
- Pengertian
Tarawih merupakan bentuk jamak dari ‘tarwihan’ yang secara bahasa berarti mengistirahatkan atau duduk istirahat. [2] Menurut Istilah adalah shalat sunnah malam hari yang dilakukan khusus pada bulan Ramadhan.
Pada masa Nabi SAW, shalat sunnah pada malam Ramadhan itu dikenal dengan istilah qiyam ramadhan. Istilah tarawih muncul dari penuturan Aisyah, seperti diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, Aisyah menyatakan:“Nabi SAW shalat malam empat rakaat, kemudian “yatarawwah” (istirahat), kemudian shalat lagi panjang sekali.” [3]
Jadi bisa disimpulkan bahwa Nabi Saw tidak pernah shalat tarawih selama hidupnya, karena Nabi hanya melakukan qiyam ramadhan.
B. Tarawih Versi 20 Rakaat.
Dalilnya:
عَنْ اِبْنُ عَبَّاسٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صلي الله عليه وسلم يُصَلِّي فِيْ رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةٍ وَالْوِتْرَ
Dari Ibnu Abbas, katanya: “Nabi SAW shalat pada bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir.” [Menurut Imam Ibnu Hajar Al-Haitamai dalam kitabnya Al-Fatawa Al-Kubra Al-Fiqhiyyah, adalah lemah sekali[4]. Hadits yang kualitasnya sangat lemah tidak bisa dijadikan dalil sama sekali untuk landasan beribadah. Kelemahannya karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman. Menurut Imam Bukhari, para ulama tidak mau berkomentar tentang Abu Syaibah. Imam Al-Tirmidzi menyatakan bahwa Abu Syaibah munkar haditsnya. Sedang Imam Al-Nasai menyatakan Abu syaibah adalah matruk (semi palsu) haditsnya. Bahkan menurut Imam Syu’bah, Abu Syaibah adalah seorang pendusta[5].
Jadi, hadits ini palsu atau minimal matruk (semi palsu). Apabila kita shalat tarawih menggunakan dalil hadits Ibnu Abbas tadi, maka apa yang kita lakukan adalah salah.
C. Tarawih Versi 8 Rakaat
Dalam kitab Shahih Ibnu Hibban, ada sebuah hadits berbunyi begini:“Dari Jabir bin Abdullah, “Ubai bin Kaab datang menghadap Nabi SAW lalu berkata: “Wahai Rasululah, tadi malam ada sesuatu yang saya lakukan, maksudnya, pada bulan Ramadhan.” Nabi Saw kemudian bertanya:” Apakah itu wahai Ubay?” Ubay menjawab “Orang-orang wanita di rumah saya mengatakan, mereka tidak bisa membaca Al-quran. Mereka minta saya untuk mengimami shalat mereka. Maka saya shalat bersama mereka delapan rakaat, kemudian saya shalat witir” Jabir kemudian berkata:” Maka itu merupakan ridha Nabi SAW, karena beliau tidak berkata apa-apa.” [6]
Hadits ini kualitasnya lemah sekali, Karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut ahli kritik hadits papan atas seperti Imam Ibnu Ma’in dan Imam An-Nasa’i, Isa bin Jariyah adalah sangat lemah haditsnya. Bahkan Imam An-Nasai pernah menyatakan bahwa Isa bin Jariyah adalah matruk (haditsnya semi palsu karena ia pendusta) [7].
Hadits lainnya:
Riwayat Ja’far bin Humaid, dari Jabir bin Abdullah, katanya:صَلِّى بِنَا رَسُولُ الله عَلَيه وَسَلَّمَ لَيْلَةً فِىْ رَمَضَانَ ثَمَانِىَ رَكَعَاتٍ وَالْوِتْرَ
“Nabi Saw pernah mengimami kami shalat pada suatu malam Ramadhan delapan rakaat dan witir.”Hadits ini juga dinilai matruk karena di dalam sanadnya terdapat rawi Isa bin Jariyah.
