oleh: Muhammad Zulifan
(Peneliti, Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam-UI, Alumnus King Saud University-Riyadh, Arab Saudi)
Setelah sekian lama tertunda, Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al-Saud hari ini dijadwalkan akan menginjakkan kaki di bumi Nusantara hingga 9 Maret mendatang. Tercatat, ia menjadi Raja Arab saudi kedua setelah Raja Faishal yang menyambangi negeri muslim terbesar di dunia pada 1970 silam.
Safari akbar Raja Salman adalah langkah besar mengingat 2 Raja Saudi sebelumnya, Raja Fahd dan Raja Abdullah tidak menjadikan Indonesia dan Asia sebagai perhatian negarnaya. Tak tanggung-tanggung, kali ini Raja Salman membawa kafilah yang terdiri dari 1500 orang, 10 menteri, 25 pangeran. Kedatangan Raja Salman membawa harapan bagi sebagian masyarakat yang merindukan sosok pemimpin tegas dan adil.
Kiprah Raja Salman
Pada Januari 2014, Raja Salman naik tahta menggantikan kakaknya, Raja Abdullah bin Abdul Aziz yang meninggal dunia. Tidak beberapa lama pasca dilantik, Raja Salman melakukan gebrakan dengan melancarkan serangkaian reformasi di dalam negeri melaui reshuffle besar-besaran kabinet yang menyingkirkan orang-orang pilihan Raja Abdullah. Selanjutnya, Raja Salman membentuk koalisi militer 34 negara muslim pada Desember 2015. Sebuah koalisi militer terbesar dunia Islam yang terbentang dari Malaysia di sebelah timur hingga Mauritania di barat, Turki di utara hingga Gabon di Selatan.
Baca juga: Sejarah Arab Saudi dan Kiprah Raja Salman
Arab Saudi kini menjelma menjadi kekuatan baru dunia yang diperhitungkan. Di bawah pemerintahan Raja Salman, Arab Saudi memainkan peran sentral di kawasan Timur Tengah termasuk dalam forum G-20. Berbeda dengan Raja sebelumnya, Raja Salman nampaknya berusaha menjadikan peran Arab Saudi lebih dominan di dunia Islam. Dalam pidato pada sidang KTT Organisasi Islam Kerjasama (OKI) ke-13 di Istanbul April 2016, Raja Salman telah mengajukan resolusi ke negara-negara Muslim yang tergabung dalam OKI untuk menyelesaikan krisis di Palestina, Suriah dan Yaman, serta upaya kontraterorisme di seluruh dunia.
Pembelaan eksplisit Raja Salman atas Palestina diapresiasi banyak kalangan Islam. Baginya, dunia Muslim perlu menemukan solusi yang adil untuk masalah Palestina sesuai dengan inisiatif perdamaian Arab dan resolusi internasional. Aksi paling heroik Raja Salman adalah momen ketika ia meninggalkan begitu saja pemimpin adidaya AS, Presiden Obama, saat mendengar kumandang adzan. Bahkan pada 2016, Raja Salman secara tegas telah memerintahkan eksekusi (qishash) salah satu pengerannya, Turki bin Saud al-Kabir, yang terlibat pembunuhan di Kota Riyadh. Dengan sikapnya itu, wajar jika sebagian umat Islam menaruh harapan besar pada sosok Raja Salman.
Masalah Domestik Arab Saudi
Di dalam negeri, Kerajaan kini sedang bekerja keras untuk menyambut negara era pasca-minyak dan mempersiapkan road map yang lebih jelas melalui Visi Saudi 2030. Ancang-ancang untuk mengucapkan selamat tinggal pada ketergantungan minyak diiringi dengan upaya Saudi menggenjot diversifikasi pendapatan negara. Garis besar Visi 2030 meliputi efisiensi dalam pemerintahan, peran yang lebih besar untuk sektor swasta non-minyak serta manajemen yang lebih agresif atas aset Kerajaan.
Meski memiliki cadangan minyak terbesar di dunia hingga 267 milyar barel, situasi menurunnya harga minyak karena pelemahan ekonomi dunia menjadikan anggaran Saudi defisit 87 milyar dollar AS. Cadangan devisa merosot dari 746 miliar AS pada 2014 menjadi 616 miliar dollar saat ini.
Kejadian ini memicu Pemerintah Saudi melakukan upaya penyelamatan ekonomi negara. Seperti kebijakan kenaikan harga BBM hingga 40 persen di seluruh Kerajaan yang telah diberlakukan sejak 11 Januari 2016 silam. Hal ini belum ditambah dengan rencana Kementerian Keuangan yang akan mengurangi subsidi untuk air, listrik dan produk minyak bumi selama lima tahun ke depan. Penurunan harga minyak ini juga berimabas pada melemahnya intensistas Saudi di Yaman dan Suriah.
