidak mengkonsumsinya atau menggunakannya dalam usaha sendiri, tanpa sesuatu ang dikerjakan dengan saham itu ataupun tidak ada nilai tambah apapun yan gdiberikan. Mereka tidak menjual untuk jangka pendek ataupun menjaul sesuatu untuk jangka panjang. Obral singkat adalah obral saham yang pemiliknya sedang sangat butuh. Dengan membanting harga sahamnya, orang ini mengharapkan adanya penurunan harga saham pada umumnya sekaligus berharap bahwa mereka dapat menutup kembali kerugian yang diderita bahkan mendapat keuntungan dari membeli saham lain yang belum jatuh tempo dengan harga murah. Sebaliknya pembeli dengan modal kuat tidak ingin terburu-buru menjual saham meeka, melainkan menunggu saat harga saham naik sebelum jatuh tempo.
Oleh karena itu, kiranya bijaksana untuk tetap mempertahankan sehatnya pasar secara terus menerus melalui sejumlah pembaruan. Yang paling penting adalah bagaimana tetap mempertahankan keuntungan 100% margin, yaitu sama dengan pembelian tunai. Dengan penghapusan pembelian margin peluang bagi para spekulan sendiripun jadi dibatasi dengan sendirinya. Satu-satunya akibat yang ditimbulkan oleh langkah seperti itu adalah volume perdagangan jangka pendek dipasar modal sedikit berkurang tetapi dampaknya justru akan menyehatkan perdagangan jangka panjang. Sebagaimana Wendel Gordon mengatakan ‘mesin pasar mendorong perputaran uang dan konsekuensinya juga fluktuasi harga’ karena semakin besar volume perdagangan semakin banyak uang yang dihasilkan oleh para perantara.[4]
Kebijakan Moneter
Variabel yang harus diformulasikan dalam kerangka kebijakan moneter dalam perekonomian Islam adalah stok uang, bukan tingkat suku bunga. Bank Islam harus mengarahkan kebijakan monetrenya untuk mendorong pertumbuhan dalam penawaran uang yang cukup untuk membiayai pertumbuhan potensial dalam output jangka menengah dan jangka panjang demi mencapai harga yang stabil dan tuuan-tujuan sosio ekonomi Islam. Sasaran haruslah untuk menjamin bahwa perkembangan moneter yang tidak berlebihan meliankan cukup untuk sepenuhnya dapat mengeksploitasi kapasitas perekonomian untuk menawarkan barang dan jasa bagi kesejahteraan social umum.
Dalam perekonomian Islam, upaya untuk menghilangkan deficit fiscal berlebihan dapat dilakukan dengan cara:
1. Meningkat keuangan yang memadai melalui pajak dan sumber-sumber non inflationary lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok dan pengeluaran produktif mereka.
2. Membatasi pengeluaran yang tidak produktif secara berarti.
Deposit bank komersial merupakan bagian penting dalam penawaran uang. Untuk memudahkan analisis, deposit ini dapat dikategorikan menjadi deposit primer dan derivative. Deposit primer menyediakan system perbankan dengan uang pokok ( base money). Sedangkan deposit derivative berupa uang yang disediakan bagi bank-bank komersial dalam proses pengembangan kredit sekaligus merupakan sumber utama pengembangan moneter dalam perekonomian yang sudah mengenal tradisi perbankan secara baik. Karena deposit derivative cenderung menigkatkan penawaran uang dengan cara yang sama seperti uang yang dikeluarkan pemerintah atau bank sentral dan karena pengembangan ini, persis seperti deficit pemerintah, dalam situasi tidak adanya pertumbuhan output mempunyai potensi inflationary, agar dapat mencapai sasaran pertumbuhan moneter pengembangan deposit derivative, agar dapat mencapai sasaran pertumbuhan moneter pengembangan deposit derivative harus diatur sedemikian rupa. Ini dapat dilakukan dengan mengatur penyediaan uang pokok bagi bank-bank komersial. Untuk tujuan ini, penghapusan bunga sebagai mekanisme pengatur tidak akan merugikan. bahkan dapat menghilangkan efek destabilisasi yang ditimbulkan oleh fluktuasi tingkat suku bunga, menstabilkan permintaan akan uang dan secara subtansial dapat mengurangi tingkat fluktuasi ekonomi.
