Film Sang Pencerah (www.dream.co.id)
Oleh: K. H. Ahmad Zamroni, SS., M.Pd., MA.
(Kandidat Doktor, Universitas Islam Negeri Malang )
“yang berhak melakukannya adalah Pemerintah, Hakim, Imam atau Majlis Agama setempat, karena
Akhir-akhir ini muslimin Indonesia banyak dikagetkan oleh fenomena para artis murtad atau pindah agama dari Islam ke agama lain semisal kristiani. Adalah Asmirandah mengawali kontorversi dan kehebohan artis pindah agama, karena ingin bersanding dengan Jonas Rivanno. Dari kesaksian Asmirandah dan Jonas Rivanno di sebuah gereja yang dilayani oleh Pendeta Gilbert Lumoindong, Asmirandah dan Vanno mengatakan sudah bersatu dan diberkati yang berarti Asmirandah telah berpindah keyakinan dari Islam menjadi Kristen.
Kehebohan dan kontroversi ini ternyata tidak berhenti sampai di sini, di tahun 2015 ini kita juga dihebohkan oleh Lukman Sardi yang memerankan Kyai Haji Ahmad Dahlan Sang Pendiri Muhammadiyah dalam Film Sang Pencerah, secara tiba-tiba muncul video kesaksiannya di GBI Ecclesia yang menyatakan “Saya lebih memilih menjadi percaya, sekitar 6 tahun lalu”. Artinya saat diluncurkan film Sang Pencerah di tahun 2010 yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo, Pemeran KH.Ahmad Dahlan tersebut sudah beragama kristiani!
Lalu bagaimana hukum artis murtad atau secara umum muslim/muslimah yang pindah agama tersebut dalam pandangan Fikih?
Riddah: Kemurtadan
Perpindahan seseorang dari agama Islam ke agama lain disebut murtad, Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz bin Zainuddin Al-Malibari pengarang kitab Fathul Mu’in mendefinisikan:
قطع مكلف إسلاما بكفر عزما أو قولا أو فعلا باعتقاد
“Memutuskannya seorang mukallaf agama Islam dengan pindah kafir dalam bentuk niat, perkataan maupun perbuatan”.
Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqhus Sunnah-nya mendefinisikan:
رجوع المسلم، العاقل، البالغ، عن الاسلام إلى الكفر باختياره دون إكراه من أحد
“Kembalinya seorang muslim berakal baligh dari Islam kepada kekafiran dengan pilihannya sendiri tanpa paksaan seseorang”.
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini Al Hishni Ad-Dimasyqi dalam kitab Kifayatul Akhyar–nya mendefinisikan:
الرجوع عن الإسلام إلى الكفر وقطع الإسلام ويحصل تارة بالقول وتارة بالفعل وتارة بالاعتقاد
“Kembalinya seseorang dari Islam kepada kekafiran dan memutus Islam, hal ini bisa terjadi melalui perkataan, perbuatan, ataupun keyakinan”.
Definisi lebih jelas dikemukakan oleh Wahbah Zuhaily dalam kitab Fikihnya yang komprehensif yaitu al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu:
الردة: ترك الدين الإسلامي والخروج عليه بعد اعتناقه
“Meninggalkan dan keluar dari agama Islam setelah memeluknya”.
Pelaku Riddah atau kemurtadan ini disebut murtad.
Hukum Murtad dalam al-Quran & as-Sunnah
Orang Murtad terdapat hukum di dunia dan hukum di akhirat. Hukum di akhirat Allah SWT telah menerangkan dalam al-Quran surat al-Baqarah 217 :
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”
Dalam surat Ali Imron ayat 90 juga dinyatakan:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا لَنْ تُقْبَلَ تَوْبَتُهُمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الضَّالُّونَ
“Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka itulah orang-orang yang sesat”
Sedangkan hukum di dunia, Nabi Muhammad SAW telah menerangkannya dalam hadits Shahih Bukhori dan Muslim:
قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ »
“ Nabi SAW bersabda: Barangsiapa mengganti agamanya –dari Islam ke kafir—maka bunuhlah”
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِ وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ »
“Rasulullah SAW bersabda: Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwasannya tiada Tuhan selain Allah dan Aku Rasulullah, kecuali tiga sebab: perempuan pezina, pembunuh, dan orang yang meninggalkan agamanya keluar dari jamah (golongan Islam)”
Dapat disimpulkan bahwa al-Quran dan Hadits sangat mengecam kemurtadan dengan memberi dua hukuman sekaligus; 1) di akhirat penghuni neraka dan taubatnya tidak diterima karena amalnya di dunia sia-sia, 2) di dunia harus dibunuh & diperangi.
