
1. Muhammad Zulifan
2. Wiji Hartono
(598)
Melihat Timur Tengah Lebih Dekat
(598)
Negara Teluk yang tergabung dalam Gulf Cooperation Council (GCC) dan Liga Arab telah mengadakan pertemuan luar biasa menteri luar negeri mereka pada hari Sabtu dan Minggu untuk membahas isu-isu yang terkait dengan serangan Kedutaan Saudi di Teheran, Arab News melaporkan (7/01/2016)
Liga Arab mengatakan: “Telah diputuskan untuk mengadakan pertemuan luar biasa dari para menteri luar negeri Dewan Liga Arab pada hari Minggu di markas di Kairo.”
“Pertemuan ini diadakan menyusul catatan resmi dari delegasi permanen Saudi untuk Liga Arab,” kata Ahmed Ben Helli, wakil sekretaris jenderal liga, dalam sebuah pernyataan.
Pertemuan ini diharapkan untuk mengecam serangan Iran atas Kedutaan Saudi di Teheran dan Konsulat di Mashhad, yang melanggar semua norma internasional dan konvensi Wina yang menjamin perlindungan diplomat di negara tuan rumah.
Pertemuan juga akan membahas gangguan Iran dalam urusan internal negara-negara Arab.
Sekretaris Jenderal GCC Abdullatif Al-Zayani mengatakan bahwa GCC akan mengadakan pertemuan luar biasa dari menteri luar negeri di Riyadh pada hari Sabtu di bawah pimpinan Menteri Luar Negeri Adel Al-Jubeir dan akan mengatasi masalah pada serangan terhadap misi diplomatik Arab di Iran.
Liga Arab dan GCC telah mengutuk serangan kekerasan oleh Iran, menggambarkannya sebagai pelanggaran terang-terangan konvensi internasional.
(199)
KUWAIT – Proyek kereta api yang menghubungkan antar negara anggota Teluk, Gulf Cooperation Council (GCC) akan selesai dan beroperasi pada 2018, Kuwait Times melaporkan Rabu (12/8), mengutip pernyataan Sekretariat Jenderal GCC.
Proyek dengan total anggaran lebih dari 15,4 Milyar USD akan memiliki total panjang 2.117 km dan menghubungkan Kuwait City dan melewati semuanegara GCC hingga ke Muscat, Oman.
Jalur Rel juga mencakup jembatan lintas laut antara Bahrain dan Arab Saudi. Dikatakan kecepatan kereta penumpang akan mencapai 220 km / jam, sementara kereta kargo berkisat antara 80-120 220 km / jam, dengan menggunakan diesel untuk menghasilkan tenaga.
Setiap negara GCC akan bertanggung jawab untuk membangun dan membiayai pembangunan link rel dalam wilayahnya.
Rencana jaringan kereta api merupakan bagian dari upaya yang lebih besar untuk meningkatkan proyek-proyek infrastruktur di seluruh negra Teluk (GCC) yang diperkirakan akan melebihi angka 86 Milyar USD pada tahun 2014, meningkat 77,8 persen dibanding tahun 2013.
Secara kolektif, sektor perkeretaapian GCC akan menghabiskan 200 miliar USD dengan total enam negara anggota; Arab Saudi, Bahrain, UEA, Kuwait, Oman, dan Qatar yang bertujuan untuk melengkapi jaringan terintegrasi di Teluk pada tahun 2018.
Globe Inn Services (GES) menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Etihad Rail akhir tahun lalu, pengembang dan operator jaringan kereta api nasional UEA.
Setelah selesai, jaringan rel Etihad akan memperpanjang jalur di seluruh UEA, menghubungkan Emirates untuk Kerajaan Arab Saudi dan Oman.
Proyek ini akan menjadi bagian yang lebih besar dari jaringan kereta api GCC, yang akan menghubungkan negara dengan Kerajaan Arab Saudi melalui Ghuwaifat dari barat dan dengan Kesultanan Oman melalui Al Ain dari timur.
(234)
Seorang warga asing yang memiliki 500.000 Dinar Kuwait (sekitar 22 Milyar Rupiah) di rekening banknya telah ditangkap oleh Polisi Kuwait karena berprofesi sebagai pengemis. Pengemis itu beroperasi di dekat sebuah masjid di ibukota Kuwait .