Kesimpulan sementara dari dua versi ini adalah keduanya sangat lemah.. Kalo demikian mana yang benar?D. Dalil yang membenarkan semuanya
Baik 8 maupun 20 rakaat itu benar ketika menggunakan hadits yang shahih, di mana Nabi saw tidak membatasi rakaat shalat malam Ramadhan atau qiyam ramadhan. Hadits itu adalah:قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Rasululah saw bersabda: “Siapa yang menjalankan qiyam ramadhan karena beriman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa-dosanya (yang kecil) yang lalu akan diampuni.” (HR. Al-Bukhari).Jadi, Nabi tidak membatasi jumlah rakaat dalam qiyam ramadhan, boleh sepuluh, duapuluh, seratus atau delapan.
E. Hadits Aisyah tentang Tarawih atau Witir?
Hadits yang menjadi sandaran utama shalat tarawih ternyata bukanlah dalil untuk shalat Tarawih tapi untuk witir, dengan tiga alasan:1. Hadits Aisyah tadi diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Al-Turmudzi, Imam Abu Daud, Imam Al-Nasa’i dan Imam Malik bin Anas. Kisahnya adalah seorang tabi’in yang bernama Abu Salamah bin Abd Al-Rahman bertanya kepada Aisyah tentang shalat Nabi saw pada bulan Ramadhan, Aisyah menjawab:
مَاكَانَ رسولُ الله صلى الله عليه وسلم يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى اَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنّ وَطُوْلِهِنّ، ثُمَّ يُصَلِّى اَرْبَعًا فَلاَتَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنّ وَطُوْلِهِنَّ،ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا. قَالَتْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عنها،فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلُ الله ، أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوْتِرَ؟ قَالَ: يَا عَائِشَةَ ، إِنَّ عَيْنِيْ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي.
“Rasulullah tidak menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan jangan kau tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. Aisyah kemudian berkata: “Saya bertanya “Wahai Rasulullah, apakah Anda tidur sebelum shalat witir?” Beliau menjawab,: “wahai Aisyah, sesungguhya kedua mataku tidur, tapi hatiku tidak tidur.” [8]Kesimpulannya, konteks hadits ini adalah shalat witir, bukan tarawih. Karena pada akhir hadits Aisyah menanyakan shalat witir pada Nabi.
2. Aisyah dengan tegas menyatakan bahwa Nabi saw tidak pernah shalat lebih dari sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan. Shalat yang dilakukan pada malam hari sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupaun bukan Ramadhan, tentu bukan shalat tarawih. Sebab shalat tarawih hanya dilakukan pada bulan Ramadhan.
Hal ini diperkaut deng hadits berikut:
كَانَ رسول الله صلى الله عليه وسلم يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْهَا الْوِتْرَ وَرَكْعَتَا الْفَجْرِ
“Rasululah saw shalat malam tiga belas rakaat, terdiri dari shalat witir dan dua rakaat fajar” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud.).3. Umunnya orang yang shalat tarawih 8 rakaat menjadikan hadits Aisyah tadi sebagai dalil shalat mereka. Kalau mau konsekwen, maka harusnya mereka shalat sebelas rakaat setiap malam, baik pada bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Sebab hadits tersebut menyebutkan bahwa Nabi SAW shalat sebelas rakaat setiap malam, sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan.
Dalam berbagai riwayat yang shahih, shalat witir itu bervariasi, boleh satu rakaat, tiga, lima, tujuh, sembilan dan sebelas rakaat. Bahkan ada riwayat 13 rakaat.
Ketika hadits Aisyah itu dipakai oleh sementara orang untuk shalat tarawih delapan rakaat dan witir tiga rakaat, maka hal itu tidak tepat. Karena hal itu berarti satu hadits yang merupakan dalil untuk satu paket shalat witir dipenggal menjadi dua, delapan rakaat untuk tarawih dan tiga rakaat untuk witir. Kalau hadits Aisyah itu dipakai untuk shalat witir saja, itu baru benar.F. Dalil yang Menguatkan 20 Rakaat.
