Dampak revolusi Arab spring di Libya
Oleh: Hasrul Azmi
(Mahasiswa Program Studi Arab, Universitas Indonesia)
Politik
Pada masa kepemimpinan rezim Qaddafi, Libya menerapkan berbagai macam kebijakan politik, di antaranya melarang adanya partai politik di Libya. Hal ini dilakukan agar posisinya tidak tergantikan sebagai pemimpin Libya. Selain itu, mengubah peran wanita menjadi tentara militer pengawal presiden. Salah satu kebijakan yang paling menarik dan dibenci oleh dunia Barat adalah kebijakan Qaddafi yang anti terhadap Barat. Qaddafi menilai bahwa bangsa Eropa dan Amerika Serikat merupakan penjahat yang ingin memasuki dan menguasai Libya.[1] Dia menegaskan bahwa dia tidak membutuhkan sejarah, politik, dan pemikiran dari demokrasi Barat. Akan tetapi, dia membutuhkan perdagangan dan teknologi dari Barat.[2] Kebijakan yang diterapkan oleh Qaddafi ini membuat Libya menjadi terkucilkan di dunia internasional. Itulah akhirnya yang membuat AS menjatuhkan embargo terhadap Libya dan melakukan sanksi-sanksi melalui PBB. Meskipun pada 2004, AS membuka kembali hubungan diplomatiknya dengan Libya. Berbanding terbalik dengan negara Barat, Qaddafi menjadikan kawasan regional Afrika dan negara Timur Tengah sebagai kepentingan utama negaranya.
Setelah rezim Qaddafi tumbang, terjadi perubahan dalam sistem perpolitikan di Libya. Kebijakan anti-Barat yang diterapkan oleh Qaddafi mulai luntur dan negara-negara Barat mulai masuk dan memberikan pengaruhnya di Libya. Hal ini terlihat ketika masuknya NATO ke Libya dan membawa kepentingan geopolitik yang dikaitkan dengan pergerakan politik di negara Arab karena posisi Libya yang strategis.[3]
Ekonomi
Sebelum terjadinya revolusi, kondisi ekonomi di Libya sedang berkembang pesat dan mengalami kesejahteraan. Hal ini tidak lepas dari sumber daya alam yang melimpah yang dimiliki oleh Libya yaitu minyak. Minyak menjadi sumber pendapatan tertinggi bagi negara. Pada tahun 2009, menurut Wall Street Journal, Libya merupakan negara dengan sumber minyak terbesar di Afrika. Bahkan Libya bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan asing seperti Exxon Mobile, British Petroleum, dan Shell. Namun Libya mulai menyulitkan para investor. Pada 2007, pemerintah Libya memaksa perusahaan-perusahaan minyak asing untuk bernegosiasi ulang kontrak. Perusahaan yang ingin memperpanjang kontraknya harus membayar bonus yang sangat besar kepada pemerintah Libya dan mendapatkan eksplorasi yang sedikit.
Pasca terjadinya revolusi, kondisi ekonomi Libya mengalami krisis. Hal ini dikaitkan dengan pendapatan sektor minyak yang nyaris mencapai nol persen. Seperti yang diketahui bahwa pendapatan Libya sangat bergantung kepada minyak. Selain itu, masuknya NATO membawa suatu kepentingan yang berkaitan dengan minyak. Kondisi Libya yang belum stabil ini dimanfaatkan untuk mengeruk perekonomian Libya melalui minyak.
