Pemikiran Politik Islam dan Relasi Agama – Negara
Oleh: Muhammad Zulifan
(Peneliti, Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam-UI)
A. Pemikiran Politik Islam Abad Klasik dan Pertengahan
Bagi pemikir Islam abad ini, hubungan agama dan negara merupakan sesuatu yang saling melengkapi, sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan. Agama membutuhkan negara, demikian pula sebaliknya (Kamil, 2013:3).
Sebagai contoh, Al-Mawardi berpendapat bahwa kepemimpinan politik dalam Islam didirikan untuk melanjutkan tugas-tugas kenabian dalam memelihara agama (harasah ad-din) dan mengelola kebutuhan duniawiyah (siyasah ad-dunya). Pemikiran tersebut juga bisa ditelusuri dari pendapat al-Farabi (870-950 M), al-Mawardi (975-1059), al-Ghazali (1058-1111), Ibnu Taimiyah (1263-1329), hingga Ibnu Khaldun (1332-1406).
1. Pemikiran Politik Islam Al-Farabi (870-950 M)
Al-Farabi dalam menggambarkan pentingnya sebuah pemerintahan, mengilustrasikan fungsi negara sebagai anggota badan yang apabila satu menderita maka yang lain akan merasakannya (Azhar, 1997: 79). Anggota badan juga mempunyai fungsi dan peran yang berbeda-beda, begitu pula kebahagiaan masyarakat tidak akan terwujud tanpa pendistribusian kerja yang sesuai dengan kecakapan dan kemampuan sebagai manifestasi interaksi sosial.
Bagi al-Farabi, kedudukan kepala negara sama dengan kedudukan jantung bagi badan yang merupakan sumber koordinasi. Oleh karenanya, pekerjaan kepala negara tidak hanya bersifat politis, melainkan meliputi etika sebagai pengendali way of life.
Al-Farabi memberikan 12 kriteria bagi seorang kepala negara yang salah satunya harus memiliki fa’al (akal aktif) yang bisa menyerap ilham dan wahyu. Kriteria ini terlalu ideal dimana filosof dan Nabi merupakan tokoh tertinggi yang layak menjadi kepala negara.
Namun al-Farabi memberikan alternatif dari idealismenya tersebut dengan menyatakan bila masyarakat atau negara kesulitan dalam mencari kepala negara yang bersatus Nabi atau filosof, bisa digantikan dengan sistem presidium.
Baca juga: Menakar Kewahabian PKS
2. Pemikiran Politik Islam Al-Mawardi (975-1059
Al-Mawardi, pengarang kitab politik al-ahkam al-Sulthaniyah, mendasarkan teori politiknya dengan terlebih dahulu merumuskan hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan memerlukan bantuan dari pihak lain. Perbedaan inteligensia, kepribadian dan bakat mendorong manusia untuk saling bekerja sama. Berangkat dari unsur kerjasama inilah al-Mawardi berpendapat bahwa manusia sepakat mendirikan negara. Adanya negara adalah melalui kontrak sosial atau perjanjian atas dasar suka rela (Syadzali, 1993:67).
Hubungan antara ahlul halli wal aqdi (legislatif) dengan kepala negara (eksekutif) merupakan hubungan antara dua pihak peserta kontrak sosial yang melahirkan kewajiban dan hak di kedua belah pihak atas dasar timbal balik. Kepala negara selain berhak ditaati oleh rakyatnya dan menuntut adanya partisipasi dan loyalitas penuh mereka; sebaliknya kepala negara mempunyai kewajiban pada rakyatnya seperti memberikan perlindungan, mengelola kepentingan mereka dengan baik dan penuh tanggungjawab.
Bagi Al-Mawardi, yang berwenang memilih kepala negara adalah lembaga legislatif (ahl al-ikhtiyar), mereka dipersyaratkan memiliki keadilan; (2) memiliki pengetahuan dan mampu mengetahui siap yang berhak menjadi kepala negara. Sementara untuk jabatan kepala negara dipersyaratkan: (1) adil dalam arti luas; (2) ilmu pengetahuan yang memadai untuk ijtihad; (3) sehat pendengaran, penglihatan dan lisannya; (4) sehat jasmani sehingga tidak terhalang untuk melakukan aktivitas; (5)pandai dalam mengendalikan urusan rakyat, dan (6) berani dan tegas membela rakyat dan menghadapi agresor dan (7) keturunan suku Quraisy.
