BISAKAH SAUDI BERDAMAI DENGAN IRAN?
Oleh: Muhammad Zulifan
(Peneliti, Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam-UI)
Bisakah Saudi berdamai dengan Iran? Bisa. Sangat bisa!
Tapi bukankah Iran Syiah dan sesat akidahnya. Betul! Bahkan pemerintah AS dan Israel lebih sesat bahkan masuk kategori kafir dalam ilmu aqidah. Tapi bukankah Saudi bisa berhubungan mesra dengan AS dan kini buka hubungan diplomatik dengan Israel?
Soal Iran ini menarik karena selalu jadi dalil pembenaran Saudi dan para loyalis untuk menyerang negara lain yang tak sejalan.
Tapi mari berfikir sejenak. Gunakan logika akal sehat kita.
Pertama, Saudi menggunakan dalil sesatnya Syiah (milisi Houtsi) sebagai alasan untuk menyerang negeri muslim tersebut. Alhasil 10 ribu nyawa melayang dan konflik tak berkesudahan hingga kini (lihat: Perang Yaman). Saudi juga bilang Qatar kerjasama dengan Syiah (Iran) dan dukung terorisme hingga boleh diblokade baik darat, udara, dan laut (lihat: Blokade Qatar).
Sebenarnya semua itu tidak ada hubungannya dengan perkara agama (aqidah). Ini semua murni politik. Sekali lagi politik! Kalau masalah prinsip aqidah, Saudi sudah sejak lama usir AS dari negeri tempat Ka’bah berada itu. Nyatnaya sampai kini AS dan pangkalan militernya masih bercokol di Dammam- Arab Saudi.
Alasan kedua yang dipakai untuk pembenaran serangan Saudi adalah soal intervensi Iran. Bukankah AS lebih dalam hal intervensi soal politik Timteng dibanding Iran? Irak hancur dan jutaan muslim tak berdosa tewas karena AS (atas permintaan Raja Fahd dulu tahun 1991). Lalu dilanjutkan tahun 2003 serang Irak kembali dan 2004 serang Afghanistan. Semua itu melewati pangkalan militer AS di Saudi pula. Apakah keduanya Syiah? Bukan! Irak dan Afghanistan itu Sunni. Sunni juga diserang. Tapi para loyalis Saudi tidak pernah kritik ini. Jadi jangan terjebak wacana Sunni-Syiah, kita harus cerdas membaca. Ini politik Saudi di kawasan.
Jadi semua ini jangan ditarik ke masalah agama (akidah), ini murni politik dinasti Saud dengan AS.
Pendekatan Perdamaian Timur Tengah
Masalah Iran bisa didekati dari sisi strategi perdamaian Timteng. Meraka bisa diajak damai. Bukankah mereka sesat? Sekali lagi, jika Saudi bisa berteman dekat dengan AS, apatah lagi sekedar berdamai atau gencatan senjata dengan sesama penyembah Allah dan sesama penghadap Arah kiblat.
Menunjuk sesuatu itu salah dengan menyikapi kesalahan itu dua hal yang berbeda. Seperti tetangga kita non muslim atau atheis misalnya. Lalu, apakah tiap hari kita harus berantem karena beda akidah tadi? Mestilah ada komitmen hidup berdampingan meski berbeda kayakinan.
Syiah itu menyimpang akidahnya. Stop sampai di sini. Ini bab akidah. Soal sikap hidup beda lagi. Belajarlah hidup berdampingan dengan mereka yang berbeda meski di Saudi tidak ada ruang itu, karena semua harus seragam dan diatur sesuai kemauan Raja. Yang bersuara berbeda maka dipenjara, tak peduli dia ulama ataupun ilmuwan kampus ternama. Anda wajib tahu bahwa rudal tidak punya akidah, mau rudal Sunni atau pun rudal Syiah, tetap anak-anak tak berdosa terbunuh.
Jangan mau termakan propaganda politik Saudi yang melihat Syiah (Iran) sebagai pesaing di kawasan karenanya harus diperangi. Sampai kapan bangsa Arab mau diadu domba dan bunuh-bunuhan tiap hari hingga jutaan nyawa tak berdosa melayang?
Pelajar Saudi yang Tidak Pernah Kritis
Indoktrinasi Ideologi permusuhan ini ditanamkan pelan-pelan dan halus bertahun-tahun pada masyarakat Saudi sampai mahasiswa Indonesia terbawa arus. Ketika mereka terpapar maka amat sulit menyadarkannya, sebagaimana upaya deradikalisasi orang-orang seperti Amrozi Cs amat susah dan butuh waktu lama. Karena mereka mendapatkannya juga dalam waktu yang lama. Termasuk doktrinasi Saudi ke jamaah ataupun organisasi Islam yang meski mereka sesama ahlus Sunnah tapi karena tak sejalan kepentingan kerajaan dan AS mereka harus distigmatisi negatif dan dibenci.
Banyak alumni Saudi yang berubah jadi loyalis Saudi, termakan propaganda pemerintah Saudi hingga mindsetnya ala Saudi dan membenarkan apapun langkah kerajaan tanpa sikap kritis, meski hal itu menyalahi Syariat. Saudi bilang gambar haram mereka ikut ngotot, Saudi bilang musik haram mereka ikut, Saudi bilang wanita bekerja haram mereka bela. Pas MBS buka bioskop atau adakan konser musik Yanni Orchestra mereka diam menerima begitu saja. Jadi yang mereka bela itu syariat Islam atau Kerajaan?