Dilansir dari Gulf News (13/7), petugas patroli melihat seorang pria berdiri di dekat sebuah masjid dan mengemis. Ia mengatakan pada jamaah bahwa dirinya sangat membutuhkan uang tunai dan bahwa ia tidak punya rumah.
Pengemis itu langsung ditangkap karena melanggar hukum dan dibawa ke kantor polisi Al Ahmadi dimana penyelidikan menemukan bahwa ia memiliki rekening di bank lokal senilai lebih dari 500.000 Dinar Kuwait.
Sementara seorang juru bicara untuk kementerian urusan sosial di Arab Saudi mengatakan bahwa sekitar 85 persen dari semua pengemis adalah orang asing, sementara yang lain adalah warga Saudi.
Pada tahun 2012, polisi di Kuwait City menangkap seorang WNA yang menyamar sebagai wanita untuk mengemis.
Kuwait, sebagimana sesama anggota Gulf Cooperation Council (GCC) – Bahrain, Oman, Qatar, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab – tidak mengizinkan praktek mengemis dan telah menyatakan tidak mentoleransi terhadap tindakan mengemis terutama selama Bulan Suci Ramadhan saat orang cenderung untuk beramal.
Pada bulan April lalu, Kuwait telah mendeportasi 22 pengemis termasuk yang berasal dari Asia.
Mengemis telah berubah menjadi kegiatan yang menguntungkan bagi beberapa orang asing di Teluk, beberapa laporan media mengatakan.
(313)
oleh: Muhammad Zulifan
(Peneliti, Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam-UI)
ghfgh
Di bawah bendera operasi Decisive Storm/عَاصِفَةُ الْحَزْم (badai penghancur), Arab Saudi beserta koalisi 10 negara Arab menabuh genderang perang untuk milisi Syiah al-Hautsi Yaman. Kamis 26/3 lalu Arab Saudi mengerahkan 100 pesawat tempur beserta 150 ribu tentara dengan target basis-basis persenjataan al-Hautsi. Koalisi tersebut melibatkan aliansi negara-negara Arab dalam tajuk Dewan Kerjasama Teluk atau Gulf Cooperation Council (GCC), dan beberapa negara luar Teluk.
Sementara dari negeri Paman Sam, Duta Besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat, Adel al-Jubeir berpidato bahwa serangan tersebut merupakan bagian dari operasi koalisi regional untuk menyelamatkan pemerintah Yaman, mendukung pemerintahan yang sah dan mencegah gerakan radikal al-Hautsi ( الحَوْثِيُّوْن) mengambil alih Negara. Al-Jubeir menambahkan, Amerika Serikat telah mendapat pemberitahuan tentang serangan tersebut (Aljazeera.com)
Nampaknya, perang ini bakal memakan waktu yang tidak sebentar mengingat Raja Salman bin Abdul Aziz pada sambutan KTT Liga Arab 28 Maret di Syarm Syeikh yang lalu menyatakan bahwa operasi militer di Yaman akan terus berlanjut. Yang jelas, korban sipil berjatuhan akibat serangan yang salah sasaran. Memasuki hari kelima (30/3/2015), BBC melaporkan serangan udara Saudi terhadap kamp warga sipil Al-Mazrak telah menewaskan 40 orang dan mencederai sekitar 200 orang.
Yaman memiliki sejarah peradaban yang panjang. Ribuan tahun lalu di wilayah ini berdiri kerajaan Saba yang teramat masyhur (1300 SM). Kisahnya diabadikan dalam Al-Quran dalam Surat Saba’, dimana di dalamnya dikisahkan Nabi Sulaiman a.s. yang berdakwah pada Ratu Bilqis sang penguasa Kerajaan Saba’ zaman itu.
Secara sederhana, demografi Jazirah Arab dahulu dibagi menjadi dua bagian; bagian Utara dan bagian Selatan. Arab bagian Selatan lebih maju karena interaksi mereka dengan dunia internasional melalui pelabuhan. Sementara orang-orang Arab Utara terbiasa dengan budaya padang pasir, lebih tertinggal secara peradaban karena kurangnya kontak dengan dunia luar. Maka wajar jika jika sebelum era modern, wilayah Yaman berperadaban lebih tinggi dari wilayah utara (Saudi). Hingga kini di wilayah Yaman masih terdapat situs-situs sejarah sisa kejayaan negeri; kerajaan Saba, bendungan Ma’rib, dst.
