Bin Salman dan Masa Depan Kerajaan
Oleh: Muhammad Zulifan
(Peneliti Pusat Kajian Timur Tengah – UI, Alumnus King Saud University Riyadh-Arab Saudi)
Hanya berselang beberapa jam setelah mendapat mandat sebagai ketua “KPK” Arab Saudi (5/11), Putra mahkota Muhammad bin Salman (MBS) segera melakukan tindakan paling berani dalam sejarah keluarga kerajaan dengan langsung menangkap 11 pangeran dan empat menteri atas tuduhan korupsi. Bahkan 10 mantan mantan menteri tak luput dari jaring operasinya. Media setempat menggambarkan operasi ini sebagai perang melawan kerusakan (al-harb dhiddu al-fasad).
Salah satu pangeran yang ditangkap adalah pangeran Walid bin Thalal, bisnisman berpengaruh Timur Tengah yang terkenal tak kenal kompromi terhadap kepemimpinan Raja Salman. Banyak pihak menduga tindakan ini merupakan langkah sang Putra Mahkota menyingkirkan oposisi yang akan menjadi batu kerikil di periode kepemimpinanya kelak, sekaligus menunjukkan pada dunia bahwa ia layak memimpin Saudi. Penangkapan besar-besaran terhadap kelauarga kerajaan ini menandai dimulainya proses peralihan kekuasaan Arab Saudi ke generasi ketiga Raja Abdulaziz.
Baca juga: Sejarah Arab Saudi dan Kiprah Raja Salman
Sepak Terjang Bin Salman
Sejak awal, kemunculan MBS ke epicentrum kekuasaan memunculkan kontroversi bagi keluarga kerajaan. Diangkatnya MBS sebagai wakil putra Mahkota oleh Raja Salman adalah hal yang tidak lazim ketika sang Raja mengangkat putranya sendiri sebagai bakal gantinya kelak. Hal ini memunculkan dugaan akan ketidaksolidan suara di kalangan pangeran hingga Raja Salman perlu mengamankan ageda jangka pajangnya melalui keturunannya langsung. Dugaan ini di kemudian hari menemukan relevansinya ketika pada Juni silam Raja Salman tanpa alasan yang jelas mencopot putra mahkota waktu itu Muhammad bin Nayef yang merupakan keponakannya, dan menggantinya dengan putranya sendiri.

MBS menduduki jabatan sebagai menteri pertahanan termuda di dunia dalam usia cukup belia yakni 31 tahun. Berbeda dengan para pendahulunya yang menjabat saat usia senja di atas 70 tahun. Citranya sebagai seorang reformis muncul saat menjadi kepala Dewan Ekonomi Saudi dengan agenda reformasi bertajuk “Visi 2030”. Visi Saudi 2030 menetapkan goal untuk 15 tahun ke depan beserta agenda kebijakan yang dikenal sebagai Rencana Transformasi Nasional negara pasca minyak yang dijalankan melalui diversifikasi pendapatan, terasmuk privatisasi Aramco, perusahaan minyak negara. Di kemudian hari munculla ide menjadikan Saudi bak Dubai yang membuka pantai mereka untuk wisatawan Barat.
Di kemudian hari MBS dikenal agresif dan ambisius. Di Riyadh sendiri ia dijuluki “Mr. Everything”. Bahkan Surat kabar Jerman Die Zeit pernah menjulukinya sebagai seorang yang “serakah dan sombong” karena ia menempati beberapa posisi strategis kerajaan sekaligus.
Soal Iran sikapnya tak jauh beda dengan pendahulunya. Iran dianggap biang keladi kerusuhan di Timur Tengah dengan dukungannya pada diktator Suriah Bashar al-Assad di Suriah, memprsenjatai milisi Hautsi di Yaman serta provokasi warga Syiah di Dammam dan Bahrain.
