
Bom Madinah dan Masa Depan Kerajaan Arab Saudi
Oleh: M. Zulifan
(Peneliti, Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam- UI)
Matahari Madinah baru saja kembali ke peraduannya saat 2 juta jamaah di Masjid Nabawi mengakhiri puasa hari 29 Ramadan (4/7). Di luar pagar masjid, nampak seorang lelaki berjalan menuju area Masjid melalui tanah kosong yang digunakan sebagai tempat parkir mobil. Waktu berbuka puasa adalah waktu lengah saat petugas turut berbuka setelah berpuasa sepanjang hari. Pelaku ingin mengambil manfaat dari situasi ini. Namun dengan sigap petugas kemanan berhasil mencegatnya. Pelaku justru lari dan meledakkan diri dengan bom yang ia lilitkan di tubuhnya. Asap membumbung tinggi dari area parkir Masjid Nabawi. Ledakan menewaskan 4 petugas keamanan serta melukai 5 lainnya.
Stasiun TV al-Jazeera dan al-Arabiya berlomba membuat liputan live dari lokasi dengan spekulasi masing-masing. Broadcast media sosial oleh netizen menjadikan seluruh dunia seketika itu gempar; teroris kini berhasil mengebom jantung umat Islam, Masjid Nabawi tempat Nabi Muhammad menghabiskan hari-hari terakhir hidupnya hingga dimakamkan. Pasukan keamanan bergerak cepat dengan mengepung Masjid Nabawi serta jamaah tidak diizinkan untuk masuk atau keluar. Untung, seluruh jamaah dilaporkan dalam keadaan selamat.
Bom Madinah merupakan 1 dari 3 serangan teror yang mengguncang Kerajaan hari itu. Serangan pertama terjadi di dekat konsulat AS di Jeddah oleh seorang berwarganegara Pakistan pukul 2 dini hari. Serangan kedua terjadi di Qatif di mana dua pembom bunuh diri meledakkan diri di luar Masjid Faraj Al-Omran. Serta serangan bom bunuh diri di Masjid Nabawi menjadi serangan ketiga.
Target Serangan Teror

Terdapat tiga gelombang terorisme yang terjadi di Timur Tengah. Gelombang pertama dimulai sejak tahun 1970-an yang mencerminkan kemarahan bangsa Arab atas masalah Israel-Palestina. Selanjutnya pada tahun 1980-an, gelombang baru teror muncul di Eropa terkait revolusi Khomeinis di Iran. Kali ini asumsinya Syiah ingin membalas penghinaan Barat atas mereka.
Tahun 1990-an, gelombang ketiga teror kembali muncul, dengan asumsi kemarahan umat Islam atas kehadiran militer Amerika di wilayah Timur Tengah. Namun sejak tahun 2000, fenomena teror yang muncul menjadi sporadis dan tidak berakar dalam salah satu isu-isu tertentu.
Yang jelas, bom Madinah mengkonfirmasi satu hal penting bahwa teroris tidak punya agama. Seorang muslim tidak akan mungkin mengebom situs paling suci bagi umat Islam dan tempat bersejarah bagi perjuangan umat Islam masa awal.
Kementerian Dalam negeri Saudi pada Jumat (8/7) merilis pelaku bom bunuh diri di Madinah sebagai seorang Warga Negara Saudi bernama Nayer Musallam Hammad Al-Nijeidi Al-Bluwi (26 tahun) yang diduga memiliki riwayat penyalahgunaan obat. Hal inilah yang membuat Raja Salam sangat geram. Dalam pidatonya menyambut momen Idul Fitri, ia bersumpah akan memerangi dengan “tangan besi” mereka yang memanfaatkan keluguan pemuda Saudi untuk melakukan aksi teror.
Rangkaian serangan bom 4 Juli lalu mengindikasikan bahwa pelaku mempunyai banyak motivasi kepentingan. Serangan pertama yang terjadi di dekat Konsulat Amerika di kota pesisir Jeddah, tidak hanya dimaksudkan untuk menakuti Negara Barat di Timur Tengah; lebih dari itu serangan dimaksudkan untuk meracuni hubungan antara Arab Saudi dan Amerika Serikat.