Nama Hadramaut yang berada di wilayah Selatan Yaman amat masyhur bagi umat Islam Nusantara. Dari wilayah ini dakwah Islam tersebar hingga Indonesia. Orang-orang keturunan Arab di Indonesia pun sebagian besarnya berasal dari Yaman, khususnya mereka para habaib.
Yaman terletak di sudut barat daya semenanjung Arab yang berbatasan dengan Saudi Arabia dan Oman. Laut Merah di bagian barat dan teluk Aden di selatan memisahkan Yaman dengan Tanduk Afrika. Bab el Mandeb, selat dengan lebar 18 mil yang menghubungkan dua lautan ini, merupakan jalur pelayaran minyak tersibuk di dunia.
Yaman yang berada di sepanajang jalur laut Eropa dan Asia memiliki peran penting dalam jalur perekonomian dunia. Komoditas minyak yang akan menuju kawasan Mediterania melalui Terusan Suez akan menjadikan wilayah Yaman sebagai jalur pelayaran. Stasiun TV Aljazeera pada 28 Maret 2015 melaporkan, Saat ini, terdapat empat kekuatan asing yang ada di perairan Bab el Mandab Yaman adalah : AS, Perancis, dan Israel sama-sama berkoordinasi dengan negara Djibouti dan Ethiopia. Sedang terkhir Syiah al-Hautsi baru membuka kantor baru-baru ini daerah pantai timur untuk mengawasi Bab el mandab.
Sebelum Reunifikasi tahun 1990, Yaman terbagi menjadi du abagian; Yaman Utara dan Yaman Selatan. Pada 1918 Yaman Utara lepas dari Turki Utsmani dan berdiri Kerajaan Yaman. Kerajaan Yaman dalam perjalanannya dikudeta militer pada tahun 1962, sekaligus mengakhiri era Kerajaan Yaman & lahir Republik Arab Yaman. Sedangkan, Yaman Selatan merdeka dari jajahan Inggris pada tahun 1967, dan mendirikan negara Republik Demokratik Rakyat Yaman. Negara Yaman selatan adalah negara Arab yang terpangaruh paham Sosialis. Seiring jatuhnya Soviet, Yaman Selatan akhirnya sepakat untuk reunifikasi secara damai dengan Yaman Utara pada 1990. Adalah Ali Abdullah Saleh yang menjadi ketua dewan Presiden Yaman, dan selanjutnya ia menjadi Presiden Yaman. (yemen.gov.ye)
Pada tahun 1994, muncul pemberontakan di Selatan dari pengikut partai sosialis. Konflik ini dipicu keinginan untuk membentuk kembali negara Yaman Selatan. Di tahun yang sama, di wilayah Utara, tepatnya Provinsi Sa’adah yang berbatasan langsung dengan Arab Saudi terjadi pemberontakan. Pemberontakan ini dipimpin oleh kelompok Al-Hautsi. Hingga 2004, Syiah Hautsi mulai melakukan perlawanan total. Akhirnya pada September 2014 mereka berhasil menguasai Ibu Kota Yaman, San’a.
Nama Al-Hautsi diambil dari nama pemimpin mereka Hussein Badreddin Al-Hautsi yang pada tahun 2004 tewas oleh tentara Yaman. Nama lain gerakan ini adalah Ansarallah yang berarti “penolong Allah” dalam bahasa Arab.
Arab Saudi sudah barang tentu khawatir pemberontakan itu merembet ke wilayahnya. Atas ideologi Syiah Zaidiyah yang dianut Al-Hautsi, Pemerintah Arab Saudi menuding ada peran Iran di balik pemberontakan Al-Hautsi. Arab Saudi tak segan untuk menyuntikkan dana ke Yaman setiap tahun 2 Milyar USD demi menjamin keamanan wilayah perbatasan.