Hukuman di dunia ini: dibunuh ataupun diperangi, yang berhak melakukannya adalah Pemerintah, Hakim, Imam atau Majlis Agama setempat, karena hukuman ini adalah hak Allah bukan hak individu. Sebelum dilakukan hukuman tersebut, pelaku murtad wajib diminta bertaubat dalam jangka tiga hari ataupun tiga kali, jika bertaubat maka tidak dibunuh, jika tidak mau bertaubat maka dibunuh. Hal ini berdasarkan hadits:
عن عائشة رضي الله عنها [ أن امرأة ارتدت يوم أحد فأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم أن تستتاب فإن تابت وإلا قتلت
“Dari Aisyah Ra, bahwasannya ada seorang perempuan murtad pada hari uhud, maka Rasulullah SAW memerintahkan untuk memintanya bertaubat, jika tidak bertaubat maka dibunuh”
Lalu mengapa hukum bagi kaum murtad ini begitu tegas harus dibunuh padahal tidak ada paksaan dalam beragama? Berikut istinbath ulama’ madzhab terkait hal ini.
Murtad dalam Fikih Islam
Kalangan Hanabilah seperti imam Madzhabnya Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ Fatawanya memandang bahwa murtad lebih buruk dari kafir asli, beliau berkata:
وَالْمُرْتَدُّ شَرٌّ مِنْ الْكَافِرِ الْأَصْلِيِّ مِنْ وُجُوهٍ كَثِيرَةٍ وَإِذَا كَانَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ قَاتَلَ الْمُرْتَدِّينَ بِمَنْعِهِمْ الزَّكَاةَ : فَقِتَالُ هَؤُلَاءِ أَوْلَى اهـ .مجموع الفتاوى 2 / 193
“Murtad lebih buruk dari kafir asli dari bentuk-bentuknya yang banyak. Jikalau Abu Bakar RA. Memerangi kaum murtad yang mengingkari zakat, maka menurut hemat kami memerangi mereka lebih baik”.
Sedangkan Syekh Sholeh al-Faozan dalam kitab al-Mulakkhos al-Fiqhiy-nya menyatakan bahwa ulama madzhab berijma’ terhadap hukuman murtad di atas, selain itu harus diikuti dengan konsekuensi menceraikan istrinya –yang dinikahi secara Islam—dan melarang mereka bertasharruf harta sebelum dibunuh (larangan tasharruf harta ini dalam bentuk membelanjakannya ataupun berusaha dalam ekonomi). Berikut ini perkataan beliau:
أما حكمه في الدنيا ; فقد بينه الرسول صلى الله عليه وسلم بقوله . من بدل دينه فاقتلوه وأجمع العلماء على ذلك ، وما يتبع ذلك من عزل زوجته عنه ومنعه من التصرف في ماله قبل قتله.
Lebih lanjut Syekh Sholeh al-Faozan dalam kitab yang sama mengatakan alasan mengapa wajib dibunuh orang murtad ini:
والحكمة في وجوب قتل المرتد : أنه لما عرف الحق وتركه ; صار مفسدا في الأرض ، لا يصلح للبقاء ; لأنه عضو فاسد ، يضر المجتمع ، ويسيء إلى الدين .
“Hikmah diwajibkannya membunuh orang murtad bahwasannya ia telah mengetahui kebenaran lalu meninggalkannya, ia menjadi perusak (agama) di dunia, tidak layak tetap hidup, karena bagian perusak yang membahayakan masyarakat dan menjelek-jelekkan agama (Islam)”
Syekh Wahbah Zuhailiy dalam kitab al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu jilid 7 mengatakan:
كما أن عقوبة المرتد (وهي القتل ومصادرة ماله) تسقط أيضاً بالتوبة بأن يتبرأ عن الأديان كلها سوى الإسلام أو عما انتقل إليه من مذهب الكفر، لأن الغاية هي رجوعه إلى الإسلام، لذا استحب الحنفية استتابته وعرض الإسلام عليه قبل القتل، لاحتمال أن يسلم ، وأوجب جمهور الفقهاء حصول الاستتابة قبل القتل ثلاث مرات ، فإن تاب قبلت توبته، وإن لم يتب وجب عليه القتل.