Saldo surplus pembayaran pada Negara-negara yang mengalami surplus dapat dicapai dengan mengatur belanja Negara sesuai kemampuan perekonomian untuk menghasilkan penawaran yang sesungguhnya sehingga tidak akan terjadi inflasi yang diakibatkan oleh balance of payment surplus. Sedangkan pada Negara-negara yang mengalami deficit, disequilibrium itu biasanya terjadi melalui current accont deficits and underground capital out flows akibat perkembangan moneter yang tidaksehat bersama-sama dengan konsumsi yang berlebihan di sector swasta. Keadaan ini tidak dapat dihilangkan kecuali dengan perbaikan sosio-ekonomi pada tingkat yang lebih dalam dan kebijakan-kebijakan fiscal sesuai dengan ajaran Islam.
Instrumen kebijakan Moneter dalam Islam meliputi :
1. Target Pertumbuhan pada Penawaran Uang
Target pertumbuhan pada penawaran uang (M) harus selalu ditinjau sesering mungkin sesuai denga keadaan ekonomi dankecenderungan variable-variabel penting tertentu karena pentargetanmoneter beranggapan bahwa kecepatan income menurut waktu tertentu dapat diperkirakan. meskiini dapat diharapkan dalam perekonmian Islam pasca penghapusan bunga, target tersebut msih tetap perlu dikaji ulang secara terus menerus. Pertumbuhan pada M sangat erat kaitannya pada pertumbuhan Mo atau High Powered money, bank Sentral harus mengawasi secara ketat pertumbuhan Mo.
2. Public Share of Demand Deposit
Dalam jumlah tertentu dan dalam kondisi normal, maksimum sampai dengan 25% demand deposit bank-bank komersial harus diserahkan kepada pemerintah guna memungkinkan pemerintah untuk membiayai proyek-proyek yang secara social menguntungkan sementara system bagi hasil tidak dimugkinkan atau diinginkan. Jumalh tersebut di atasdi luar telah diberikan kepada pemerintah oleh bank sentral dalam rangka memperkokoh landasan keuangan (Mo).
Beberapa argument dari konsep tersebut diatas adalah:
a) Bank-bank komersial bertindak sebagai agen Negara dalam memobilisasi dana masyarakat.
b) The Bank do not pay any return on demand deposit
Jumlah maksimum 25% seperti yang dikemukakan di atas adalah jumlah maksimum dalam kondisi normal. Jumlah tersebut dapat ditambah hanya dalam kondisi tertentu yaitu terjadiya bencana nasional atau dalam kondisi Negara harus berperan sebagai lokomotif dalam kelangsungan ekonomi.
3. Statuory Reserve Requirement
Bank-bank komersial perlu diharuskan memiliki dalam jumlah tertentu dari demand deposit mereka pada bank sentral dan bank sentaral harus mengganti biaya yang dikelarkan untuk memobilisasi dana yang dikeluarkan oleh bank-bank komersial ini. Statuary reserve requirement juga membantu memberikan jaminan atas deposit dan sekaligus membantu penyediaan likuiditas yang memadai bagi bank yang ada. Dana yang diterima oleh Bank Sentral melalui Statuory reserve requirement dapat digunakan untuk dua tujuan yaitu:
a) Sebagian dana harus dapat digunakan kembali sebagai cadangan terakhir bagi pemberi pinjaman.
b) Dengan tidak diakuinya lembaga bunga, bank sentral Islam harus mencari alternative lahan investasi yang bebas bunga.
4. Alokasi Kredit Berorientasikan Nilai
Perlu ditetapkan batas kredit yang boleh dilakukan oleh bank-bank komersial untuk memberikan jaminan bahwa penciptaan kredit sesuai dengan target-target moneter. Langkah ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati, terutama dalam pengalokasian batas antar bank secara individual agar tidak mengancam kompetisi yang sehat antar bank itu sendiri.