Di bidang Ekonomi, Saudi berencana melakukan penjualan sekitar 5 persen saham Perusahaan Minyak Negara Aramco (Arabian American Oil Company) senilai 2 trilun dollar AS. Arab Saudi kemudian akan mengubahnya dari perusahaan produsen minyak menjadi konglomerasi industri. Oleh karenanya, misi Safari Akbar Raja Salman ke Negara-negara Asia tidak bisa dilepaskan dari rencana IPO Perusahaan Minyak Negara Aramco ke Negara-negara Asia yang dikunjunginya.
Baca juga: Mengenal Arab Saudi, Negeri Para Nabi
Di bidang keamanan, Arab Saudi dirundung masalah terorisme yagn serius. ISIS secara intens menargetkan lokasi-lokasi penting di Kerajaan. Tahun 2015, tercatat sedikitnya 3 serangan teror bom menyasar objek-objek vital Kerajaan termasuk masjid. Bahkan pada tahun 2016 silam serangan terror menghantam masjid Nabawi tempat Nabi Muhammad SAW dimakamkan.
Rangkaian teror bom di Kerajaan Saudi tidak bisa dilepaskan dari peran Pemerintahan Raja Salman dalam konflik Timur Tengah. Pada tahun 2015 silam, Raja Salman didukung AS, Turki dan Koalisi negara GCC melakukan invasi ke Yaman dengan operasi militer bertajuk decisive storm (A’sifatul Hazam) melawan Syiah Hautsi yang hingga kini tak kunjung usai. Hingga kini, serangan roket milisi Hautsi masih sering menghantam wilayah Saudi. Dalam konteks inilah Raja Salman menawarkan kerjasama terorisme kepada pemerintah Indonesia sebagai mitra strategis.
Menimbang Kunjungan Sang Raja
Membaca kunjungan Raja Salman ke Indoneia tidak bisa berdasar emosi keagamaan semata karena akan jatuh pada asumsi dan harapan palsu. Bagaimanapun, Raja Salman adalah pemimpin dari sebuah Negara dimana kepentingan nasional adalah prioritas utama.
Dibolehkannya pengiriman TKW dari Indonesia tanpa syarat mahram jelas menunjukan hal itu. Pertimbangan kepentingan nasional Saudi jelas lebih utama dibanding soal keagamaan. Justru langkah Presiden Jokowi yang menghentikan pengiriman TKW ke Saudi lebih Islami. Termasuk soal hubungan Saudi-Amerika yang terjalin puluhan tahun, tidak bisa didekati dengan isu agama melainkan isu kepentingan nasional Saudi di bidang politik. Dan tentu, kunjungan Raja Salman ke Indonesia akan menempati bingkai yang sama.
Namun demikian, nampak jelas bahwa Raja Salman pelan-pelan mulai mengimbangi peran AS bagi negaranya dan melirik Negara-negara di Asia yang sedang mengalami kebangkitan ekonomi. Pemerintah Saudi kini mulia menyadari bahwa Amerika bukan lagi satu-satunya kekuatan di dunia ini. Oleh karenanya, Raja Salman tidak hanya datang ke Indonesia, namun juga berkunjung ke negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia, Brunai, Jepang, China, dan Maladewa.
Konflik di Suriah yang makin rumit serta peran AS yang makin melemah di Suriah menjadi alasan Raja Salman mencari mitra baru yang potensial memperkuat kembali negaranya. Dan Indonesia sebagai negeri muslim terbesar dunia sekaligus sebagai kekuatan ekonomi baru dunia menjadi sasaran membangun koalisi strategis. Lebih-lebih presiden Jokowi pada Desember tahun lalu mengunjungi Iran dan bertemu Presiden Hassan Rouhani. Tentu ini ancaman serius bagi kepentingam Arab Saudi di Indonesia. Bagi Saudi, Iran adalah ancaman serius baik di kawasan maupun dunia Islam pada umumnya.

Dalam bidang ekonomi, kerjasama RI dengan Arab Saudi belumlah signifikan kecuali dalam impor minyak bumi dan ekspor Tenaga Kerja (TKI). Tercatat 29% kebutuhan minyak Indonesia disuplai dari Saudi, sementara ada 2 juta TKI di Arab Saudi. Oleh karenanya kunjungan Raja Salman harus dapat dimanfaatkan untuk memperluas kerjasama non minyak seperti bidang pariwisata, keuangan dan pendidikan. Disamping negosiasi penambahan kuota haji yang antriannya kini mencapai belasan tahun di Indonesia.
Bila sebelumnya Arab Saudi lebih menitikberatkan kerjasama dalam bentuk bantuan sosial ke lembaga keagamaan dan pendidikan di Indonesia, maka sudah saatnya hubungan bilateral RI-Arab Saudi naik level ke hal yang lebih strategis berdasar prinsip kesetaraan dan kemajuan kedua negara.
Selamat Datang Raja Salman!
(851)