Jatuhnya Harga Minyak Sebagai Bentuk Perang Ekonomi
Harga minyak dunia mengalami penurunan sejak paruh akhir tahun 2014. Pada 16 Oktober 2014, harga minyak Brent jatuh di bawah $100 menjadi $82.60. Pada 12 Januari 2016, harga minyak Brent sudah berada di kisaran $30.
Dampaknya hingga saat ini
Negara yang bergantung pada ekspor minyak, serta perusahaan minyak merupakan pihak yang paling merasakan dampak jatuhnya harga minyak.
Sekitar 70% hasil ekspor Rusia berasal dari minyak dan gas. Situs bbc.com pada 19 Januari 2015 menyebutkan bahwa Rusia kehilangan sekitar $2 milyar potensi pendapatan setiap kejatuhan $1 harga minyak. Rusia pun masih harus menghadapi sanksi ekonomi terkait keterlibatannya dalam perang saudara di Ukraina.
Situs Wall Street Journal pada 11 Januari 2016 menyebutkan bahwa lebih dari 30 perusahaan kecil yang terkait dengan industri minyak di Amerika Serikat (AS) telah mengajukan perlindungan kebangkrutan kepada pengadilan.
Sementara perusahaan besar seperti Chevron, Royal Dutch Shell, dan BP, telah mengumumkan akan melakukan efisiensi, baik berupa pemotongan gaji maupun pemecatan.
Situs inilah.com pada 14 Januari 2016 bahkan mengeluarkan berita tentang rencana PT Chevron Pacifik Indonesia (CPI) yang akan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawannya.
Penyebab secara langsung
AS dan Kanada berhasil memperbarui teknologi pengolahan shale oil (minyak dalam bebatuan) yang membuat biaya produksi menjadi berkurang. Produksi minyak dalam negeri AS dan Kanada pun meningkat, sehingga mengurangi impor dari Arab Saudi, Nigeria, dan Aljazair.
Kehilangan pasar di AS tidak membuat Arab Saudi mengurangi produksi minyaknya. Saudi menurunkan harga minyaknya sehingga dapat menjualnya ke negara-negara Asia. Tetapi memasuki tahun 2015, ekonomi Tiongkok mulai mengalami pelemahan sehingga kebutuhan minyaknya berkurang.
Namun negara-negara OPEC seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab tetap tidak mau mengurangi produksi minyaknya. Para pejabat Saudi mengatakan bahwa mereka tidak mau mengurangi produksi yang dapat menaikkan harga minyak. Sebab hal tersebut dapat membuat Saudi kehilangan pangsa pasar yang akan menguntungkan pesaing mereka.
Perang Harga Minyak
Situs eia.gov mencatat tiga negara penghasil minyak terbesar di dunia pada 2014, yaitu AS (14021 ribu barel per hari), Arab Saudi (11624 ribu barel per hari), dan Rusia (10847 ribu barel per hari).
Ketiga negara tersebut belum mau mengurangi produksi minyaknya sehingga harga minyak tetap tidak merangkak naik. Saudi pada Desember 2015 bahkan telah mengurangi subsidi air, listrik, dan bahan bakar minyak akibat berkurangnya keuntungan dari rendahnya harga minyak.
Saudi menyatakan akan tetap bertahan dengan harga minyak rendah agar AS dan Kanada meninggalkan shale oil yang biaya produksinya lebih mahal daripada biaya produksi minyak biasa. Saudi juga mengatakan bahwa harga minyak rendah akan menyaingi penjualan minyak ISIS yang selama ini dijual dengan harga di bawah pasar.
Namun Saudi juga memiliki alasan lain terkait keengganannya menurunkan produksi minyak, yaitu memukul ekonomi Rusia dan Iran. Jatuhnya harga minyak pada 1986 turut berperan dalam runtuhnya Uni Soviet pada 1991. Harga minyak dunia pada 1980 berada di atas $35 (saat ini senilai $101) namun kemudian jatuh pada kisaran $27 sampai $10 (saat ini senilai $58 sampai $22) pada 1986.
Pada Maret 2014, Barack Obama mencoba meyakinkan raja Abdullah terkait rencana dicabutnya sanksi ekonomi terhadap Iran. Namun Saudi menentang hal tersebut karena Iran dapat memperoleh tambahan dana untuk misi perluasan pengaruhnya di Timur Tengah.
Habib Al Mulla dalam tulisannya di situs forbes.com memperkirakan bahwa Iran membutuhkan harga minyak pada kisaran $136 agar dapat mengambil manfaat maksimal dari pencabutan sanksi ekonomi. Namun jatuhnya harga minyak akan membuat Iran seolah tidak berbeda dengan saat masih mengalami sanksi ekonomi.
(597)