
Kritik saya terhadap HT adalah dalam hal teknis penegakan khilafah. HT sampai sekarang bersikap menunggu tegaknya khilafah, tanpa bisa menawarkan solusi konkret terhadap masalah sistem pemerintahan di Indonesia; bagaimana sistem birokrasinya, otonomi daerah, perimbangan pemerintahan pusat dan daerah, manajemen pelayanan publik, masalah pajak, kepegawaian, BUMN, dll. Kalupun ada hanya sebatas solusi normatif..kembali ke khilafah, nasionalisasi aset, usir pemodal asing, tolak kapitalisme.
Bagaimana mereka bisa memberi solusi, jika selama ini tidak mau belajar mengurus tata kelola negara dan masyarakat dengan sikapnya yang anti demokrasi dan hanya menunggu khilafah tegak. Apakah ketika khilafah tegak mereka bisa secara otomatis menggantikan posisi menteri, dirjen, ka- biro, ka- Divisi dll. Ini semua khan perlu belajar.
Seperti dikatakan Dr. Luthfi Zuhdi, selama masa menunggu itu, banyak potensi kader yang termakzulkan. Mereka kurang beramal dalam bidang sosial yang menjadikan mereka kurang berinteraksi dengan sistem sosial kemayarakatan, lebih-lebih ketatanegaraan (pemerintahanan) . Jadi bagaimana masyarakat bisa mempercayai orang yang tidak pernah teruji kinerjanya, sedangkan pemimpin adalah mereka yang amanah, dapat dipercaya. Bahasa Al-qurannya qawiyyul amin, kuat (cerdas) dan amanah. Sebagai contoh, tidak sembarang mahasiswa biasa jadi ketua BEM. Ada tahap-tahapnya, harus jelas track record-nya.Kalau selama ini tidak pernah aktif di organisasi dan dan hanya SO, kemudian tiba-tiba mencalonkan diri jadi ketua BEM UI, siapa yang percaya. Bagaimana dia bisa memimpin nanti, mengurusi masalah keringanan, advokasi mahasiswa, penyikapan isu nasional, mekanisme rapat, struktur organisasi, apalagi AD/ART UUD IKM UI.
Jabatan dirjen. ka. biro. ka. divisi dan PNS lainnya adalah jabatan karier…artinya seseorang yang diamanahkan dalam jabatan itu harus menapak dari bawah, berproses… itu kata kuncinya…
Baiklah, itu satu sisi. Sekarang anggap HT tidak mau mengikuti birokrasi yang ada, ganti dengan sistem birokrasi Islam. Tapi masalahnya, birokrasi Islam yang seperti apa. Hal ini kan tidak bisa dijawab oleh mereka.
Mereka ingin mengubah NKRI dengan khilafah…ya. .seperti yang pernah saya bilang..itu idealnya..tapi sekali lagi, yang ideal itu harus dikompromikan dengan realita ummat sekarang.
Penjelasannya demikian:
Sejauh ini, MU, NU, Al-Irsyad, Tarbiyah, dll. berbeda dengan HT,terutama masalah khilafah. Bagi mereka dalam NKRI cukup untuk mengimplementasikan ajaran Islam, cukup untuk mendirkan sebuah tatanan masyarakat madani. Dan, jumlah tersebut di atas sudah memenuhi 80 persen lebih masyarakat muslim Indonesia. Pertanyaannya, dengan siapa HT akan membawa konsep khilafahnya.
Kalau kita baca tahap mengishlah negara HT, terakhir adalah tahap istilam al-hukmi (merebut kekuasaan). Jadi, apa yang mereka rebut, jika mayoritas ummat Islam tidak menghendaki. Maka, sekali lagi di sini berlaku rumus yang ideal harus dikompromikan dengan realita. Bahasa anak mudanya nyadar diri.
Maka, menurut saya, kemungkinan buat HT untuk menegakkan khilafah di Indonesia yakni dengan jalan kudeta, meski itu sangat dipaksakan. Tapi untuk yang satu ini saya tidak optimis, sejauh ini mereka tidak membangun basis militer, apalagi harus berhadapan dengan TNI.
Sekali lagi ini pendapat saya sebagai pengamat. Layaknya seorang pengamat sepak bola yang jika melihat struktur pemain dan strategi pelatih, ia bisa memprediksi hasil pertandingan. Tapi sekali lagi hasil pertandaingan itu Allah yang menentukan, Dialah yang maha Kuasa atas segala sesuatu.
Politik adalah kompromi
Dalam politik, yang berlaku bukan benar atau salah. Tapi bagaimana kita bisa mengkompromikan kepentingan ummat dengan kepentingan lain yang belum bisa ditaklukkan.
Sebagai contoh, Rasulullah SAW melakukan perjanjian Hudaibiyyah juga dengan kompromi, apa yang didapat muslimin dan apa yang di dapat kafir. Dalam hal ini, muslim yang pergi ke Mekkah tidak boleh dikembalikan, sedang kafir yang ke Madinah wajib dikembalikan. Sepintas hal ini merugikan muslim. Namun bila dikaji lebih dalam, justru hal ini akan lebih menguntungkan bagi umat Muslim. Nah, hal seperti ini masuk dalam strategi dakwah.
KPK dibentuk berdasarkan kompromi bahwa kasus korupsi akan di berantas tapi dengan kompromi bahwa UU korupsi ini tidak berlaku retroaktif.
Termasuk masuk dalam pemerintahan dan parlemen. Itu bukan masalah benar atau salah. Memang idealnya ummat bisa mengimplementasikan seluruh hukum syariat, tapi hal itu harus dikompromikan dengan UU yang ada. Ada skala prioritas apa yang dapat kita terapkan sekarang, apa yang hanya dapat dilakukan di masa mendatang. Kecuali kita bisa mengubah UU tersebut dengan menguasai parlemen misalnya, atau melalui kudeta, atau cara lain…
Selama ini, HTI berpandangan politik secara hitam putih, benar dan salah. Mereka menganggap bergabungnya muslim dengan pemerintah sekarang adalah hal yang menyalahi syariat, karena mengakui system demokrasi yang berasal dari Barat. Padahal mereka sendiri mengurus SIM, STNK, KTP, KK dan surat-surat lainnya di di kantor pemerintah yang juga bagian dari system pemerintahan demokrasi. Bukankah itu juga pengakuan terhadap system demokrasi? Tentu hal ini merupakan sikap yang tidak konsisten
(329)