Serangan kedua menyasar dua masjid Syiah di provinsi Timur Arab Saudi. Kaum Syiah adalah minoritas di kerajaan dan telah secara intens berseteru dengan pemerintah Saudi. Di sisi lain, Syiah juga merupakan musuh bagi ISIS sebagaimana yang mereka nyatakan. Nampaknya, ISIS ingin menghabisi dua target sekaligus dengan satu peluru; membunuh Syiah selain juga menciptakan ketegangan antara kaum minoritas dan pemerintah Saudi dengan menciptkan situasi seolah-olah minoritas Syiah tidak dilindungi dengan baik oleh pasukan keamanan kerajaan.
Namun, yang paling signifikan dari ketiga serangan itu tentulah serangan di Masjid Nabawi Madinah. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan dampak mengerikan serangan ini – jika itu berhasil – baik dari segi makna simbolis maupun potensi jumlah korban.
Pelaku telah secara matang mempersiapkan serangan. Ia tiba di masjid Nabawi dari sisi selatan saat maghrib (waktu berbuka puasa). Pelaku kemudian dihentikan oleh pasukan keamanan Saudi yang memberitahukan bahwa pelaku mencoba untuk memasuki area terbatas hanya untuk digunakan sebagai pintu keluar bagi jamaah yang selesai beribadah di dalam masjid Nabawi.
Awalnya petugas keamanan menawarinya untuk bergabung dengan mereka untuk berbuka puasa. Namun, pelaku berlari menuju masjid sebelum ia dihentikan oleh penjaga. Karena panic, teroris meledakkan bom bunuh diri menewaskan petugas kemanan yang keberanian dan pengorbananannya mencegah serangan mencapai jutaan jamaah tak berdosa yang berada di dalam masjid Nabawi.
Arab Saudi di Pusaran Konflik Kawasan
Di masa Raja Salman, Arab Saudi kerap dilanda serangan teror. ISIS secara intens menargetkan lokasi-lokasi penting di Kerajaan. Tahun lalu, tercatat sedikitnya 3 serangan teror bom menyasar objek-objek vital Kerajaan. Pada 22 Mei 2015, seorang teroris (20 tahun) meledakkan diri di Masjid Thalib bin Abi Imam Ali di Al-Qadeeh, Qatif, saat shalat Jumat, menewaskan 21 orang dan melukai lebih dari 100 lainnya.

Seminggu kemudian, pada tanggal 29 Mei, seorang teroris menyamar dengan memakai pakaian wanita meledakkan diri di pintu masuk Masjid Al-Anoud ketika ia dihentikan oleh petugas keamanan. Ledakan itu menewaskan empat orang. Dalam kedua serangan itu, kelompok ISIS mengaku bertanggung jawab. Pada bulan Agustus, bom Asir menewaskan 12 petugas keamanan dan 3 petugas Pasukan Khusus, sementara 7 lainnya luka-luka dalam serangan bom bunuh diri di sebuah masjid saat shalat Dhuhur. Bom Asir adalah serangan ketiga di kerajaan Saudi tahun 2015.
Peristiwa bom Madinah baru-baru ini adalah sebuah tamparan keras untuk Raja Arab Saudi yang menggelari dirinya dengan Khadimul Haramain as-Syarifain (Pelayan Dua Kota Suci). Madinah adalah salah satu tempat tersuci dalam Islam, dan serangan di saat bulan suci Ramadhan kemarin bisa berarti serangan terhadap seluruh Muslim di dunia yang menjadi tanggungjawab seorang Raja. Sebelumnya, Raja Salman telah dipusingkan dengan tragedi jatuhnya Crane Masjidil Haram pada musim haji tahun lalu yang menewaskan lebih dari seratus jamaah. Belum lagi tragedi desak-desakan jamaah Haji di Mina yang hingga kini belum selesai penyelidikannya. Tentu, predikat penjaga Dua Kota suci makin diragukan dan Iran bisa saja memanfatkan moment ini untuk mengambil alih pengurusan Haji dan Haramain.