Sementara itu, AS diduga kuat terlibat membantu pemerintah Yaman dalam memerangi al-Hautsi. Indikasinya banyak pesawat tempur AS yang mengudara di Yaman. Menguatnya bantuan Amerika Serikat ke Yaman tersebut menarik perhatian Al-Qaeda.
Dengan demikian bertambahlah actor konflik di Yaman. Jihadis Al-Qaeda pun segera berdatangan dan menampakkan diri di Yaman Selatan. Hingga pada tahun 2009 mereka bersatu membentuk AQAP (Al-Qaedain the Arabian Peninsula).
Melihat pemberontakan yang mengepung kekuasaanya dari berbagai penjuru, Presiden Ali Abdullah Saleh meminta bantuan Arab Saudi terkait Syiah Hautsi di Utara. Sedangkan bantuan AS diharapkan bisa mengatasi Al-Qaeda di Selatan.
Namun moment Arab Spring keburu datang. Setelah revolusi di Tunisia dan Mesir, kini gelombang itu akhirnya menerpa Yaman. Semua meneriakkan slogan Ash-sha`b yurid isqat an-nizam (Rakyat ingin menumbangkan rezim ini). Yaumul Ghadab atau Hari Kemarahan dihadiri 1 juta massa dengan tuntutan lengsernya Ali Abdullah Saleh dari kursi Presiden yang ia duduki 30 tahun lebih.
Akhirnya pada 24 Februari 2012, Presiden Ali Abdullah Saleh resmi mundur dari jabatan Presiden Yaman. Posisinya digantikan oleh Wakil Presiden Abd Rabbo Mansour Hadi.
Keadaan Yaman makin memanas dengan memuncaknya konflik Sektarian Syiah yang diwakili oleh Kelompok Al-Hautsi dengan kaum Sunni yang berada di pihak Pemerintah Yaman. Pada September 2014, pertempuran antara pasukan Pemerintah Yaman dengan Kelompok Al-Houtsi berlangsung di tepi ibu kota Sanaa. Pasukan pemberontak menghujani Sanaa dengan serangan mortir dan berhasil menguasai ibu kota.
Hingga pada 23 Januari 2015, Abd Rabbo Mansour Hadi menyatakan mundur dari jabatan Presiden Yaman. Ia kemudian lari meminta bantuan ke Arab Saudi. Namun pada 24 Februari 2015, Presiden Hadi menarik pengunduran dirinya. Dia kemudian mengumumkan Aden sebagai ibu kota sementara Yaman. Satu bulan berselang, Saudi dan koalisinya menjawab permintaannya tersebut (BBC, 26/3/2015)
Sampai Saat ini, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Qatar, dan Kuwait serta 3 negara non-Teluk; Jordan, Mesir dan Sudan telah menyatakan komitmen keikutsertaan mereka atas serangan ke Syiah Hautsi. Posisi mereka didukung oleh Amerika, Inggris, Prancis, Turki, Maroko dan Belgia. Sementara Iran besera sekutunya Russia dan China berada psa posisi berseberangan.
AS sebagai sekutu Saudi di kawasan sudah barang tentu mendukung aksi atas Yaman. Gedung Putih dalam keterangannya menegaskan bahwa AS selalu berkomunikasi intens dengan Presiden Yaman dan sahabat-sahabat Washington di kawasan. Dan bahwa Obama sudah menyetujui bantuan logistik dan bantuan intelijen strategis akan diberikan dalam operasi militer yang dipimpin Saudi atas Yaman. Bahkan Senator dari partai Republik Jhon Mc Cain dan Lindsay Graham menyatakan dukungan mereka atas operasi Saudi ini. (www.nytimes.com)
PBB sendiri tak jauh beda sikapnya dengan AS. Dikutip dari laman Arabic.rt.com, Sekjend PBB Ban Ki Moon mengajak dunia internasional berpartisipasi dalam operasi militer terhadap milisi Houty demi menjaga keamanan penduduk sipil dan menghormati hukum kemanusian internasional, katanya.
Suara penentangan datang tentu saja dari Iran sebagai sekutu Syiah Haoutsi. Iran diyakini sebagai salah satu pihak yang memainkan peranan dalam Proxy-War di Yaman ini. Kemenlu Iran mengutuk serangan militer ke Yaman yang mereka ungkapkan sebagai langkah yang berbahaya.