5. Alokasi Kredit Berorientasikan Nilai
Karena kredit bank berasal dari uang masyarakat, realisasi kredit juga harus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. kriteria untuk pegalokasiannya sebagaimana rezeki yang diberikan Allah, pertama kali harus untuk mencapai tujuan masyarakat Islam, kemudian baru untuk memaksimalkan keuntungan pribadi. Hal ini dapat dicapai dengan syarat:
a. Alokasi kredit menengah pada optimisasi produksi dan distribusi barang serta jasa yang diperlukan bagi sebagian besar masyarakat
b. Keuntungan yang diperoleh dari pembelian kredit diperuntukkan bagi sebagian besar kepentingan bisnis dalam masyarakat.
Sebab Krisis Pada Pasar Modal dalam Perspektif Islam
Puncak dari kehancuran sistem kapitalis adalah terjadinya krisis moneter, khususnya dalam bidang pasar modal. Menurut Islam, hal itu terjadi karena adanya banyak penyimpangan seperti bertransaksi secara fiktif, spekulasi dan jaminan, jual-beli sesuatu yang tidak dimiliki dan jual-beli sesuatu sebelum dimiliki dan sebelum diserahterimakan baik dalam transaksi pilihan (option), transaksi forward atau future (akan datang) yang semuanya itu dibangun berdasarkan prinsip yang membuka peluang bagi terjadinya jual-beli hutang dengan hutang, spekulasi dan monopoli.
Sebab-sebab terpenting dari krisis tersebut menurut Islam dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Adanya dominasi dan penguasaan pemilik modal besar dalam pasar modal. Penguasaan modal dalam skala besar dapat memberi peluang untuk kemudharatan secara terencana. Dominasi dan penguasaan tersebut termasuk salah satu jenis penimbunan yang terlarang hadits Nabi:
عَنْ مَعْمَرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم– قَالَ « لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ
“Dari Ma’mar bin Abdullah, Rasulullah SAW bersabda: Tidak menimbun kecuali orang yang salah” ( H.R Muslim).
2. Bermuamalah berdasarkan riba. Sebagian besar sistem transaksi dalam pasar modal adalah transaksi obligasi yang berbasis berbunga tetap (riba), yang diberikan sebagai imbalan ganti rugi tangguhan waktu dan syarat fasakh. Ketika pihak penghutang tidak mampu mengembalikan harga obligasi berikut bunganya pada waktu yang telah ditentukan maka tersebar isu mengenai surat berharga tersebut sehingga kehilangan kepercayaan dari investor dan harganya semakin jatuh. Umumnya yang mengeluarkan obligasi adalah lembaga pemerintah yang memerlukan dana besar bagi pembangunan.
Majma Al-Fiqh Al-Islami di Jeddah juga telah mengeluarkan ketetapan dalam muktamarnya yang keenam tentang haramnya bertransaksi dengan obligasi. Dijelaskan bahwa dalam kondisi pembelian juz’i (trading on margin) atau jual beli ‘ala al-makhsyuf (short sale) apabila pembeli tidak mempu melunasi hutang maka harga surat berharganya akan terus menurun sehingga harus melepaskan berapapun harganya. Hal ini bisa mengarah pada rentetan pelemahan harga sampai pada tingkat yang luar biasa tanpa alasan ekonomi atau investsi yang dapat diterima sebagai akibat dari praktek transaksi berbasis riba.
Allah berfirman:
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat) , Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al-Baqarah [2] :275)
3. Perjudian yang berdasar pada gharar (غَرَار), penyembunyian, kebohongan, penipuan, persangkaan, khayalan dan prediksi-prediksi. Semua pelaku bisnis baik pembeli maupun penjual mengaitkan nasib dan keuntunganya pada fluktuasi harga yang diharapkan terjadi. Ini merupakan salah satu bentuk perjudian yang dilarang syariat. Sebagaimana mayoriotas transaksi dalam pasar modal tidak dilakukan dengan serah terima secar hakiki menurut dhawabit (ketentuan) fiqih Islam. Transaksi telah terjadi berulang kali sebelum surat berharga tersebut diterima oleh pembeli yang pertama, dengan tujuan untuk mendapatkan selisih harga antara penjual dan pembeli fiktif. Syariat Islam telah melarang adanya praktek tadlis ( transaksi dengan menyembunyikan informasi). Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.”
