Bid’ah dan Kemunduran Turki Utsmani
Kekhalifahan Turki Utsmani (1299 – 1924 M) mengalami kemandekan setelah wafatnya Sulaiman al-Qanuni pada 1566. Sedangkan awal kemunduran Turki Utsmani adalah kekalahan pada Pertempuran Vienna 1683. Masa kemunduran tersebut ditandai dengan kepemimpinan yang lemah serta menurunnya inovasi (penemuan baru) dalam teknologi dan kemampuan militer. Dalam tata pemerintahan terpusat, kelemahan di pusat pemerintahan akan membawa dampak besar bagi wilayah-wilayah lainnya, antara lain merebaknya aparat pemerintah yang menyalahgunakan wewenang.
Hal ini kemudian berimbas pada pelemahan ekonomi Utsmani. Penyalahgunaan wewenang oleh aparat pemerintah menyebabkan ketidakpastian hukum sehingga menghambat dunia usaha. Sementara di sisi lain, negara-negara Eropa Barat berhasil mendorong Penjelajahan Samudra sehingga membuka jalur perdagangan baru. Militer negara-negara Eropa pun semakin mengungguli Utsmani sehingga Utsmani kerap mengalami kekalahan dalam pertempuran, dan menimbulkan beban biaya besar bagi keuangannya.
Kemunduran Militer Turki Utsmani
Sekitar abad ke-13 M, senjata api mulai digunakan di Tiongkok sebagai pengembangan dari penggunaan bubuk mesiu yang juga ditemukan di Tiongkok pada abad ke-9 M. Teknologi senjata api kemudian menjadi penentu keunggulan dalam peperangan. Pada masa tersebut, senjata api memiliki jangkauan yang pendek (seperti tombak api Dinasti Song), serta banyak berperan untuk mengejutkan dan menakut-nakuti lawan (seperti granat dan meriam tangan Mongol). Serangan bangsa Mongol telah memperkenalkan penggunaan senjata api di dunia Islam. Mengenai serangan bangsa Mongol, lihat kembali Perang melawan Bani Qanthura.
Sekitar abad ke-14 M, militer Utsmani sudah menggunakan senjata api. Utsmani telah memiliki pasukan meriam (artileri) sejak pemerintahan Bayezid I (bertahta 1389 – 1403 M). Di masa pemerintahan Muhammad al-Fatih (bertahta 1451 – 1481 M), Utsmani sudah mempunyai pasukan pejalan kaki (infanteri) yang bersenjatakan senapan. Meriam Orban adalah salah satu contoh keunggulan senjata api Utsmani yang digunakan saat menaklukkan Konstantinopel pada 1453. Kekuatan senjata api Utsmani turut memberi keunggulan bagi armada lautnya. Di masa kejayaannya, armada Utsmani sempat melakukan perjalanan hingga ke Aceh pada 1565.
Pada masa tersebut, senapan Utsmani umumnya adalah musket (senapan lontak). Musket memiliki tingkat ketepatan yang rendah, serta memakan waktu lama untuk mengisi peluru. Setiap sekali tembakan, musket harus diisi ulang dengan memasukkan bubuk mesiu dan peluru (bola timah) melalui lubang depan laras senapan. Sementara kapal Utsmani umumnya masih berupa galley. Galley adalah kapal dengan lambung panjang dan ramping, serta jarak antara permukaan air dengan geladak tidak terlalu tinggi. Galley umumnya menggunakan dayung dan juga dilengkapi dengan layar.

(en.wikipedia.org)
Memasuki abad ke-16 M, negara-negara Eropa mulai memimpin dalam inovasi teknologi militer. Selongsong peluru (berisi peluru dan bubuk mesiu) mulai digunakan di semenanjung Skandinavia dan Italia, sehingga pengisian peluru pada senapan menjadi lebih cepat. Kapal-kapal besar pun mulai dikembangkan, seperti kapal jenis Carrack di Genoa (abad ke-15 M), dan kapal jenis Galleon di Venesia (abad ke-16 M). Kapal-kapal tersebut cukup besar sehingga kokoh untuk berlayar di samudra, serta mampu membawa banyak perbekalan. Portugis dan Spanyol menggunakan kapal-kapal tersebut dalam Penjelajahan Samudra.
