Oleh: Ust. Ahmad Zamroni, SS., M.Pd., MA.
(Kandidat Doktor, Universitas Islam Negeri Malang )
j
Hari Jumat menjadi Hari Raya bagi orang Islam setiap minggu ditandai kewajiban melaksanakan Sholat Jumat bagi orang Islam yang baligh, berakal, merdeka, laki-laki, sehat dan bertempat tinggal (istithan). Dalam literatur fikih, ternyata sholat jumat bisa menjadi sesuatu yang rukhsoh; mendapat keringanan menjadi tidak wajib pada kondisi tertentu. Apakah kondisi yang bisa menyebabkan sholat Jumat menjadi rukhsoh?
Adalah Hari Raya Idul Fitri, jika bersamaan dengan hari Jumat maka diperbolehkan tidak melaksanakan sholat Jumat berdasar atsar dari Sahabat Usman RA. Bahwasannya beliau berkata dalam khutbahnya:
عن عثمان رضي الله عنه انه قال في خطبته ” ايها الناس قد اجتمع عيدان في يومكم فمن أراد من اهل العالية ان يصلي معنا الجمعة فليصل ومن اراد ان ينصرف فلينصرف “
“Wahai manusia, telah berkumpul dua hari raya di hari kalian, barangsiapa penduduk kampung yang mau melaksanakannya bersama kita, maka sholatlah bersama kita! Dan barangsiapa yang mau meninggalkannya, maka silahkan!”
Khutbah ini diketahui juga oleh Sahabat-sahabat lain, dan tidak ada yang mengingkarinya. Karena mereka penduduk kampung, jika menunggu sholat Jumat mereka tidak sempat bersiap-siap hari raya, jika mereka keluar untuk sholat Jumat terjadi masyaqqoh (kesulitan).
Atsar dari Sahabat Utsman RA di atas diriwayatkan Bukhori dalam Kitab Shahih Bukhori, Penduduk kampung yang dimaksudnya di dalamnya adalah penduduk desa di sekitar kota –yang terdapat masjid Jami’—yang adzan jumat dari kota tersebut sampai kepadanya, sehingga wajib bagi mereka untuk melaksanakan sholat Jumat.
Imam Syafi’i dan kalangannya berpendapat bagi penduduk kota –yang dekat masjid Jami’—, sholat Jumat tetap diwajibkan bagi mereka karena panggilan sholat Jumat (adzan) terdengar dekat mereka. Adapun penduduk kampung ada dua pendapat; pertama, tetap berkewajiban sholat Jumat dan kedua, boleh meninggalnya. Qoul Qadim imam Syafi’i dalam kitab al-Umm menyatakan gugur kewajiban sholat Jumatnya.
Di kalangan para Sahabat, para Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in, di antaranya Umar bin Abdul Aziz dan Jumhur Ulama pada zamannya juga menguatkannya, Atha’ bin Rabah juga berpendapat jika mereka sholat Ied maka tidak ada kewajiban sholat Jum’at dan jama’ah dhuhur baik bagi penduduk kota maupun penduduk kampung. Ibnu Mundzir RA, Ibnu Zubair RA, diriwayatkan juga dari Ali bin Abi Thalib RA juga berpendapat sama.
Kalangan madzhab berpendapat ada juga yang menguatkannya, Imam Ahmad berpendapat kewajiban sholat Jum’at gugur bagi penduduk kota maupun kampung, tetapi wajib jama’ah dzuhur. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat kewajiban sholat Jum’at bagi penduduk kota dan kampung tidak gugur.
Hujjah kalangan yang berpendapat bahwa gugur kewajiban sholat Jum’at adalah hadits yang diriwayatkannya:
عن زيد بن ارقم: قال ” شهدت مع النبي صلى الله عليه وسلم عيدين اجتمعا فصلي العيد ثم رخص في الجمعة وقال من شاء ان يصلى فليصل ” رواه أبو داود والنسائي وابن ماجة باسناد جيد ولم يضعفه أبو داود
Diriwayatkan Zaid bin Arqam, beliau berkata: “saya menyaksikan bersama Nabi SAW dua hari raya berkumpul –Idul Fitri di hari Jumat—, Nabi melakukan sholat Id kemudian memberi keringanan sholat Jum’atnya, beliau bersabda: “Siapa yang mau melakukan sholat Jum’at silahkan sholat”.
Terdapat juga hadits dari Abu Hurairah dengan maksud yang sama yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ibnu Majah.
Bagaimana Kita Bersikap?
Kita harus memahami bahwa gugurnya kewajiban sholat Jum’at dalam teks-teks tersebut di atas merupakan rukhsoh (keringanan). Rukhsoh ini untuk meringankan sesuatu yang memberatkan. Jadi kembali kepada sabda Nabi SAW: “Siapa yang mau melakukan sholat Jum’at dipersilahkan sholat”.
Adapun yang merasa berkeberatan dua kali ke masjid dikarenakan jauh jarak masjidnya atau ada kepentingan lain terkait hari raya maka dipersilahkan menggunakan rukhsoh tersebut. Namun bagaimanapun, melaksanakan sholat Ied dan Sholat Jum’at lebih utama!
Waallahu A’lam…

Rujukan:
– Kitab al-Majmu’, J.4 h.491-492
– Kitab Raudlatut Thalibin wa Umdatul Mufthin, J.1 h.173.
– Kitab Fathul Qarib Mujib, h 41
(530)