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 42)
4. Praktek berlebih-lebihan dan boros (إِسْرَاف) ‘israf’. Salah satu sebab krisis moneter adalah pengarahan yang tidak rasional atas pembelanjaan harta pada kebutuhan tahsiniyah (tersier) secara berlebihan seperti barang-barang mewah/lux baik oleh instansi pemerintah, swasta maupun individu. Hal ini merupakan pembelanjaan yang sia-sia dan tidak merealisasikan pertumbuhan yang hakiki. Bahaya tersebut bertambah apabila sumber harta tersebut berasal dari pinjaman ribawi. Syariat Islam telah mengharamkan sifat berlebihan dan berbuat mubazir. Allah berfirman:
26. Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburka n (hartamu) secara boros.
27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
(Q.S. Al-Isra’ [17] : 26-27)
Rasulullah bersabda:
كُلْ,وَاشْرَبْ, وَالْبَسْ, وَتَصَدَّقْ, في غَيْرِ سَرَفٍ وَلاَ مَخِيْلَةٍ
“Makanlah, minumlah, berpakaianlah dan bersedekahlah kalian selama hal itu tidak dicampuri sikap melampaui batas atau sombong” (HR. Abu Daud dan Ahmad )
Manhaj Islam Sebagai Solusi Mengatasi Krisis di Pasar Modal
Manhaj Islam untuk mengatasi krisis dalam pasar modal terdiri atas beberapa dasar yang digali dari fiqh muamalah secara umum dan fiqh yang berinteraksi dalam pasar modal secara khusus yang terekspresikan dalam Islamic finance yang dapat memberi batasan muamalah dalam pasar modal sebagai berikut:
1.Berpegang pada nilai-nilai Islam dalam setiap hal, termasuk dalam bermuamalah di pasar modal. Nilai Islam berfungsi sebagai obat dan upaya preventif dalam mencegah terjadinya penimbunan, penyembunyian, informasi, kebohongan, perjudian, bermuamalah dengan riba, sifat berlebih-lebihan dan boros. Nilai Islam dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
a. Nilai keimanan seperti perasaan takut kepada Allah dan perhitungan hari akhir
b. Nilai akhlak, seperti jujur, amanah, ikhlas, pemaaf, toleran, tawashuth bijaksana) dan menepati janji
c. Nilai tingkah laku seperti saling membantu, saling bertakaful (saling menjamin) dan menjalin ukhuwah (persaudaraan) .
Rsulullah SAW bersabda:
أخبرنا أبو يعلى ، قال : حدثنا خلف بن هشام البزار ، قال : حدثنا داود بن عبد الرحمن العطار ، عن عبد الله بن عثمان بن خثيم ، عن إسماعيل بن عبيد بن رفاعة بن رافع الأنصاري ، ثم الزرقي عن أبيه ، عن جده رفاعة أنه خرج مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ، إلى البقيع والناس يتبايعون ، فنادى : يا معشر التجار ، فاستجابوا له ، ورفعوا إليه أبصارهم ، وقال : « إن التجار يبعثون يوم القيامة فجارا إلا من اتقى ، وبر ، وصدق »
“Sesunguhnya para pedagang dibangkitkan pada hari kiamat sebagai orang yang maksiat kecuali orang yang bertakwa kepada Allah, berbuat baik dan jujur” (HR. Ibnu Hibban)
2. Menjauhi muamalah ribawi, baik dalam berhutang (riba nasiah) maupun dalam jual-beli (riba al-buyu’). Bunga hutang, pinjaman dan bunga obligasi merupakan transaksi ribawi.