Sosial
Muammar Qaddafi merupakan pemimpin yang mendukung kebebasan. Pada masa pemerintahannya, dia memberikan kebebasan kepada masyarakat Libya untuk memakai dan mengolah tanah milik pemerintah demi kepentingan hidup. Tanah tersebut diberikan secara gratis oleh pemerintah. Selain itu, Qaddafi ingin mewujudkan masyarakat Libya yang sosialis berdasarkan ideologinya. Hal itu dapat terwujud jika masyarakat diberikan kebebasan. Di sisi lain, upaya Qaddafi untuk menjadikan Libya menjadi sosialis mendapat pertentangan dari masyarakat Libya yang dinilai masih sangat konservatif dan sulit menerima perubahan. Banyak masyarakat Libya yang membenci Qaddafi dalam upayanya untuk menggantikan kepemimpinan tradisional yang memiliki tujuan untuk mendaftarkan perempuan ke dalam dunia militer dan berpartisipasi dalam hal politik.
Setelah terjadinya revolusi, kondisi di Libya semakin memburuk. Masyarakat sosialis baru yang ingin diciptakan Qaddafi tidak terealisasi dan kehidupan masyarakat Libya pun dipenuhi dengan ketidaknyamanan masyarakat akan hal yang terjadi antara pasukan pemerintah dan pasukan revolusi. Selain itu, sulitnya masyarakat Libya dalam mendapatkan pekerjaan pasca revolusi Arab spring akibat dari serangan militer pemerintah membuat masyarakat menjadi mogok kerja dan hanya mengandalkan sumber pendapatan dari minyak saja.
Keamanan
Ketika revolusi meletus, kondisi masyarakat Libya merasa tidak aman terhadap tindakan dan serangan yang dilakukan oleh pasukan Qaddafi. Peperangan yang terjadi antara pasukan pemerintah dan pasukan oposisi membuat masyarakat semakin takut. Apalagi masyarakatlah yang merasakan dampaknya secara langsung dimana terjadi pembantaian, kekerasan, serta tindakan-tindakan yang melanggar HAM. Selain itu, kepemilikan senjata-senjata pasca jatuhnya Qaddafi dpegang oleh pasukan revolusioner, kepala suku, serta milisi bersenjata. Hal ini tentu membuat masyarakat berani mengangkat senjata untuk menyuarakan tuntutannya.
Keterlibatan NATO dalam peperangan di Libya awalnya bertujuan untuk menciptakan keamanan dan melindungi warga sipil dari serangan yang dilakukan oleh rezim Qaddafi. Namun setelah revolusi selesai, Libya dibawah Perdana Menteri Ali Zeidan mengadakan kerjasama dengan NATO untuk menciptakan keamanan yang stabil. Sampai saat ini, keadaan keamanan Libya masih berada dibawah pengawasan NATO. Bagi masyarakat Libya, adanya kerjasama dengan NATO membuat mereka lebih merasa aman. Akan tetapi, tanpa disadari NATO melakukan intervensi terhadap Libya dengan memanfaatkan alasan keamanan. Dengan begitu mereka dapat secara perlahan memberikan pengaruh yang signifikan bagi kehidupan masyarakat Libya.
Kesimpulan
Revolusi Arab spring merupakan suatu peristiwa besar yang mampu mengubah tatanan pemerintahan dan melahirkan demokrasi di negara Arab. Seperti yang diketahui bahwa negara Arab atau yang lebih dikenal dengan Timur Tengah merupakan sebuah kawasan yang sebagian besar negaranya menganut sistem otoritarianisme dan bersifat monarki atau kerajaan. Pemerintahan yang otoriter tentunya tidak akan melahirkan negara yang makmur. Banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan, penyelewengan hak-hak rakyat, bertindak semena-mena, bahkan tidak jarang terjadi korupsi yang dilakukan oleh pemimpin negara. Hal inilah yang memicu amarah rakyat sehingga mereka melakukan unjuk rasa dan aksi protes massa yang tidak terkendali sehingga menumbangkan rezim pemerintah seperti yang terjadi di Tunisia dan Mesir.