Dalam suskesi kepala negara ditempuh melalui dua sistem, yakni pemilihan oleh ahlul halli wal aqdi atau wasiat kepala negara sebelumnya atau dengan cara penunjukan. Al-Mawardi tidak menentukan sistem mana yang harus dipraktekkan. Ini menunjukkan sikapnya bahwa baik dari sumber awal agama Islam maupun dari fakta historis, ia tidak menemukan suatu sistem baku tentang suksesi kepala negara yang dapat dipastikan bahwa itu yang dikehendaki oleh Islam.
Hal ini mengingat sistem suksesi dalam Islam yang telah dipraktekkan oleh para sahabat ada tiga; pertama, pemilihan umum seperti yang dilakukan oleh lembaga legislatif seperti dalam kasus terpilihnya Abu Bakar ra.; kedua, pemilihan sistem komisi yang dipilih untuk menentukan penggantian kepala negara, kemudian penentuan komisi ini dipromosikan kepada rakyat untuk dijustifikasikan (disahkan), seperti dalam kasus terpilihnya Umar ibn Khattab; dan ketiga, sistem penunjukan oleh kepala negara sebelumnya dengan terlebih dahulu memperhatikan suara politik rakyat, sebagaimana dalam kasus terpilihnya Utsman ibn Affan ra. (ash-Shiddieqy, 1969:64).
Baca juga: Membaca Akar Konflik Sunni Syiah
3. Pemikiran Politik Islam Al-Ghazali (1058-1111)
Senada dengan al-Mawardi, al-Ghazali juga berpandangan bahwa manusia itu makhluk sosial. Manusia tidak bisa hidup sendirian disebabkan dua faktor; pertama, kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup manusia. Kedua, saling membantu dalam menyediakan kebutuhan hidup seperti makanan, pakaian dan pendidikan.
Dalam suatu negara diperlukan division of labour antara warga negara, sejumlah industri dan profesi, dimana empat darinya merupakan profesi inti bagi eksistensi suatu negara: pertanian, pemintalan, pembangunan dan politik untuk mengelola negara. Untuk menempati posisi politik diperlukan manusia yang memiliki kemampuan, keahlian, pengetahuan dan kearifan yang mendalam dan harus dibebaskan dari tugas dan tanggungjawab yang lain (Syadzali,1993 :75).
Al-Ghazali menyatakan bahwa kewajiban mengangkat seorang kepala negara bukanlah berdasar rasio, tetapi berdasarkan keharusan agama. Faktor keamanan jiwa dan harta tidak akan tercapai tanpa adanya penguasa yang ditaati (al-Ghazali, 1320 H:125). Oleh karena itu penguasa dan agama merupakan dua saudara kembar. Agama adalah fundamen sementara penguasa adalah pelindungnya. Operasionalisasi tata aturan dunia tidak akan terjamin kecuali ada kepala negara yang ditaati.
Konsekuensi dari teori ini, al-Ghazali tidak memisahkan antara agama dan negara. Tidak ada sekularisasi ajaran agama yang hanya urusan individu sehingga harus dilepaskan dari urusan politik, kenegaraan dan kemasyarakatan dalam arti luas. Dengan demikian, agama tidak hanya mengatur kehidupan individual, melainkan juga kehidupan kolektif.
Agama mencakup kehidupan seluruhnya termasuk ritual, etika, hubungan antara anggota keluarga, sosial ekonomi, administrasi pemerintahan, hak dan kewajiban warga negara, sistem peradilan, hukum perang dan damai, hukum internasional dan seterusnya. Antara agama dan negara terjalin hubungan kuat bagi tegaknya kedaulatan negara melalui seorang kepala negara yang ditaati, yang mampu menjembatani kepentingan rakyat.