3. Menjauhkan jual-beli yang tidak مشروع masyru’ (tidak dihalalkan) yang terjadi di dalam praktek transaksi pasar modal, seperti jual-beli gharar, inah, hutang dengan hutang, sesuatu yang bukan miliknya, dua jual beli dalam satu jual beli, jual beli najasy, talaqy rukban dan jual beli wafa’.
4. Melakukan pembersihan muamalah dari penimbunan, baik yang dilakukan oleh pedagang besar, lembaga keuangan dan moneter ataupun oleh pemerintah. Wajib adanya penciptaaan pasar persaingan sempurna yang tiadak dicampuri oleh gharar, kebodohan, tadlish, perjudian, penipuan, atau setiap bentuk memakan harta orang lain secara bathil.
5. Pengarahan investasi pada proyek-proyek yang penting (vital) dan prioritas yang dibutuhkan oleh semua elemen masyarakat yang di dalamnya terdapat penjagaan terhadap agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta benda dengan pengalokasian yang jauh dari kemubaziran dan adanya keseimbangan antara infaq dan keuntungan yang masyru’.
Mengapa Riba Diharamkan?
Menurut Mustafa Al-Maraghi[5], riba diharamkan karena :
1. Untuk menjaga investasi agar tetap eksis di dalam sektor riil, bukan dalam sektor moneter saja.
Sebagai contoh, Indonesia dalam APBN tahun 2002-2003 menganggarkan anggaran sebesar Rp. 88.499.900.000. 000,- untuk membayar bunga utang Indonesia baik utang pemerintah maupun swasta. Ini berarti hampir sebesar ¼ dari total APBN Indonesia.[6] Disamping itu menurut Umar Vadillo, bunga menyebabkan pengangguran, karena kurang tersedianya pekerjaan di sector riil. Uang hanya berputar di sektor pasar uang Karena orang akan tertarik dengan saving dan valas karean hal tersebut tidak mempunyai tingkat resiko yang tinggi dibandingkan dengan sector yang memiliki tingkat resiko tinggi.[7] Data tahun 2000 menunjukkan bagaimana krusis ekonomi benar-benar diakibatkan oleh penumpukan uang di sector pasar uang, bukan pada sector riil dimana hanya 5% dari transaksi di pasar uang yang berkaitan dengan barang dan jasa. bahkan volume transaksi pasar barang dan jasa hanya 1,5% disbanding turn over transaksi di pasar uang.[8]
2. Menimbulkan permusuhan dan pertengkaran antar masyarakat.
Menurut teori produksi, istilah fixed cost (biaya tetap) mengacu pada arti biaya tidak dipengaruhi oleh berapa output yang dikeluarkan seperti mesin dan variable cost (biaya tidak tetap) yaitu biaya yang dipengaruhi langsung oleh output yang ingin diproduksi. Sebagai contoh biaya untuk membuat satu pasang baju adalah Rp. 50.000,- , maka variable cost untuk 10 pasang baju adalah Rp. 500.000.-.
Ketika suatu perusahaan ingin memproduksi 2 juta pasang baju maka ia membutuhkan modal untuk variable cost sebesar Rp. 50.000 x 2 juta = Rp. 100 juta.
Namun, jika dalam kasus pengusaha tersebut tidak punya modal, ia meminjamnya dari bank dengan bunga (riba) 12% pertahun. Karena itu, biaya produksinya akan bertambah disebabkan variable cost-nya akan naik dari Rp. 100 juta menjadi Rp. 112 juta (12%x Rp. 100 juta = Rp. 12 juta).
Alhasil, dengan output yang sama (2 juta pasang pakaian), biaya yang dibutuhkan berbeda antara yang memakai system bunga dan non bunga. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, Bagaimana caranya produsen menutup biaya tambahan dari bunga ini? Jawabannya jelasa bahwa cara yang paling sering dilakukan adalah dengan menaikkan harga, sehingga konsumen yang menjadi korban.
Selanjutnya, jika semua perusahaan melakukan hal itu (menaikkan harga untuk menutupi bunga bank) maka dampak makro ekonominya adalah timbulnya inflasi akibat harga barang yang naik.