Rangkaian teror bom di Kerajaan Saudi tidak bisa dilepaskan dari peran Pemerintahan Raja Salman dalam konflik Timur Tengah. Pada tahun 2015 silam, Raja Salman didukung AS, Turki dan Koalisi negara GCC melakukan invasi ke Yaman dengan operasi militer bertajuk Decisive Storm (A’sifatul Hazam) melawan Syiah Houthi yang hingga kini tak kunjung usai. Operasi tersebut mendapat tentangan dari Iran, China dan Rusia.

Lebih lanjut pada Februari tahun ini, Raja Salman secara mengejutkan membentuk sebuah Aliansi Militer Islam untuk memerangi terorisme, yang meliputi 39 negara. Pembentukan Aliansi Militer Islam tersebut ditindaklanjuti dengan latihan besar-besaran 20 negara Sunni di Saudi. Latihan ini adalah yang terbesar dan paling penting dalam sejarah wilayah dengan sandi “Ra’ad Al–Syamal” (Operasi Guntur Utara) yang dilakukan di King Khaled Military City di Hafr Al–Batin, utara Kerajaan Saudi. Pasukan terdiri dari 20 negara Arab dan negara Islam lainnya, termasuk Pasukan Perisai Jazirah (Peninsula Shield Force) yang ikut ambil bagian dalam latihan.
Negara-negara yang ikut ambil bagian adalah Kerajaan Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Yordania, Bahrain, Senegal, Sudan, Kuwait, Maladewa, Maroko, Pakistan, Chad, Tunisia, Komoro, Djibouti, Oman, Qatar, Malaysia, Mesir, Mauritania, Mauritius, serta kekuatan Pasukan Perisai Jazirah.
Terkait ISIS, Raja Salaman tidak kenal kompromi. Di bulan yang sama Raja Salman mengirim Jet-jet militer Saudi ke pangkalan udara Incirlik Turki di provinsi Adana selatan untuk melaksanakan misi melawan ISIS. Arab Saudi telah menjadi bagian dari koalisi pimpinan AS membom teroris ISIS di Suriah dan Irak sejak akhir 2014.

Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel Al-Jubeir menjelaskan Partisipasi Pasukan Saudi dalam operasi darat yang dipimpin AS di Suriah akan fokus pada memerangi kelompok ISIS. Al-Jubeir mengatakan setiap kekuatan Arab yang berpartisipasi akan membuat pertempuran melawan ISIS menjadi prioritas, meskipun Kerajaan telah lama berdiri menentang Presiden Bashar Assad.
Sikap Berbeda Raja Salman
Berbeda dengan Raja sebelumnya, Raja Salman nampaknya berusaha menjadikan peran Arab Saudi lebih dominan di dunia Islam. Dalam pidato pada sidang KTT Organisasi Islam Kerjasama (OKI) ke-13 di Istanbul April tahun ini misalnya, Raja Salman telah mengajukan resolusi ke negara-negara Muslim yang tergabung dalam OKI untuk menyelesaikan krisis di Palestina, Suriah dan Yaman, serta upaya kontraterorisme di seluruh dunia.
Pembelaan eksplisit Raja Salman atas Palestina diapresiasi banyak kalangan Islam. Baginya, dunia Muslim perlu menemukan solusi yang adil untuk masalah Palestina sesuai dengan inisiatif perdamaian Arab dan resolusi internasional. Menurut Raja Salman, langkah-langkah serupa juga harus diadopsi untuk mengakhiri krisis Suriah sesuai dengan keputusan dari Jenewa 1 dan resolusi Dewan Keamanan Nomor 2254, serta mendukung upaya yang ada untuk mengakhiri krisis Libya.