“The Saudi-led airstrikes should stop immediately and it is against Yemen’s souvereignty. These operations will only lead to bloodshed and we will spare no efforts to contain the crisis in Yemen.” Mohammad Javad Zarif, Menteri Luar Negeri Iran. (article.wn.com )
Lebih lanjut Ketua Lajnah Keamanan Nasional dan Politik Luar Negeri di Majlis Syura (MPR) Iran: Alauddin Brujardi mengatakan, “serangan saudi atas yaman akan membuat urusan panjang dan membahayakan negara saudi sendiri“. Adapun situs berita resmi nasional Iran mengatakan bahwa serangan Saudi ke atas Yaman dibantu oleh Amerika Serikat.
Kemenlu China dalam tanggapan pertama mereka sebagai anggota tetap DK di PBB mengatakan bahwa mereka cemas terkait perkembangan yang semakin memburuk di Yaman. Jubir kemenlu China: Hua Chun Ying dalam konpers mengatakan bahwa China meminta semua pihak untuk tetap disiplin dengan keputusan DK PBB terkait masalah Yaman. Dan menyelesaikan konflik melalui jalur perundingan.
Partai Tajammu’ Al-Islah Yaman yang didirikan tahun 1993 disebut sebagai representasi kekuatan Ikhwanul Muslimin (IM) di Yaman. Saat ini, sebagai partai terbesar kedua, Al-Ishlah cukup memegang peranan penting di Yamann. Waktu arab spring 2011 lalu, partai Ihslah berperang atas tumbangnya rezim diktator Ali Shaleh yang tak kunjung mensejahterakan rakyat. Bahkan salah satu kadernya Tawakkul Karman mendapat hadiah Nobel perdamiaan atas pejuangannya menuntut kebebasan Pers.
Ada hal unik terkait relasi ikhwan dan al-Hautsi. Peran al-Hautsi di Yaman bukanlah kebetulan. Seperti disebut laman Huffinggtonpos.com meroketnya al-Hautsi direncanakan sendiri oleh Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh dan Uni Emirat Arab untuk menghantam kekutan Ikhwan di Yaman yakni Partai Ishlah. Putra Saleh, Duta Besar Yaman untuk UAE, sempat bertemu delegasi Iran di Roma. Bahkan kepala intelijen Saudi Pangeran Bandar bertemu anggota terkemuka delegasi Hautsi di London.
Alasan Saudi menggunakan Hautsi untuk menghancurkan target mereka Partai Al-Ishlah tersebut sejalan dengan kebijakan luar negeri Raja Abdullah selepas tahun 2011. Kebijakan itu menggariskan langkah-langkah untuk menghentikan musim semi Arab di jalurnya seperti terjadi di Tunisia dan Mesir dan menghancurkan semua kekuatan yang menjadi oposisi yang efektif hingga mengancam posisi negara-negara Teluk.
Di kemudian hari ternyata rencana itu menjadi bumerang ketika Partai Al-Ishlah menolak untuk secara frontal melawan al-Houtsi. Akibatnya, Al-Hautsi menguasai lebih dari yang Saudi dan UEA harapkan. Al-Hautsi justru menguasai ibukota, sementara Presiden Ali Abdullah Saleh—yang diharapkan dapat menjadi kaki tangan Saudi—justru terpental dari Jabatannya.
Seminggu setelah wafatnya Raja Abdullah, Pangeran Bandar dipecat dari jabatannya oleh Raja Salman terkait bersih-bersih loyalis Raja Abdullah. Atas sikap Raja Salman tersebut, tak heran jika banyak pengamat mengatakan Raja Salman lebih soft ke IM.
Adapun sikap ikhwan, pada intinya mereka ingin menyatukan semua faksi tanpa adanya perang. Partai Tajammu’ Al Ishlah menyayangkan sikap pihak yang menggunakan kekerasan sebagai jalan keluar atas krisis yang terjadi di Yaman. Partai Ishlah juga mengajak kepada semua pihak untuk menghentikan perang dan kembali ke meja perundingan. (alsahwa-yemen.net l eremnews.com).