Dari sisi konsumen, jika semua barang naik, sedang pendapatannya tetap, maka hal ini akan mengurangi saving ( tabungan). Hal ini berdasar rumus konsumsi:
Y= C+S
dimana;
Y= income
C= Consumsi
S= Saving
Jika saving sudah menjadi nol sehingga income-nya minus, misalnya seseorang dengan pendapatan Rp. 1 juta perbulan, sebelum terjadi infalsi ia dapat melakukan saving Rp. 100.000,- tetapi ketika terjadi inflasi maka akan mengurangi saving-nya karena ia harus mengalokasikan uangnya untuk konsumsi. Selama income-nya masih mengcover semua biaya konsumsinya, tidak akan muncul banyak masalah, namun menjadi masalah ketika incomenya tidak dapat lagi menutupi semua konsumsinya. Terjadilah masalah sosial seperti korupsi, perampokan, penipuan, pencurian, dan akhirnya muncul permusuhan dan kebencian antara masyarakat seperti yang diekspresikan masyarakat kebanyakan dengan membakar hidup-hidup para maling, pencopet, dll.
Selain semua hal di atas, riba juga menyebabkan dampak dalam bidang ekonomi. Riba menyebabkan dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Dalam hal ini bunga sebagai salah satu faktor penentuan harga dapat mempengaruhi tinggi rendahnya harga suatu barang. Jika tingkat suku bunga tinggi, maka harga barang juga akan tinggi.
Dari sisi produsen bunga akan menyebabkan biaya dari faktor produksi menjadi tinggi, sehingga akan meningkatkan harga barang. Sementara penigkatan harga barang akan menurunkan dayabeli masyarakat (konsumen). Penurunan harga beli akan menurunkan jumlah produksi terhadap tenaga kerja yang berarti penambahan jumlah pengangguran.
Dampak lainnya bahwa utang, dikaitkan dengan rendahnya tingkat penerimaan /pendapatan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidakakan pernah keluar dari ketergantungan, apalagi jika bung atas utang tersebut di bungakan lagi. Akhirnya akan mengakibatkan utang yang terus menerus, karena untuk menutupi kewajiban membayar bunga, si peminjam harus berutang lagi, sehingga pada akhirnya terjadilah kemiskinan secara structural.
Dampak Riba dalam bidang Sosial Kemasyarakatan bisa dijelaskan sebagai berikut; Para pengambil riba memerintahkan si peminjam untuk berusaha dan mengembalikan dengan tambahan (bunga) yang sifatnya pasti, sementara tidak ada yang bisa memastikan bahwa usaha yang dilakukan si peminjam itu akan untung. Dengan menetapkan riba, orang sudah memastikan bahwa usaha yang dikelola peminjam pasti akan untung. Hal semacam ini tentu saja tidak adil dan dapat menimbulkan permusuhan, kebencian serta memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin.
Selain itu dampak ekonomi yang berakhir pada bertambahnya jumlah pengangguran dapat pula memicu dampak social berupa menigkatnya kejahatan dan tindak kriminal.
……………………………………………………………….
[1] Umer Chapra, Al-Quran Menuju Sistem Moneter yang Adil ( Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hlm. 7[2] Umer Chapra, Al-Quran Menuju Sistem Moneter yang Adil ( Yogyakarta: Dana Bhakti prima Yasa, 1997), hlm. 63.
[3] ibid., hlm. 65
[4] ibid., hlm. 74 dalam Wendell Gordon, Institusional Economic Caustin, University of Texas, 1980, p. 223.
[5] Ahmad Mustafa Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Kairo: Al-Halaby, 1946), jilid VII hal 57-60.
[6] Djamal Doa, Membangun Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Zakat Harta ( Jakarta: Nuansa Madani, 2001), hlm. xvii (pengantar)
[7] Umaar Vadillo, The Ends of Economics: An Islamic Critique of Econimics (Granada: Madinahs Press, 1991), hlm. 54.
[8] Ahmad Rusydi, The Effect of Elimination of Riba on Economic ( New york : A Martin press, 1986), hlm 225.
(981)