“Sebagaimana hukuman orang murtad adalah dibunuh dan disita hartanya, hukuman ini gugur jikalau bertaubat dengan bebas dari agama-agama lain, kecuali memeluk Islam, atau pindah dari madzhab kafir. Karena Tujuan akhirnya adalah agar ia kembali Islam. Maka dari itu kalangan Hanafiyyah menganjurkan permintaan taubatnya dan pengakuan Islam sebelum dibunuh. Mungkin saja ia masuk Islam (lagi), dan mayoritas fuqaha’ mewajibkan permintaan taubatnya tiga kali, jika taubat diterima, jika tidak maka wajib dibunuh”
Kalangan Syafiiyyah menambahi dengan larangan mayat murtad ini untuk dimandikan, disholati, dan dikubur di pekuburan muslim.
Kesimpulan yang Meng-Indonesia
“Kalau kita membunuh murtad tersebut, maka kita akan dipenjara sebagai pembunuh, kalau kita mendesak pemerintah atau hakim untuk melakukan hukuman bunuh, jelas mereka mengelak karena hukum Indonesia bukan hukum Islam!”
Sudah jelas dari dalil-dalil di atas bahwa kemurtadan menyebabkan hukuman bunuh serta implikasi lainnya: menceraikan istri yang dinikahi secara Islam, larangan tasharruf harta dalam bentuk membelanjakannya / usahanya, serta penyitaan hartanya. Hukum Islam dalam bentuk dibunuh dan implikasi-implikasi tersebut jelas akan berbenturan dengan hukum positif Indonesia yang tidak menganut hukum Islam. Namun, sebagai seorang muslim wajib untuk mentaati hukum Islam tersebut sebisanya. Lalu bagaimanakah posisi kita? Jika dibiarkan kemurtadan ini tampil di media massa jelas akan merusak citra Islam seperti diterangkan di atas, tapi kalau ditindak jelas berbenturan dengan hukum positif Indonesia. Menghadapi hl ini, berlakulah kaidah fikih:
إذا تعارضت مفسدتان روعي أعظمهما ضرراً بارتكاب أخفهما
“Jika dua kerusakan bertemu, maka dihindari kerusakan yang berat dengan melakukan kerusakan yang paling ringan”
Dalam konteks Indonesia, Kalau kita membunuh murtad tersebut, maka kita akan dipenjara sebagai pembunuh, kalau kita mendesak pemerintah atau hakim untuk melakukan hukuman bunuh, jelas mereka mengelak karena hukum Indonesia bukan hukum Islam! Lalu kalau kita menuntut untuk dilakukan larangan tasharruf dan menyita hartanya, maka jawabannya akan sama! Lalu apa yang bisa dilakukan?
Hemat kami, ketika menerapkan hukum bunuh tidak mungkin, melakukan larangan tasharruf dan menyita hartanya tidak mungkin juga, kita harus melakukan hal-hal yang pasif dimulai dari diri kita untuk melakukan boikot terhadap apapun usahanya, kalau ia seorang pedagang maka dianjurkan jangan beli disitu atau kerjasama dengannya selama ada yang lain, kalau ia seorang artis maka jangan lihat filmnya. Hal ini dilakukan semata-mata sebagai bentuk “pembunuhan” dan “penyitaan harta” secara pasif dari diri kita teruntuk sang murtad.
Wallahu a’lamu bi as-Showab.
Malang, 26 Juni 2015

Referensi:
- https://www.youtube.com/watch?v=wQYfsZSRTW4,https://id.wikipedia.org/wiki/Asmirandah http://www.tribunnews.com/seleb/2014/01/28
- https://www.youtube.com/watch?v=e2u6BFl04B4
- https://id.wikipedia.org/wiki/Sang_Pencerah
- Zainuddin bin Abdul Aziz bin Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, h 127.
- Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Beirut: al-Risalah, Cet.3, 2009, Juz 2, h 405.
- Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini Al Hishni Ad-Dimasyqi, Kifayatul Akhyar, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, h 200.
- Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Damaskus: Darul Fikr, Jilid 7, h 493.
- Shahih Bukhori, nomor hadits 3017.
- Shahih Muslim, nomor hadits 4468.
- Sholeh al-Faozan, al-Mulakkhos al-Fiqhiy, Riyadh: Lajnah Daimah lil Ifta, 2009, h 570., Zainuddin bin Abdul Aziz bin Zainuddin Al-Malibari, op.cit., h 128., Taqiyuddin Al Hishni, op.cit., h 200., dan Wahbah Zuhaily, op.cit, h 493.
- Sholeh al-Faozan, op.cit, h 565., dan Zainuddin bin Abdul Aziz bin Zainuddin Al-Malibari, op.cit., h 128.
- Sholeh al-Faozan, al-Mulakkhos al-Fiqhiy, Riyadh: Lajnah Daimah lil Ifta, 2009, h 565.
- Taqiyuddin Al Hishni, op.cit., h 200, dan Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Ibni Qosim, Surabaya: al-Hidayah, h 259.
(2282)