Oleh: Muhammad Zulifan
(Peneliti, Pusat Kajian Timur Tengah-UI)
Diskursus penentuan awal
bulan senantiasa meramaikan hari-hari jelang bulan Ramadan. Meski agak
membosankan, diskusi akan tema
ini tetap diperlukan agar masyarakat makin mengetahui prinsip dasar perbedaan
teknik penentuan awal bulan dalam Islam sehingga diskusi yang berkembang
menjadi lebih elegan, tidak sekedar fanatic pada pendapat salah satu pihak.
Hisab dan Rukyat
Titik tolak penentuan awal bulan dalam Islam mengacu pada munculnya bulan sabit (hilal). Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW:
صُوْمُوْا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا
عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا
“Berpuasalah kalian apabila melihatnya (hilal awal Ramadhan) dan berhari
rayalah apabila kalian melihatnya (hilal awal Syawwal), jika kalian tidak
melihatnya, genapkanlah bulan Sya’ban 30 hari.” (HR. Al-Bukhari).
Dari hadits di atas, frase “melihat” inilah yang ditafsirkan berbeda oleh dua mainstream besar Ormas Islam di Indonesia; NU dan Muhammadiyah. NU berprinsip “melihat” yang dimaksud haruslah secara real tampak secara kasat mata. Maka muncullah metode rukyatul hilal (pengamatan visibilitas hilal secara langsung dengan kasat mata). Mereka berprinsip bahwa melihat bulan secara langsung adalah hal yang dipraktekkan oleh Rasululah SAW dan para Sahabat, hingga tradisi itu harus dilestarikan.
Muhammadiyah berprinsip bahwa kata
“melihat” tidak mesti dengan mata secara langsung. Melihat juga berarti
“melihat berdasar posisi geometris bulan”. Dalam Hadit lain disebutkan:
لا
تصوموا حتى تروا الهلال ، ولا تفطروا حتى تروه ، فإن غمى عليكم فاقدروا له.
و في رواية فاقدروا له ثلاثين
” Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan jangan berbuka
sampai melihatnya lagi, jika bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakan
bulan tersebut sampai tiga-puluh.” (HR Muslim)
Sesuai pendapat Ibnu Qutaibah lafadh “faqduru lahu” diartikan dengan ilmu hisab, yakni jika bulan tersebut tertutup dengan mendung, maka pergunakanlah ilmu hisab.
Dengan ini Muhammadiyah berpegang pada metode hisab wujudul hilal (perhitungan matematis berdasar posisi geometris benda langit). Bagi Muhammadiyah, ilmu pengetahuan dan teknologi sudah berkembang pesat, telah ditemukannya teknologi satelit dan teropong canggih layaknya Hubble yang bisa memetakan posisi bulan, bumi, matahari dan benda langit lainnya hingga dapat ditentukan system kalender berdasarkan perhitungan (hisab). Dan memang, karena berdasar system hisab tersebut, Muhammadiyah bisa menentukan awal Ramadhan dan hari Raya bahkan untuk 100 tahun ke depan.
Dalam prakteknya, tanggal 29 bulan Hijriyah dijadikan patokan dalam mengamati bulan. Perlu dikatahui bahwa dalam kalender Islam, usia bulan hanya ada dua kemungkinan; 29 atau 30. Rumusnya, bila saat tanggal 29 hilal belum terlihat, maka bulan berjalan digenapkan menjadi 30. Namun ketika sudah terlihat, maka otomaits malam itu sudah masuk bulan baru (tanggal 1).
Tanggal 29 juga dijadikan patokan saat terjadi ijtimak (konjungsi), yakni posisi ketika matahari, bumi, dan bulan dalam satu garis lurus pada posisi bulan 0 derajat. Sementara kemungkinan visibilitas hilal adalah ketika dalam posisi lebih dari 2 derajat. Di bawah posisi tersebut akan sulit terlihat oleh pengamatan mata langsung (rukyat).
Jika ketinggian hilal lebih dari 2 derajat, pelaksanaan rukyat kemungkinan besar akan mengkonfirmasi terlihatnya hilal. Saat itu, baik metode Hisab maupun Rukyat akan mempunyai kesimpulan yang sama; awal bulan baru telah masuk pada malam itu.
Namun ketika ketinggian hilal antara 0 sampai 2 derajat, kemungkinan besar hilal tidak dapat dilihat secara rukyat, namun secara metode hisab hilal sudah di atas cakrawala yakni melewati 0 derajat hingga layak ditetapkan sebagai bulan baru oleh Muhammadiyah.