Lebih lanjut al-Ghazali berpendapat bahwa Allah telah memilih bani Adam dua kelompok pilihan: pertama, para Nabi yang bertugas menjelaskan kepada hamba-hamba Allah tentang jalan yang benar yang akan membawa kebahagiaan dunia akhirat; dan kedua, para raja (kepala negara) dengan tugas menjaga agar hamba-hamba Allah tidak saling bermusuhan dan saling melanggar hak, dan memandu mereka ke raha kedudukan yang terhormat. Karena itu, sultan adalah bayangan Allah di muka bumi, maka wajib dicintai, diikuti dan tidak dibenarkan menentangnya.Melalui kepala negara sebagai bayangan Allah di bumi, maka ia adalah suci (muqaddas) dan kekuasaannya tidak datang dari rakyat sebagaimana pendapat al-Mawardi. Sistem pemerintahan al-Ghazali dekat dengan sistem teokrasi. Karenanya, al-Ghazali dalam menentukan syarat kepala negara sama dengan syarat-syarat untuk menjadi hakim, ditambah dengan atribut keturunan quraisy. Syarat-syarat itu adalah: (1) merdeka; (2) laki-laki; (3) mujtahid; (4) berwawasan luas; (5) adil; (6) dewasa; (7) bukan wanita, anak-anak, orang fasik, orang jahil dan pembeo.
Atribut bukan wanita sebagai salah satu syarat yang dikemukakan al-Ghazali sejalan dengan hadits: “tidak akan sukses suatu masyarakat yang menyerahkan urusan (untuk memimpin) mereka kepada wanita.”[1]
Baca Juga: Menyikapi Perbedaan Gerakan Islam
4. Pemikiran Politik Islam Ibnu Taimiyah (1263-1329)
Ibnu Taimiyah menekankan bahwa menegakkan negara sebagai tugas suci yang dituntut agama dan merupakan salah satu perangkat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menurut Ibnu Taimiyah, istilah negara tidaklah disinggung dalam al-Quran maupun hadits, tetapi unsur-unsur esensial yang menjadi dasar negara dapat dengan mudah ditemukan dalam keduanya, unsur-unsur itu termasuk keadilan, persaudaraan, ketahanan, kepatuhan, dan kehakiman, serta penciptaan perdamaian yang dapat diterjemahkan sebagai instrumen sosial politik tegaknya negara (Khan, 1983:178).
Beberapa tugas keagamaan seperti mengumpulkan zakat dan distribusinya, menghukum tindak kejahatan serta organisasi jihad tidak akan terlaksana dengan baik tanpa intervensi penguasa politik. Kendati negara merupakan keharusan doktrinal dan praktis, negara tetap subsider sejauh kaitannya dengan agama.
Kepentingan Islam adalah mempersatukan seluruh umat manusia dan menciptakan masyarakat besar berdasarkan keyakinan dan hukum yang sama, sebuah tata sosial berdasarkan hukum ilahi yang kekal dan universal. Nilai-nilai dan tata sosial Islam tidak akan terealisasi secara ideal tanpa negara. Negara didirikan agar kaum Muslimin dapat menjaga eksistensi dan identitas mereka, sehingga mereka tidak mengalami anarki dan disintegrasi.
Konsep Ibnu Taimiyah tentang negara didasarkan pada akal dan nagl. Akal terletak pada kebutuhan manusia untuk bergabung, bekerjasama dan membutuhkan pemimpin tanpa peduli orang itu penganut agama atau tidak. Sementara nagl berasal dari banyak hadits yang menekankan perlunya kepemimpinan dan pemerintah.
Sebagai sabda Nabi: ”bila ada tiga orang melakukan perjalanan, maka hendaknya salah satu di antara mereka menjadi pemimpin”.[2] Ibnu Taimiyah menyatakan; ”empat puluh tahun berada di bawah pemerintahan tiranik lebih baik dari pada satu malam tanpa pemerintahan.” Bagi Ibnu Taimiyah, menegakkan agama sebagai tugas suci yang fungsinya amat besar untuk menegakkan keadilan memberantas kejahatan, memasyarakatkan tauhid dan mempersiapkan munculnya sebuah negara yang mengabdi kepada Allah (Taimiyah, tt:174).