Nabi Saw melakukan qiyam ramadhan yang kemudian dikenal dengan tarawih itu selam dua atau tiga malam saja di masjid. Malam ketiga atau keempat, beliau tidak kelaur masjid.
Sejak saat itu, sampai beliau wafat bahkan hingga khalifah Abu Bakar As-Shiddiq dan masa Khalifah Umar, tidak ada yang melakukan shalat tarawih secara berjamaah di masjid. Baru pada masa Umar bin Khattab, beliau menyuruh sahabat Ubay bin Ka’ab untuk menjadi imam shalat tarawih di masjid. Ubay dan para sahabat yang lain shalat tarawih dua puluh rakaat.[9] Lalu, mengapa Aisyah dan sahabat diam saja? Ada dua pendekatan untuk menjawabnya:1. Apa yang dilakukan sahabat tersebut menurut disiplin ilmu hadits disebut hadits mauquf. Imam Suyuti menyatakan bahwa hadits mauquf bila tidak berkaitan dengan masalah ijtihadiyah maka hadits muaquf tadi statusnya sama dengan hadits marfu’. Hal ini karena masalah shalat tarawih dan jumlah rakaatnya adalah bukan masalah ijtihadiyah, melainkan para sahabat mengetahui hal itu hanya dari Nabi saw.
2. Ketika Ubay bin Ka’ab mengimami shalat tarawih 20 rakaat, tidak ada satu orangpun yang protes atau menyalahkan. Padahal waktu itu ada Aisyah, Umar bin Khattab, Abu Hurairah, Ali bin Abi Thalib, Ustman bin Affan dan sahabat lainnya.Oleh kerana itu, maka hal itu disebut oleh Imam Qudamah Al_Maqdisi ( W. 620 H) merupakan ijma’ sahabat yang kemudian diikuti oleh Imam Abu Hanifah, Imam As-Syafei, dan Imam Hambali. Menurut ijma Qudamah, apa yang disepakati oleh para sahabat itu lebih utama dan lebih layak untuk diikuti.[10]
Imam Ibnu Taimiyyah (W. 728 H) juga menegaskan: “Riwayat yang shahih menyebutkan bahwa Ubay bib Ka’ab mengimami shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir tiga rakaat. Maka banyak ulama mengatakan bahwa hal itu adalah sunnah, karena Ubay bin Kaab shalat di hadapan orang-orang Muhajirin dan Anshar dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengingkari.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa shalat tarawih 20 Rakaat mempunyai tiga dalil yang kuat:
1. Dalil shahih dari Nabi Saw yang tidak membatasi jumlah rakaat:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
2. Hadits mauquf
3. Ijma’ shahabat.G. Simpulan
Dalam ibadah shalat tarawih, janganlah berorientasi pada masalah angka alias jumlah rakaat. Boleh 8 atau 20 asalkan mengikuti hadits yang tidak membatasi shalat tarawih tadi. Namun orientasinya adalah lama dan bagusnya shalat tarawih itu………………………………………………………………
1. Disarikan dari buku Prof. Ali Musthofa Yaqub, MA, “Hadits-hadits Palsu Seputar Ramadhan, Pustaka Firdaus, 2003.
2. Al-Mu’jam Al-Washit, Dar Fikr, tt. I/380
3. Al-Shan’ani, Subul As-Salam, Dar Al-Fikr, tt., I/11.
4. Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Kubra Al-Fiqhiyyah , Beirut: Dar al-Fikr, 1983, I/ 195.
5. Al-Dzahabi, Mizan Al-I’tidal fi Naqd Al-Rijal, Dar al-Fikr, 1963, I/47-48.
6.Ibnu Balban, Al-ihsan bi Tartib Shahih Ibnu Hibban, Dar Al-Fikr, Beirut, 1996, IV, 342.
7. Adz-Dzahabi, Op.Cit., III/311.
8. Al-Bukhari, Op.Cit., I/342-343, Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, Dar Alam Al-Kutub, Riyadh, 1996, I/509.
9. Al-Bukhari, Op.Cit. 342.
10. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni, Dar Alam Al-Kutub, Riyadh, 1997, II/604.
(692)