Dalam sejarahnya, akan mustahil jika NU mendahului Muhammadiyah dalam penetapan awal Ramadhan. Karenanya sering Muhammadiyah mendahului ketetapan pemerintah. Mengapa? Karena bagi Muhammadiyah, jika hilal sudah melewati 0 derajat, maka sudah masuk bulan baru (meski belum kelihatan secara kasat mata/rukyat). Sedang bagi NU (sebagai pemangku Kemenag), meski bulan telah melewati 0 derajat (0-2), namun jika pengamatan (rukyat) tidak mengkonfirmasi terlihatnya bulan baru, maka malam itu belum masuk awal bulan (ramadhan).
Berdasar data pengamatan yang dirilis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), ketinggian Hilal di Indonesia saat matahari terbenam pada 5 Mei 2019 berkisar antara 4,52 derajat di Jayapura sampai dengan 5,54 derajat di Tua Pejat, Sumatera Barat. Maka kemungkinan besar dapat dipastikan hilal akan nampak hingga ditetapkan malam itu sudah masuk bulan Ramadhan. Tahun ini akan serempak baik NU-Pemerintah maupun Muhammadiyah dalam mengawali Puasa Ramadhan yakni hari Senin, 6 Mei 2019.
Perbedaan Antar Negara
Terkait perbedaan tempat terbit bulan ( mathla’) antar negara, ada dua prinsip penetapan awal bulan. Pertama, prinsip wihdatul mathla’ (rukyat internasional), di mana jika satu negara telah melihat hilal, negara lainnya wajib mengikuti. Misal jika di Makkah-Arab Saudi ada yang melihat bulan, maka seluruh umat Islam sedunia harus mengikutinya. Pendapat ini berdasar masa Rasulullah SAW, dimana tidak ada umat Islam di seluruh pelosok jazirah arab yang berselisih. Jika Rasulullah berpuasa, seluruh umat Islam berpuasa. Berdasar prinsip ini, keputusan kapan awal baru ditentukan oleh seorang amirul mukminin untuk umat Islam sedunia.
Kedua, prinsip ikhtilaful mathali’(rukyat lokal), yakni rukyat berdasar tempat terbit bulan masing-masing negara. Artinya setiap wilayah punya otoritas untuk menentukan awal bulan puasa dan hari raya, tidak harus mengacu pada Makkah-Saudi. Pendapat ini berdasar riwayat sahabat Kuraib yang ketika berada di Syam (Suriah) memulai berpuasa hari Jumat (mengikuti rukyat Khalifah Muawiyah), sedang saat pertengahan Ramadhan ia ke Madinah bertemu Shahabat Ibnu Abbas, di sana baru memulai puasa pada hari Sabtu. Sehingga antara Syam dan Madinah berbeda memulai puasa karena perbedaan mathla’.
Selama ini Indonesia dan negara-negara Islam di dunia memakai prinsip rukyat lokal. Masing-masing negara punya kewenangan menentukan kapan memulai awal puasa dan Hari Raya. Karenanya dimungkinkan adanya perbedaan dalam menentukan Awal bulan di Indonesia dengan negara lain.
Sampai Kapan Berbeda?
Di Negara-negara Arab pada umumnya, dimana kekuasaan berada mutlak di tangan Raja/Amir , semua persoalan agama diatur oleh negara. Dari lembaga ulama, bangunan masjid, petugas masjid, imam, jadwal khatib, kesemuanya dikelola dan digaji oleh negara. Karenanya kita tidak akan dapati kotak amal di masjid-masjid mereka. Tak terkecuali penentuan awal Ramadhan, negaralah yang berwenang menetapkan. Tidak boleh ada satupun masyarkat atau lembaga yang menyelisihi ketetapan pemerintah. Bagi yang menyelisihi keputusan pemerintah bisa dijatuhi sanksi hingga hukuman penjara. Prinsip tersebut sesuai kaidah “hukmul hakim yarfa’ul khilaf”; keputusan hakim/ pemerintah adalah untuk mengakhiri perselisihan.
Di Indonesia yang menganut sistem demokrasi, amat memungkinkan setiap elemen masyarakat ataupun ormas untuk berbeda dengan keputusan pemerintah. Wajar, mengingat bangunan masjid, imam, marbot, sarana kebersihan, Taman Pendidikan Quran, dst, kesemuanya dilakukan secara swadaya.
Yang jelas, perbedaan adalah keniscayaan dalam demokrasi, termasuk dalam hal penentuan awal Ramadhan. Tugas kita adalah memahamkan masyarakat atas perbedaan itu dan bagaimana menyikapinya secara bijak, hingga tercipta suasana hidup yang harmonis.
(34)