Serangan koalisi Arab Saudi ke Yaman 2015 silam merupakan salah satu ambisinya sebagai menteri pertahanan Arab Saudi sekaligus sebagai efek samping perebutan dominasi dengan Muhamamd bin Nayef. Meski menargetkan Syiah Hautsi, laporan Human Rights Watch banyak menegaskan kejahatan perang yang dilakukan Saudi, termasuk serangan bom yang menyebabkan krisis kemanusian di Yaman. Sebagai balasannya, kini roket dari Yaman berjatuhan di Saudi. Salah satunya yang jatuh di kota Riaydh kemarin. Pada kirisis Qatar beberapa waktu lalu, peran MBS juga sangat signifikan. Dialah tokoh kunci yang memprovokasi negara Teluk untuk bersama memblokade Qatar meski akhirnya Saudi juga yang kini kewalahan.
Baca juga: Sejarah Arab Saudi dan Nasionalisasi ARAMCO
Islam Moderat Ala Saudi

Dalam sesi wawancara dengan Guardian baru-baru ini Muhammad Bin Salman mengeluarkan pernyataan kontroversialnya; “para pendahulu kami telah sia-sia menghabiskan 30 tahun menangani Islam radikal, kini saatnya menghabisinya.“
Dalam sesi itu ia juga menyebut Saudi baru akan menjadi Islam yang moderat dan modern. Di satu sisi, banyak kalangan menyambut positi sikap tersebut. Terbukti misalnya dari dicabutnya larangan mengemudi bagi kaum perempuan meski bertentangan dengan pendapat ulama senior Saudi pada mulanya. Namun di sisi lain, alih-alih menjadi momen awal dimulainya proses demokratisasi di Kerajaan, rumusan Islam moderat tersebut justru digunakan sebagai dalih untuk membungkam oposisi yang berlawanan dengan menangkapi mereka. Belum lagi isu pembukaan hubungan diplomatic dengan Israel yang sangat kontroversial. Isu tersebut makin mendekati kebenaran setelah Israel sendiri menyatakan bahwa MBS telah berkunjung ke Tel Aviv baru-baru ini.
Wacana Islam moderat Saudi tidak dapat dipisahkan dari peristiwa sebelumnya di bulan Mei yakni KTT negara Islam dan Amerika di Riyadh yang dihadiri Donald Trump. KTT tersebut menghasilkan rumusan untuk mencegah terorisme ala Amerika termasuk memusuhi Iran dan Qatar yang dianggap melindungi kelompok teroris. Jauh sebelumnya, Arab Saudi dan negara Teluk telah lama intens menghalau laju demokratisasi di kawasan melalui Arab Spring dengan mendukung dan mendanai rezim dictator.
Masa Depan Politik Kerajaan
Arab Saudi kini menderita banyak masalah akibat ambisi agresif MBS. Bila AS menderita kerugian besar karena perang Vietnam dan Soviet collaps karena Afghanistan, maka Saudi kini merana akibat perang Yaman dan agresifitas dalam konflik kawasan.
Anggaran Saudi tergerus untuk biaya perang, terjadi kebocoran anggaran hingga 14 persen, banyak yayasan sosial ditutup atas pesanan AS, hingga penangkapan akademisi, imam dan khatib di seluruh Kerajaan. Karenanya, Islam moderat yang diwacanakan MBS hanyalah sebuah jualan yang dianggap cocok dengan selera Barat dan hanya untuk kepentingan bisnis kerajaan Saudi.
Banyak pihak menyatakan kebijakan luar negeri MBS yang agresif memperparah konflik kawasan. Tentu agresivitas Bin Salman yang belia tersebut tidak disukai oleh banyak pangeran senior termasuk koalisi Pengeran Al-Walid bin Thalal yang terkenal kritis. Namun dinamika pergantian kekuasaan ini sedari awal telah jelas siapa pemenangnya mengingat loyalitas kaum ulama Saudi tidak pernah jauh dari mereka yang sedang berkuasa.
(296)