Menariknya, Ibnu Taimiyah tidak mengakui adanya konsep negara tunggal seluruh dunia Islam ataupun istilah negara Islam atau sistem khilafah negara-negara Islam. Bagi Ibnu Taimiyah, yang penting setiap negara tetap sebagai penyelenggara syariah. Taimiyah menyatakan Islam bukan monarki, aristokrasi maupun demokras. Ia bergeser dari khilafah ke sistem pemerintahan modern yang lebih pragmatis, fungsional dan rasional. Sebagaimana al-Ghazali, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa eksistensi kepala negara diperlukan bukan saja sekedar menjamin keselamatan jiwa dan harta rakyat maupun menjamin terpenuhinya bidang material. Tetapi lebih dari itu untuk menjamin berlakunya syariat.
5. Pemikiran Politik Islam Ibnu Khaldun (1332-1406)
Ibnu Khaldun, pengarang kitab Muqaddimah, memandang bahwa negara ada berkat rasa persatuan dan soliditas yang kuat. Terbentuknya negara adalah suatu gejala alami bagi manusia (Zainuddin, 1992: ix). Kendati alami, peranan agama sangat diperlukan dalam menengakkan negara.
Dengan adanya peran agama, maka rasa solidaritas itu akan mampu menjauhkan persaingan yang tidak sehat, justru seluruh perhatiannya terarah pada kebaikan dan kebenaran. Teori negara Ibnu Khaldun selain berdasarkan pada proses sosiologis, juga didasarkan pada agama. Ia tetap sebagai pelanjut pemikir-pemikir sebelumnya seperti al-Farabi, al-Mawardi, Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah.
Ibnu Khaldun memandang bahwa penguasa bukan pada atribut penguasaannya, melainkan sekadar dipercaya rakyat untuk mengurus mereka. Relasional di sini dapatlah dikatakan relasi demokratis. Kepentingan rakyat terhadap penguasa bukanlah dilandasi karena sesuatu hal yang luar biasa, melainkan karena rakyat mempercayainya untuk mengurusi kepentingannya. Baik buruknya penguasa tergantung bagaimana cara memimpinnya. Penguasa yang terbaik bukanlah yang paling pintar, tetapi yang bersifat pertengahan, al-mahmudah huwa la tawassut (ibid.)
Meski tidak menghendaki tidak terlalu pintar, dalam suksesi kepala negara tetap mensyaratkan seorang calon harus disetujui oleh ahlul halli wal aqdi dan harus memiliki pengetahuan, adil, mampu, sehat badan, panca indera dan dari suku Quraisy. Mengenai suku Quraisy, Khaldun berusaha menerangkan bahwa pemegang kendali umat haruslah berasal dari golongan yang memiliki dominasi terhadap golongan lainnya.
Untuk dapat melaksanakan tugas pemerintahan dengan baik, kepala negara memiliki beberapa fasilitas dan hak, di antaranya: dominasi (Ghalabah), pemerintahan (al-Sulthan), dan kekuasaan untuk melakukan tekanan (al-yad qahirah). Fasilitas itu dimaksudkan sebagai tindakan preventif, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam masyarakat.
Baca juga: Mengapa Muhammadiyah Berbeda?
Untuk menghindari kesewenangan kepala negara, dibuatlah peraturan dan kebijaksanaan politik tertentu yang harus ditaati oleh semua pihak. Peraturan tersebut menurut Khaldun dapat berasal dari hasil musyawarah para cendekiawan, negarawan, rohaniawan ulama, maupun aturan yang bersumber dari ajaran agama.
Sumbangan Ibnu Khaldun dalam pemikiran politik Islam yang menarik adalah keberaniannya menyatakan adanya peraturan yang berasal dari rasio. Artinya, seorang kepala negara agar efektif dalam pemerintahannya tidak harus mendasarkan segala sesuatu pada hukum agama, melainkan didasarkan pada moralitas konvensional. Dari sini berlaku rumus “konvensi moral itu menjadi landasan hukum.” Hal itu hampir senada dengan ungkapan Ibnu Taimiyah bahwa penguasa yang baik meski kafir adalah lebih baik dari penguasa yang zalim meski Islam (Azhar,1997:104).
[1] H.R. Bukhari No. 4425
[2] H.R. Abu Dawud No. 2606
(943)