Raja Salman di satu sisi memang memberi harapan bagi umat Islam atas keberpihakannya pada isu dunia Islam, namun ia tetaplah seorang raja bagi negeri yang mempunyai kepentingan nasional tersendiri termasuk hubungan dekat dengan AS. Ada sisi lain dimana sikapnya bertentangan dengan kalangan Islamis atau gerakan Islam. Hingga saat ini, tidak ada satupun tokoh Ikhwannul Muslimin (IM) yang dibebaskan dari penjara Saudi. Desember tahun lalu, Pemerintah Saudi resmi melarang semua sekolah, perpustakaan dan pusat sumber belajar untuk menggunakan 80 buku karya penulis terkait organisasi Ikhwanul Muslimin termasuk Hassan Al-Banna, Sayyid Qutb dan Yusuf Al-Qaradawi (Arab News, 2/12/2015).
Buku yang dilarang termasuk “Dua Puluh Prinsip (Ushul ‘Isyrien)” karya Hassan Al-Banna, “Halal dan Haram dalam Islam” karya Yousuf Al-Qaradawi serta “Shubhaat Hawl Al-Islam (Syubhat-syubhat Seputar Islam)” oleh Sayyid Qutb. Selain itu, pemerintah Arab saudi juga melarang buku-buku tulisan Abu Al A’la Al Maududi, Abdul Qadir Audah, Musthafa As Siba’i, Hasan At Turabi dan Salman Audah.
Stasiun TV Al-Arabiya mewakili kalangan yang anti Islamis dan revolusi Arab melalui Arab Spring. Kemunculannya sebagai rival al-Jazeera yang berbasis di Qatar dan pro Revolusi Arab. Jika sebelumnya ada pihak yang menyebut Al-Arabiya milik Yahudi, maka hal itu tidak berdasar. Al-Arabiya dimiliki oleh keluarga kerajaan dan bersikap status quo mempertahankan system dinasti, politik dan budaya Saudi. Meski beberapa pihak menyebut al-Arabiya kini menjadi lebih liberal dalam tayangannya.
Antara Tragedi dan Harapan
Terlepas dari banyaknya korban dan ketakutan yang timbul, tragedi Bom Madinah menyisakan secercah harapan. Serangan massif yang menyasar berbagai wilayah kerajaan baru-baru ini mengkonfirmasi bahwa Pemerintah Saudi kini telah mengambil positioning yang tegas atas berbagai kepentingan di kawasan.
Arab Saudi kini telah menjelma menjadi kekuatan baru dunia yang diperhitungkan. Di bawah pemerintahan Raja Salman, Arab Saudi memainkan peran sentral di kawasan Timur Tengah termasuk dalam forum G-20. Kerajaan Saudi telah melancarkan operasi ke Yaman dan Suriah serta membentuk Koalisi Militer Islam untuk melawan terorisme. Di dalam negeri, melalui visi Saudi 2030, Kerajaan kini sedang bekerja keras untuk menyambut negara era pasca-minyak dan mempersiapkan roadmap yang lebih jelas untuk masa depan negara. Ancang-ancang untuk mengucapkan selamat tinggal pada ketergantungan minyak diiringi dengan upaya Saudi menggenjot diversifikasi pendapatan negara. Garis besar Visi 2030 meliputi efisiensi dalam pemerintahan, peran yang lebih besar untuk sektor swasta non-minyak serta manajemen yang lebih agresif atas aset Kerajaan.
Arab Saudi di bawah kepemimpinan Raja Salman kini menuju irama baru. Hal ini berlaku tidak hanya di kebijakan luar negeri dan hubungan internasional, tetapi juga dalam ambisi pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Tantangan ke depan tentu akan semakin kompleks. Transformasi kerajaan dipimpin yang langsung oleh Wakil Putra Mahkota Muhammad bin Salman akan dapat dilihat dampaknya beberapa tahun mendatang. Akankah Saudi bisa melewati berbagai tantangan ini? Kita tunggu saja!
(662)