Sama halnya dengan kasus di Tunisia dan Mesir, revolusi Arab spring di Libya pada 2011 lalu disebabkan oleh gelombang unjuk rasa yang terjadi hampir di seluruh kota di Libya yang menuntut pemimpin saat itu, Muammar Qaddafi, untuk mundur dari jabatannya yang dianggap otoriter dan melakukan berbagai kejahatan-kejahatan. Revolusi yang terjadi di Libya dianggap lebih besar dari yang pernah terjadi sebelumnya, karena kondisi perpolitikan Libya saat itu terbagi ke dalam dua kubu yang kontradiktif dan memiliki kepentingan masing-masing, yakni kubu loyalis Qaddafi yang terdiri dari aparat pemerintah dan militer yang selalu menjadi garda terdepan dalam mempertahankan kekuasaan Qaddafi, dan kubu oposisi yang terdiri dari para pemberontak, politisi, mantan perwira militer, pemimpin suku dan para akademisi yang menamakan dirinya sebagai Dewan Transisi Nasional (NTC) yang memiliki misi untuk menggulingkan rezim Qaddafi. Meskipun pada akhirnya konflik ini dimenangkan oleh pihak oposisi karena rezim Qaddafi berhasil dijatuhkan pada 20 Oktober 2011.
Salah satu fenomena yang menarik dalam revolusi di Libya adalah adanya intervensi dari pihak asing. Keberhasilan oposisi dalam menggulingkan Qaddafi tidak lepas dari adanya intervensi yang dilakukan oleh AS dan NATO. Intervensi yang dilakukan AS dan NATO merupakan intervensi militer yang bertujuan untuk melindungi dan menyelamatkan warga sipil dari serangan pasukan Qaddafi dengan menerapkan embargo senjata dan pelarangan zona terbang di atas wilayah Libya. Meskipun berhasil menjatuhkan Qaddafi, tetapi dampak atau kerugian yang dihasilkan pasca revolusi ini sangatlah besar, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, maupun dalam bidang keamanan.
Daftar Pustaka
Agastya ABM. 2013. Arab Spring: Badai Revolusi Timur Tengah Yang Penuh Darah. Yogyakarta: IRCiSoD
Tamburaka, Apriadi. 2011. Revolusi Timur Tengah: Kejatuhan Para Penguasa Otoriter Di Negara-Negara Timur Tengah. Yogyakarta: Narasi
Craig Harris, Lilian. 1986. Libya Qadhafi’s Revolution and the Modern State. United States: Wesyview Press
Karmina, Ira (2011). Jurnal. Upaya North Atlantic Treaty Organization (NATO) Dalam Menjatuhkan Rezim Muammar Al-Khadafi di Libya (2011). Bandung: Universitas Komputer Indonesia
Rakhmadi, Roby. 2012. Skripsi. Kepentingan Amerika Serikat Dalam Intervensi NATO ke Libya 2011. Depok: Universitas Indonesia
Vivienne Walt, “Gaddafi’s Son: Last Gasp of Libya’s Dying Regime?” Time, 21 Februari 2011. Diakses melalui http://www.time.com/time/world/article/0,8599,2052842,00.html pada 19 Desember 2017, pukul 21.37 WIB
“Muammar Gaddafi says he will die a martyr rather than quit”, The Guardian, 22 Februari 2011. Diakses melalui http://www.guardian.co.uk/world/2011/feb/22/muammar-gaddafi-libyan-tv-martyr pada 19 Desember 2017, pukul 21.15 WIB
“Libya Revolt Timeline”, AP/AFP, March 21 2011. Diakses melalui http://www.news.com.au/world/libya-revolt-timeline/story-e6frfkyi-1226025084087 pada 19 Desember 2017, pukul 22.10 WIB
Charles Savage and Tom Shanker. Scores of US Strikes in Libya Followed Handoff to NATO. The New York Times, 20 Juni 2011
[1] Craig Harris, Lilian, Libya Qadhafi’s Revolution and the Modern State (United States: Wesyview Press, 1986) hlm. 83
[2] Ibid., hlm. 84
[3] Roby Rakhmadi, Skripsi “Kepentingan Amerika Dalam Intervensi NATO ke Libya”, 2011, hlm. 27
(178)