Sejak abad ke-17 M, kedudukan Utsmani sebagai kekuatan utama politik dunia mulai digantikan negara-negara Eropa, seperti Portugis dan Spanyol, serta kemudian dilanjutkan Perancis dan Inggris. Pada akhir abad ke-18 M, Utsmani pun mulai mengekor teknologi militer Eropa Barat. Sekitar 300 perwira Perancis dibayar untuk melatih dan memperbarui teknologi senjata serta armada laut Utsmani. Diantaranya adalah Claude-Alexandre de Bonneval, François Baron de Tott, serta André-Joseph Lafitte-Clavé.
Utsmani juga mengirimkan putra bangsawan dan perwira militernya untuk sekolah di negara-negara Eropa Barat. Para lulusan sekolah Eropa Barat tersebut kemudian mendorong dilakukannya gerakan Tanzimat (1839 – 1876 M). Tanzimat telah meminggirkan peran agama dalam pemerintahan. Undang-undang Utsmani diubah menjadi sekuler dengan mengacu pada kitab hukum Perancis, non-muslim dibolehkan menduduki jabatan penting pemerintahan, sistem perbankan Barat mulai dijalankan, mata uang kertas menggantikan mata uang logam, sistem gilda (serikat pengusaha sejenis) digantikan dengan sistem pabrik.
Namun usaha perbaikan dengan cara mengekor Barat malah membuat Utsmani semakin terpuruk. Pada abad ke-19 M, Utsmani dijuluki “sick man of Europe”. Utsmani tidak lagi dianggap sebagai ancaman. Utsmani bahkan ‘dilindungi’ agar menjadi penghambat Kerajaan Rusia. Kedudukan Rusia saat itu semakin menguat sehingga mengancam Inggris dan Perancis. Inggris dan Perancis juga banyak menanam modal (investasi) di Utsmani, seperti pembangunan rel kereta dan Terusan Suez. Inggris dan Perancis pun banyak membeli bahan mentah dari Utsmani (seperti kapas dan wol) yang kemudian diolah menjadi bahan jadi, dan dijual kembali ke Utsmani.
Inggris dan Perancis turut membantu Utsmani mengalahkan Rusia pada Perang Krimea (1853 – 1856 M). Perang tersebut membuat Utsmani untuk pertama kalinya mengambil utang luar negeri pada 1854. Utsmani kemudian menjadi terbiasa dalam mengambil utang luar negeri, baik untuk pembangunan (seperti rel kereta dan jalur telegram) maupun untuk membiayai gaya hidup pejabat pemerintahan. Utang luar negeri tersebut diperoleh dari perbankan Inggris, Perancis, dan beberapa perusahaan keuangan Eropa. Pajak pun dinaikkan agar dapat membayar utang.
Namun kenaikan pajak tersebut memicu pemberontakan di semenanjung Balkan. Rusia kemudian ikut campur sehingga pecah Perang Rusia-Turki (1877 – 78 M). Perang tersebut menyebabkan beberapa wilayah Utsmani melepaskan diri, seperti Rumania, Serbia, dan Montenegro. Menurunnya pendapatan pajak serta meningkatnya pengeluaran akibat peperangan membuat Utsmani kesulitan membayar utang. Utsmani lalu melakukan perundingan dengan pihak-pihak pemberi utang, dan menyepakati dibentuknya Ottoman Public Debt Administration (OPDA) pada 1881. OPDA dikendalikan pihak pemberi utang, serta berperan penting dalam menentukan kebijakan ekonomi Utsmani.