Sebagai mahasiswa harusnya berfikir kritis, out of the box, kalau perlu anti mainstream bukan malah jadi follower. Ini Materi kuliah yang tidak diajarkan di Saudi.
Sulit mengharapkan mahasiswa Indonesia Saudi bisa berfikir kritis karena lingkungan mereka amat mendukung untuk berfikir linear. Di bawah pemerintahan absolut Raja, setiap hari mereka mendapat informasi dari satu arah yakni pemerintah. Belajar agama dari ulama-ulama yang semua pro Raja dan diajarkan ketaatan total pada ulil amri. Jikapun ada dosen yang kritik pemerintah langsung diciduk untuk dipenjarakan. Pola hidup ini kemudian membentuk pola fikir mereka.
Di Indonesia berbeda, mimbar akademik dibuka seluasnya. Kritik kebijakan pemerintah adalah hal yang biasa di negara demokrasi. Termasuk demonstrasi adalah hal yang berterima secara hukum. Masyarakat bisa kritis. Hal ini yang kemudian hari disalahfahami oleh mereka yang sekian lama hidup di bawah perintah Raja, benar atau salah. Pola berfikir linear itulah yang kemudian di bawa ke Indenesia dan menimbulkan masalah di masyarakat.
Kehidupan ini kompleks tidak hanya soal fikih dan fatwa ulama. Imu sosial itu luas: Hubungan Internasional, Sosial, Antropologi, Politik, Hukum, Budaya, Humaniora, dst. Jika pendekatan setiap masalah sosial hanya dari kajian fikih dan itupun hanya merujuk satu kalangan ulama, maka terbentuklah pola pikir linear yang kemudian timbulkan jiwa fanatik.
Solusi Perdamaian Timur Tengah
Ada skema perdamaian kawasan Timteng yang bisa digagas:
1. Fase pertama: Timteng zero konflik /Perang.
Kondisi Paling minimal akhiri konflik atau gencatan senjata dengan Iran, meski tidak saling kerjasama. Termasuk anasir-anasir pejuang bersenjata di Timur Tengah.
2. Fase kedua: Konsolidasi kekuatan Timteng dalam dialog bangsa-bangsa Arab.
Rekonsiliasi antar kekuatan bersenjata dan rumuskan satu visi besar bersama untuk perdamaian Timur Tengah. Tentukan pula langkah terpadu mengakhiri ISIS, atauenghadapi Israel.
3. Fase Ketiga: Pembangunan Kembali Timteng.
Barulah kita bicara membangun dan membangkitkan kembali kejayaan peradaban Timur Tengah (pendidikan, teknologi, ekonomi, sosial budaya), sebagaimana dahulu Islam berjaya 7 abad lamanya.
Bangsa Arab harus sering diajak berfikir kreatif atas masa depannya, jangan lagi dipaksa-paksa, digiring-giring, ditakut-takuti karena setiap muslim lahir dalam keadaan merdeka.
Bangsa yang hidup dalam ketakutan dan keterpaksaan tidak akan pernah jadi bangsa yang besar. Yang ada hanya menjadi pengikut fanatik atau pemberontak. Karena jiwa kreatif dan inovatifnya mati.
Lagi, soal Iran atau syiah. Atas nama beda aqidah tidak bisa membenarkan pembunuhan jutaan rakyat, wanita, orang tua dan anak-anak tak berdosa. Meraka semua muslim. Bahkan kafirpun tidak boleh diperlakukan seperti itu.
Kita memang beda, lalu kalo sudah beda apakah harus terus saling bunuh? Pun yang terbunuh kebanyakan mereka yang tidak tahu menahu mengapa mereka dibunuh. Salah satu contoh peristiwa tewasnya 20 orang saat pesta pernikahan di Yaman.
Kejadian ini akan ciptakan teroris-teroris baru. Kita sendiri juga akan kejar sampai kuburan kalo ada yg bunuh anggota keluarga, lebih-lebih saat resepsi pernikahan
Lalu, datanglah roket-roket ke Kota-kota di Saudi. Salah siapa?
Akar Masalah Konlik Arab
Jika saya ditanya apa masalah utama Timur Tengah hingga sampai kini terus berkonflik? Jawaban saya simple, orang Arab tidak mau berdamai. Mereka pandai menyalahkan perbedaan tapi tidak pandai menyikapi perbedaan itu. Akhirnya terjadi konflik dan perang. Ditambah lagi ada provokatornyayakni AS. Karenanya solusi perdamaian Timur Tengah adalah singkirkan AS lalu sesama bangsa Arab berjabat tangan.
Syiah yang akidahnya menyimpang itu bisa diajak berdamai, setidaknya gencatan senjata permanen, agar Timur Tengah tidak perang terus, tertinggal dari Barat peradabannya, sementara Eropa yg dulu berperang saudara kini telah bersatu; satu mata uang, satu wilayah, satu militer. Mereka sadar dan meletakkan segala perbedaan dalam sebuah traktat perdamaian dan kerjasama. Dibatas perbedaan agama dan madzhab ada nilai kemanusiaan. Saudi tentu bisa melakukannya, sebagaimana Saudi bisa kerjasama erat dengan AS dan Israel yang kafir dan sesat.
Soal perdamaian Timur Tengah ini bukan soal kendala agama, tapi egoism politik dan kekuasaan pihak tertentu. Dan setiap orang punya interes dan kepentingan masing-masing sesuai pendapatnya. Dalam hal ini penulis tidak punya interes atas reyal Saudi, karenanya bisa berfikir independen.
(196)