Organisasi Ikhwan di Mesir pun angkat bicara. IM di Mesir mengajak semua pihak untuk kembali ke meja perundingan dan menghormati revolusi. Melalui bayan-nya, mereka mengatakan bahwa apa yang terjadi di Yaman diharapkan segera berakhir dan kembali ke meja perundingan yang positif dengan menyetujui inisiatif-inisiatif yang diajukan negara-negara teluk. Ikhwan menyerukan semua pihak untuk menghormati kehendak rakyat Yaman dan revolusi yang sudah melahirkan pemerintahan yang sah yang tidak pantas untuk dikudeta. Ikhwan menegaskan bahwa krisis yang terjadi di kawasan adalah akibat dari kudeta atas kehendak rakyat, akibat dari memerangi arab spring, mengabaikan kehendak rakyat dan memaksa kehendak sebagian pihak dengan menggunakan senjata. (rassd.com, 27 /3/2015).
Erdogan sempat mengecam Riyadh atas dukungan mereka pada pemerintahan kudeta Mesir di bawah As Sisi. Dalam sebuah kesempatan Erdoğan berkata kepada Menteri Luar Negeri Saudi Saud al-Faysal: “How could a country claiming to uphold Islam and Shari’a support the overthrow of an elected Islamist president who came to power after fair elections?” (www.al-monitor.com)
Hal itu mengindikasikan bahwa Turki adalah kekuatan baru di Kawasan. Karenanya Raja Salman berusaha mengambil peran kepemimpinan di Timur Tengah. Setidaknya hal ini dilakukan dalam membendung pengaruh Islam moderat di kawasan seperti yang tampak di Tunisia dengan perkembangan Nahda dan di Turki dengan perkembangan AK Parti.
Turki saat ini tumbuh menjadi aktor di Timur Tengah dengan membawa bendera Islam yang moderat dan demokratis. Hal ini sedikit banyak berbeda dengan Arab Saudi yang tetap pada status quo, dekat kepada pemikiran tradiosional, tetap dalam bentuk monarki, dan oposisi terhadap demokrasi.
Kedua kekuatan ini juga yang dalam persepsi sebagai sebuah negara mengambil peran penting terhadap ummat. Friksi kekuatan berpengaruh untuk mengambil posisi kepemimpinan di kawasan ini sebelumnya terlihat dalam masalah Mesir.
Sikap Mesir baru-baru ini yang mendukung Serangan ke Yaman, adalah indikasi Mesir dalam subordinasi Saudi dan GCC atas ketergantunganya pada kucuran dana bantuan. Dalam hal ini pengaruh yang diberikan Turki dan Saudi terhadap kawasan menegasikan pemain lama dalam konteks kawasan yaitu Mesir.
Sementara Iran dalam hubungannya dengan Arab Saudi, telah terlibat dalam serangkaian perang proxy untuk melemahkan satu sama lain di seluruh wilyah Timur Tengah. Di Lebanon, Iran didukung Hizbullah, sementara di Suriah, rezim Assad masih bertahan atas dukungan Iran. Di Irak, pemerintah yang berkuasa adalah Syiah yang sudah tentu didukung Iran. Padahal sebelum invasi AS tahun 2003, pemerintahan Irak dipegang Sunni.
Tak jauh beda di Bahrain dan Provinsi Timur Arab Saudi, Iran bekerja di belakang layar untuk melemahkan orang-orang pemerintah melalui komunitas Syiah. Arab Saudi mengambil langkah serius dengan mengirim pasukan militer ke Bahrain pada tahun 2011 untuk membantu memadamkan pemberontakan Syiah di sana.
Dan terakhir Yaman. Kepentingan strategis jangka panjang Iran di Yaman terletak di ujung barat daya semenanjung Teluk. Pemerintahan Yaman lemah, sementara perbatasan selatan Arab Saudi masih digunakan oleh mereka yang ingin diam-diam masuk ke wilayah Saudi. Dengan populasi yang 35 persen Syiah, Yaman bisa berfungsi sebagai support operasi dalam persaingan Iran melawan Arab Saudi. Untuk Iran, akses yang lebih mudah ke Yaman berarti akses yang lebih mudah ke Arab Saudi.