Mewabahnya Bid’ah di Turki Utsmani
Bid’ah menyebar di Turki Utsmani terutama melalui kelompok sufi. Sufi merupakan pilihan untuk hidup secara zuhud. Zuhud adalah meninggalkan semua yang tidak bermanfaat bagi akhirat, dan sering diterapkan dengan hidup secara sederhana. Bangsa Turki berasal dari suku nomaden Asia Tengah yang hidup sederhana dan efisien (hemat dan tepat guna) sehingga mereka tidak asing dengan pola hidup sufi. Mengenai sejarah bangsa Turki, lihat kembali Perang melawan Bangsa Turki. Orang Turki yang pertama membentuk kelompok sufi adalah Ahmad Yasawi (1093 – 1166 M). Kelompok sufi turut berperan dalam menyebarkan Islam di Asia Tengah.
Kelompok sufi yang berkembang di Utsmani antara lain adalah Bektashi, Maulawi, Khalwati, Naqshbandi, Qadiri, Rifa’i, dan Bayrami. Pemimpin Utsmani yang menjadi anggota kelompok sufi antara lain adalah Murad III (1546 – 1595 M) dan Salim III (1761 – 1808 M). Hal ini turut mendorong pejabat pemerintah serta masyarakat Utsmani untuk mendanai dan bergabung dalam kelompok sufi. Tekke (gedung perkumpulan sufi) dibangun di berbagai daerah. Utsmani pun menyerahkan pendidikan agama pasukan elite Janissary pada kelompok sufi Bektashi.
Namun sebagian kelompok sufi kemudian melakukan penyimpangan. Mereka memaknai pola hidup zuhud dengan bersikap pasif dalam metode keilmuan. Kaum sufi yang menyimpang, tidak mau bersusah payah mempelajari ilmu hadits untuk memahami Al Qur’an. Mereka mengatakan bahwa ilmu hadits dan pendapat fikih para ulama merupakan bentuk ilmu lahir, sedangkan yang lebih utama adalah ilmu batin. Kaum sufi yang menyimpang menamakan ilmu batin tersebut sebagai ilmu laduni. Kata laduni berarti di sisi, sehingga ilmu laduni dimaksudkan sebagai ilmu yang diperoleh tanpa melalui perantara manusia, melainkan langsung diterima dari sisi Allah Ta’ala melalui ilham dan mimpi.
Mukmin yang shalih memang dapat memperoleh ilham atau mimpi yang menuntun pada kebenaran. Namun ilham dan mimpi tersebut hanya boleh digunakan jika tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits. Sedangkan kaum sufi yang menyimpang telah menjadikan ilham/dugaan dan mimpi sebagai acuan kebenaran. Ayat Qur’an ditafsirkan melalui ilham, tanpa merujuk pada hadits atau pendapat ulama. Derajat hadits pun ditentukan dengan ilham, tanpa perlu meneliti sanadnya. Karena itulah mereka kerap berpegang pada hadits lemah dan palsu. Penggunaan ilham/dugaan serta hadits palsu kemudian menyebabkan mereka larut mengikuti tradisi orang kafir.
Kelompok sufi yang menyimpang tersebut antara lain adalah Bektashi. Bektashi menganut kepercayaan Wahdatul Wujud (manusia dapat bersatu dengan Tuhan). Kepercayaan tersebut bermula dari pemikiran Panteisme (semua adalah Tuhan) yang berasal dari pemikiran orang-orang kafir sebelum Islam, diantaranya aliran filsafat Stoik dari Yunani. Bektashi juga banyak mengambil pemikiran kaum Syiah, antara lain melalui kepercayaan Haq-Muhammad-Ali, dimana cahaya Allah (al-Haq) mewujud pada nabi Muhammad dan Ali bin Abi Thalib.
Bid’ah yang merebak di Utsmani antara lain adalah perayaan maulid nabi. Al Maqrizi (1364 – 1442 M) dalam bukunya “al-Khitat” menyebutkan bahwa maulid pertama kali dirayakan oleh Syiah Fatimiyah (Ubaidiyah) di Mesir. Maulid merupakan tasyabuh (meniru ciri khas orang kafir) terhadap perayaan natal (maulid nabi Isa) Kristen Koptik. Pada saat itu maulid dirayakan dengan mengundang tokoh-tokoh sufi, serta menyajikan tarian dan nyanyian. John A. Shoup, profesor antropologi dari Washington University, dalam bukunya “Culture and Customs of Jordan” menyebutkan bahwa pada 1588, sultan Murad III menjadikan maulid sebagai perayaan resmi Kekhalifahan Utsmani.

(en.wikipedia.org)
Contoh bid’ah lainnya adalah mendirikan bangunan di atas kuburan orang-orang shalih. Tekke kaum sufi umumnya berdiri di atas kuburan para pemimpin mereka. Penghormatan yang berlebihan terhadap manusia tersebut telah menimbulkan kemusyrikan, dimana orang-orang berdoa meminta kepada jenazah di dalam kuburan. Diantara ulama yang menentang hal ini adalah Muhammad bin Abdul Wahab (1703 – 1792 M).
Dakwah Muhammad bin Abdul Wahab diterima oleh pemimpin Diriyah, Muhammad bin Saud (wafat 1765 M). Kerajaan Diriyah kemudian menjadi penguasa wilayah Nejed di semenanjung Arab. Sekitar 1805, Kerajaan Diriyah berhasil menguasai Mekah dan Madinah. Mereka menghancurkan bangunan di atas kuburan para sahabat nabi. Kerajaan Diriyah akhirnya dikalahkan Muhammad Ali Pasha, gubernur Mesir Utsmani, pada 1818.
Bid’ah dan Kemunduran Inovasi
Akar masalah dari kemandekan dan kemunduran Utsmani adalah mewabahnya wahn dan bid’ah. Bangsa Turki awalnya adalah suku nomaden yang bertempur dengan penuh keberanian, tanpa perlu memikirkan perkara duniawi yang ditinggalkan jika mereka mati. Kejayaan Turki Utsmani kemudian mengantarkan kemakmuran bagi penduduknya, dimana sebagian diantaranya dapat hidup secara mewah. Kemewahan tersebut yang akhirnya menimbulkan wahn (cinta dunia dan takut mati).
Utsmani masih mampu memenangkan peperangan dikarenakan keunggulan teknologi serta pengalaman militernya. Namun keunggulan teknologi Utsmani mulai memudar memasuki paruh akhir abad ke-16 M. Secara perlahan tapi pasti, pola pikir bid’ah telah menghambat inovasi, sehingga tidak ada penemuan baru yang mengembangkan teknologi dan kemampuan militer Utsmani. Inovasi (bid’ah) dalam perkara ibadah telah menghambat inovasi dalam perkara muamalah.
Secara bahasa, bid’ah berarti inovasi (penemuan baru). Inovasi akan selalu ada sebagai jawaban atas suatu masalah, dan dapat berupa penemuan cara maupun teknologi yang mempermudah kegiatan manusia. Inovasi/bid’ah dalam perkara muamalah (urusan dunia) ini dibolehkan dalam Islam. Inovasi/bid’ah yang dilarang adalah dalam perkara ibadah.
فاَ الأَصْلُ في الْعِبَادَتِ اْلبُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلىَ اْلأَمْرِ
اَلأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِ بَا حَة حَتَّى يَدُ لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
“Hukum asal dalam ibadah adalah batal (haram) kecuali ada dalil yang memerintahkan, dan hukum asal dari sesuatu (selain ibadah) adalah mubah sampai ada dalil yang melarang.” [As Suyuthi, dalam al Asybah wan Nadhair]
Bid’ah telah menambah berbagai bentuk amal peribadatan baru sehingga menyita waktu dan pikiran yang seharusnya dapat digunakan untuk mengembangkan inovasi dalam perkara muamalah. Keyakinan akan adanya ilmu laduni membuat orang-orang berpikir bahwa ilmu dapat diperoleh hanya dengan zikir, tanpa perlu melakukan penelitian empiris (berdasarkan pengujian). Hasrat untuk melakukan penelitian ilmiah menjadi berkurang. Umat Islam pun mulai meninggalkan metode ilmiah yang sebelumnya telah dimiliki.