Banyak kalangan menggunakan isu Sunni-Syiah untuk menggalang dukungan serangan Saudi ke Yaman. Tak jarang mereka mempolarisasi pendapat yang berbeda sebagai musuh. With us or against us! Padahal, satu peristiwa politik tentulah disebabkan oleh lebih dari satu motif, bisa kekuasaan, ekonomi maupun ideologi. Dan perang senantiasa mempunyai alasan pembenaran. Sebagaimana teori Just War, perang adalah sesuatu yang salah, tetapi diperlukan (The Just War, Peter S. Temes). Banyak cara untuk menjustifikasi sebuah invasi, layaknya isu senjata pemusnah massal ataupun terrorisme yang digunakan AS dalam meluluhlantakkan Irak dan Afghanistan. Yang jelas, rakyat sipil senantiasa menjadi korban.
Syiah atau Sunni bukanlah factor utama serangan Saudi ke Yaman. Faktanya Saudi bisa melibas sesama Sunni (kasus Mesir), juga bisa bekerja sama dengan Syiah (kasus al-Hautsi). Meski hingga kini, Ikhwan masih di stempel terrorist oleh Pemerintah Saudi.
Enemy of my enemy is my friend. Begitulah logika perang. Jika sebelumnya ikhwan di Mesir diposisikan sebagai enemy, kali ini Saudi memposisikan Ikhwan di Yaman sebagai “friend” atas pertimbangan posisi partai Ishlah yang menjadi lawan Syiah Hautsi.
Sebenarnya, pergolakan yang sedang terjadi di Yaman saat ini bukan merupakan pertempuran antara sunni dengan syiah. Sebagaimana dikemukakan salah seorang ulama ternama asal Yaman Habib Ali Al-Jufri, pertempuran tersebut merupakan murni urusan politik dan perebutan pengaruh dan kekuasaan. Menurutnya, Ahlu sunnah Syafi’iyah dan Zaidiyah di Yaman selama 1000 tahun dapat hidup berdampingan dan tidak pernah terjadi peperangan. Mereka berinteraksi bersama secara rukun dan damai.
Ia menambahkan bahwa kedua kelompok yang sedang bertikai sama-sama tidak benar dan tidak layak untuk mendapatkan dukungan politik. Menurutnya, sikap mereka yang menumpahkan darah sesama muslim dengan mengatasnamakan agama adalah tidak bertanggungjawab. Hadis pun menegaskan bahwa yang membunuh dan yang terbunuh sama-sama masuk neraka.
Sebagian kalangan berharap lebih bahwa koalisi ini akan melanjutkan kerjasamanya menyerang Israel. Sebuah harapan yang semu karena penyerangan ke Yaman juga atas support senjata AS. AS adalah Israel besar, sedang Israeal adalah amerika kecil. Tercatat dalam kurun waktu 1972 – 2006, Amerika Serikat telah memveto 66 resolusi DK PBB yang menjatuhkan sanksi ke Israel. Dalam politik AS sendiri, dikenal bahwa seorang presiden AS harus mendapat restu dari AIPAC (American Israel Public Affairs Committee), lobby Yahudi di AS.
Serangan Saudi dan koalisi atas Yaman melengkapi sejarah panjang konflik di Timur Tengah. Kini, seluruh wilayah Timur-Tengah membara. Irak dan Suriah yang dahulu sempat menjadi Pusat Peradaban Islam kini seolah telah mundur 100 tahun ke belakang. Entah kapan dan bagaimana mereka akan bangkit kembali menata peradaban yang telah hancur lebur.
Sementara di Indonesia pendukung Saudi dan agen Iran saling perang opini dan pemikiran. Kelompok-kelompok pendukung Saudi di Indonesia senantiasa akan berkampanye anti Syiah, sedang kelompok-kelompok Syiah lokal dibiayai Iran akan memojokkan kelompok Salafi sebagai anti demokrasi dan takfiri.
Yang jelas, kita berharap bahwa operasi Badai Penghancur (Decisive Storm) yang segera akan diikuti campur tangan Iran cs, tidak akan menjadi badai yang benar-benar akan menghancurkan Yaman menjadi Suriah kedua. Semoga!
(2168)