Bid’ah berperan dalam tumbuhnya kemusyrikan, sehingga mengaburkan makna tauhid. Tauhid “la ilaha illallah muhammadur rasulullah” menjadikan umat Islam hanya akan mempercayai perkara ghaib jika perkara tersebut sudah diterangkan dalam Qur’an dan hadits. Sedangkan kemusyrikan menjadikan manusia mempercayai berbagai perkara ghaib yang tidak disebutkan dalam Qur’an dan hadits. Manusia bahkan menjadi bergantung pada perkara ghaib tersebut, sebagaimana mereka bergantung pada jenazah orang-orang shalih. Umat Islam tidak lagi bisa membedakan antara takhayul dengan kenyataan, antara khurafat dengan fakta.
Setiap ada masalah, mereka tidak perlu melakukan penelitian untuk menemukan jawabannya. Mereka hanya cukup berpegang pada ilham/dugaan para pemimpin sufi, atau bahkan menganggap masalah tersebut sebagai perkara yang sudah seharusnya terjadi tanpa perlu dicari jalan keluarnya. Umat Islam menjadi taklid (mengikuti pendapat tanpa mengetahui dasar pengambilan pendapat tersebut), tidak berpikir kritis, serta tidak lagi terdorong untuk meneliti peristiwa alam atau masalah sosial.
Hal yang sebaliknya terjadi di Eropa. Roger Bacon (1214 – 1292 M) di Inggris mulai memperkenalkan metode ilmiah (cara memperoleh pengetahuan melalui pengamatan dan pengujian yang sistematis) setelah mempelajari karya-karya Ibnul Haytham (965 – 1040 M). Secara perlahan tapi pasti, Eropa akhirnya mengalami Revolusi Ilmu Pengetahuan pada abad ke-16 M. Pada 1543, Nicolaus Copernicus menerbitkan karyanya yang membantah teori geosentris (bumi sebagai pusat peredaran benda-benda langit). Pada 1687, Isaac Newton menerbitkan karyanya yang membahas tentang teori gravitasi.
Pada abad ke-17 M, Francis Bacon dan John Locke mempopulerkan pemikiran empirisme di Inggris, sementara René Descartes mempopulerkan pemikiran rasionalisme di Perancis. Rasionalisme menjadikan akal sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran. Sehingga mitos, takhayul, dan khurafat ditolak karena tidak sesuai dengan akal sehat. Sedangkan empirisme menyatakan bahwa pengetahuan dan kebenaran hanya dapat diperoleh melalui pengalaman yang sudah teruji. Sehingga mendorong dilakukannya penelitian ilmiah untuk mencari jawaban atas masalah sosial serta peristiwa alam.
Utsmani akhirnya mengekor Eropa Barat sehingga menjadi bergantung pada negara-negara Eropa Barat. Pejabat dan perwira militer Utsmani hasil didikan Eropa Barat juga menganggap bahwa agama hanyalah urusan pribadi antara manusia dengan Tuhannya. Sehingga agama dianggap menjadi masalah jika digunakan sebagai acuan untuk mengatur kehidupan bernegara. Pemikiran mereka turut didukung dengan mewabahnya bid’ah. Bid’ah telah menambah berbagai bentuk amal peribadatan baru sehingga menimbulkan kejenuhan. Bid’ah telah membuat seolah-olah agama hanyalah perkara yang menyita waktu dan tidak memberi manfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan.
(1586)